Monday, March 26, 2007

Ya'ahowu!
Teks Nurhalim Tanjung
Foto Bobby W. Wennars



“Jangan sekarang ke Nias, nanti saja pas pertengahan tahun,” saran seorang guide wisata. Mengapa? Saat pertengahan tahun ternyata Nias adalah surga bagi para peselancar karena ombak di laut Sorake cukup menantang. Namun Nias bukan hanya magnet bagi peselancar, soalnya pulau ini juga memiliki beragam daya tarik wisata, mulai peninggalan sejarah, budaya, dan alam natural sehingga tetap memikat di musim apapun.

MOBIL meninggalkan Gunungsitoli sejak pagi-pagi sekali. Kami menuju Teluk Dalam di Nias Selatan setelah puas sehari penuh mengeksplorasi daerah-daerah unik di pinggiran Gunungsitoli, seperti gua purba Togindrawa di Desa Lelewonu-Niko’otano dan desa adat Tumori. Sayang, kedua tempat ini mulai jarang disinggahi para traveler. “Dulu setiap minggu ada saja turis asing datang kemari,” kata Ina Melki, warga Desa Tumori, “tapi sekarang mereka lebih senang ke selatan karena katanya di sana lebih bagus.” Ya, sejak dari Medan kami juga sudah mendengar kalau Nias Selatan memiliki alam dan peninggalan sejarah yang sangat potensial.

Mobil terus melaju. Sopir mulai memperlambat kecepatan saat tiba di persimpangan tiga setelah 80 kilometer meninggalkan Gunungsitoli. Marka jalan menunjukkan 30 kilometer ke kiri adalah Teluk Dalam, sedangkan ke kanan menuju Gomo, yaitu kecamatan yang memiliki banyak lokasi megalitikum dan menhir berusia ribuan tahun di Nias Selatan. Kami disambut salam khas Nias yang tertulis di tugu pertigaan jalan ini: Ya’ahowu!

Ali Akbar Harahap, sopir mobil yang kami charter, tak perlu berpikir lama untuk memutar stir ke kiri. Mobil meneruskan perjalanan melintasi jalanan beraspal yang masih memperlihatkan bekas-bekas patahan akibat gempa 28 Maret 2005 lalu serta beberapa badan jalan yang anjlok di berbagai lokasi. Kondisi jalan ini sudah terasa sejak kami meninggalkan Gunungsitoli, bahkan beberapa jembatan masih belum rampung dari perbaikan meskipun tetap bisa dilalui oleh kendaraan dengan penuh kehati-hatian. Nias memang sedang terus berbenah setelah luluh-lantak akibat gempa dahsyat lalu.

Kami terus menyusuri jalan sepanjang 30 kilometer di wilayah kecamatan Lahusa untuk menuju Teluk Dalam. Saat di Gunungsitoli memang kami sudah sepakat ingin ke Teluk Dalam sebagai gerbang untuk mengeksplorasi Nias Selatan, termasuk Lagundri dan Sorake. Konon, kedua kawasan pantai di Nias Selatan ini memiliki ombak terbaik kedua setelah Hawai di Amerika Serikat. Banyak peselancar asing tergila-gila berselancar di sini, termasuk Kelly Slater dari California, Amerika Serikat. Selain itu Teluk Dalam juga merupakan pintu masuk ke desa-desa tua di pulau ini, seperti Bawomatoluo, Hilinawalu Mazingo, dan Hilinawalu Fao. Desa-desa ini memiliki tradisi lompat batu, disamping menyimpan keunikan omo sebua atau rumah adat peninggalan raja-raja Nias (simak: Omo Niha, Rumah Gempa ala Nias).

Genasi Hill dan Hilisataro
Pantai Tropis di Lahusa
Namun kami tak perlu menunggu sampai di Lagundri dan Sorake untuk menikmati panorama laut. Soalnya di sepanjang Lahusa saja pun kami sudah disergap pemandangan pantai yang menawan. Badan jalan di sini bersisian dengan laut. Panoramanya terasa spektakuler saat mencapai Genasi Hill, yaitu 15 kilometer lagi menjelang Teluk Dalam. Posisi perbukitan ini menawarkan landscape laut yang luas hingga ke kaki langit nun di cakrawala. Para pengendara sering bersantai sejenak sambil menikmati secangkir teh atau kopi dari restauran yang ada di sini—bagi orang Medan mungkin hanya semacam warung atau kedai.

Apakah Genasi Hill adalah klimaks panorama pantai di Lahusa? Semula kami hampir mengira begitu. Alasannya, saat mobil mengikuti badan jalan yang menurun barisan pohon kelapa di bagian kiri jalan menutupi pantai, sedangkan di kanan pohon-pohon pisang yang diselingi kebun coklat memanjang di kaki-kaki tebing nan menjulang. Ini adalah suasana khas pulau tropis, sebagaimana Bali, Tanjung Bunga-Malaysia, dan Thailand Selatan. Suasana itu terasa hingga beberapa ratus meter, setelah itu panorama laut kembali menyeruak di hadapan kami ketika mobil memasuki kawasan Hilisataro. Pantainya berpasir landai walaupun sebagian memperlihatkan dataran karang muncul ke permukaan air laut. Tetapi ombak laut di sini terhitung lumayan baik untuk surfing.

Solistis PO Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan, saat kami sambangi mengakui instansinya memproyeksikan pantai Hilisataro untuk menjadi lokasi surfing di masa depan. “Ombaknya memang tidak sebagus Sorake, tetapi Hilisataro sangat cocok untuk para peselancar pemula,” ungkapnya, “setelah mahir di sini baru mereka dapat berselancar ke Sorake.” Dachi mengemukakan pihaknya juga merencanakan kelak kawasan pantai Hilisataro bakal menjadi pusat pelatihan selancar internasional.

Tentu saja untuk merealisasikan rencana itu tidak gampang. Banyak sarana dan prasarana yang mesti disiapkan Nias Selatan, mulai dari akses jalan yang lancar, sarana angkutan mudah, fasilitas hotel dan restauran yang standar, iklim pariwisata kondusif, kawasan surf shop sebagai pusat perbelanjaan peralatan selancar, dan sebagainya. “Surf shop saja tak ada di sini, padahal pantai untuk lokasi surfing cukup banyak,” kata Tangkius Wau, seorang peselancar lokal di Sorake. Sebaliknya, dia menambahkan, di Medan malah banyak terdapat surf shop sekalipun tak ada tempat untuk surfing.

Surga Wisata yang Masih ‘Mati’
Problema pariwisata itu sebenarnya bukan hanya milik Nias Selatan melainkan masalah seluruh kawasan Nias, mulai dari sebelah utara hingga ke selatan, apalagi di pulau-pulau kecil sekitarnya. Ini membuat Nias terasa ‘mati’ kala daerah wisata lain mengalami peak season, seperti saat libur Tahun Baru, Lebaran, dan musim liburan sekolah. “Saat Parapat dan Berastagi kebanjiran turis kala peak season, pariwisata Nias malah ‘mati’ karena tak ada turis berkunjung,” kata Agus Mendrofa, seorang pengusaha hotel. Bahkan orang Nias sendiri pergi mengisi libur mereka ke luar pulau ini.

Begitupun potensi alam dan peninggalan sejarah yang luarbiasa membuat orang tetap membicarakan Nias sebagai surga wisata. “Senarnya banyak orang sudah mengetahui potensi Nias sebagai surga wisata, termasuk para pemancing ikan. Mereka ingin berkunjung tapi belum berani datang,” ungkap Mendrofa lagi. Kenapa?

Menurutnya, semua itu akibat masih sedikit sekali informasi tentang Nias, selain persoalan fasilitas. “Banyak orang hanya mendengar bahwa transportasi masih sulit, fasilitas minim, dan cerita-cerita jelek lainnya tentang Nias.” Sebenarnya, dia menambahkan, sudah ada empat hingga lima kali penerbangan dari Medan ke pulau di sebelah barat daratan Sumatera ini, dimana setiap penerbangan hanya memakan waktu tempuh satu jam saja. Demikian pula angkutan laut dengan kapal cepat (jet foil) dari Sibolga hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai Gunungsitoli sebagai gerbang utama mengeksplorasi Nias.

“Mereka pasti semakin berminat datang jika mengetahui di Nias juga ada hotel, swalayan, rumah makan padang, dan sebagainya,” tambah Mendrofa lagi, “memang tidak selengkap dan sebagus di Medan.” Dia meyakini para penggila traveling sedang menunggu informasi lengkap mengenai kondisi dan fasilitas yang tersedia di Nias untuk mendukung kegiatan wisata mereka di pulau surga ini.

***
Seluruh Nias—mulai dari Gunungsitoli hingga Teluk Dalam—kini memang sedang terus berbenah dibantu Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) serta berbagai NGO (non-government organization) asing. Kegiatan ini mulai membangkitkan Nias dari kehancuran akibat gempa dahsyat dua tahun lalu. Pulau andalan Sumatera ini terasa lebih ramai kini.

Kampung Turis Lagundri-Sorake
Kami merasakan suasana ramai itu saat melintasi pekan di setiap desa hingga kota kecamatan sepanjang perjalanan bermobil. Keramaian semakin terasa saat memasuki Teluk Dalam. Mobil terus meluncur sejauh 17 kilometer ke Sorake. Saat melintasi Lagundri, desa pantai sebelum Sorake, tampak beberapa turis asing berseliweran di pinggir jalan. Mereka menginap di guest house yang banyak terdapat di sini, selain memanfaatkan satu hotel berkelas bintang tiga yang terletak di ujung Sorake . Di Sorake para turis serta aktivis NGO asing menenteng papan selancar ke pantai. Mereka bercampur dengan peselancar lokal, sementara di tengah laut beberapa peselancar meluncur di atas ombak setinggi dua-empat feet. Nias sudah mulai menggeliat kembali.

Solistis Dachi mengemukakan, pasca gempa—selama periode Januari-Mei 206—tercatat 134 turis dari Eropa, Australia, Amerika, Jepang dan negara lainnya mengunjungi Nias Selatan. “Ini pertanda baik sebab setahun setelah gempa kunjungan turis terus menurun,” katanya. Dia mengungkapkan turis asing pernah mencapai lebih 2000 orang bertandang ke pulau ini.

“Mudah-mudahan turis asing yang datang kemari akan terus meningkat,” tambah Dachi. Caranya, dia mengatakan, dengan berusaha menggandeng investor untuk memperbaiki dan menambah fasilitas wisata, selain terus mempromosikan potensi pariwisata Nias Selatan di berbagai event eksibisi tingkat provinsi, nasional maupun mancanegara. “Saat ini kami juga sedang melobi pengusaha transportasi agar mengoperasikan dua jet-foil (kapal cepat) untuk menghubungkan Sibolga-Teluk Dalam dan Teluk Dalam-Pulau Telo,” jelasnya. Jet-foil akan membuat waktu tempuh Sibolga-Teluk Dalam lebih singkat menjadi tiga jam dari 10 jam selama ini, sedangkan Teluk Dalam-Pulau Telo yang semula tiga jam menjadi setengah jam saja. Pulau Telo di Pulau-pulau Batu, ungkap Dachi, “merupakan lokasi wisata bahari yang sangat menarik.”

Nias memang interesting island. Kami sering turun dari mobil untuk menyusuri jalan berbatu, perbukitan, menyeberangi sungai, bahkan melintasi jalan setapak yang licin di tengah hutan demi mencapai lokasi memikat di pelosok pulau. Lompat batu di Bawomatoluo, pasir putih Pantai Moa’le, dan the ancient site Tondrubano di Nias Selatan adalah sebagian dari traveling kami, begitu pula gua purba Togindrawa dan desa adat Tumori di Nias Induk Excited! Pantas lah pulau eksotis ini terus menggeliat untuk bangkit kembali. Setiap orang yang berpapasan dengan kami pun memperlihatkan semangat itu: Ya’ahowu!

No comments: