Tuesday, March 20, 2007

Tapis, Kain Indah dari Lampung
Oleh
Nurhalim Tanjung

Ada berbagai hasil tenunan di daerah-daerah sepanjang Sumatera. Satu diantaranya adalah kain tapis. Ini adalah peninggalan bercitarasa seni dan budaya. Indah, bercorak variatif, dan spesifik Lampung.

“INDAH sekali…kain apa ini?” Pertanyaan itu terdengar saat resepsi pernikahan orang Lampung di Medan. Sepasang suami-istri dari keluarga mempelai berdiri di sekitar barisan pagar ayu. Si istri mengenakan kebaya rajutan dengan selendang dan kain bertapis, demikian pula si suami menggunakan kupiah bertenun benang warna cerah keemasan. Dia mengenakan stelan safari lengkap—sepintas mirip orang Betawi—tetapi di bagian bawah celana panjangnya ditutup oleh kain bertapis pula hingga sebatas lutut. Serasi sekali!

Selain di Medan, tentu pasangan berpakaian khas itu lebih gampang ditemui di Bandar Lampung atau kota-kota lain di Provinsi Lampung, terutama saat ada resepsi pernikahan, acara adat atau hajatan lainnya. Penampilan mereka tampak spesifik dan mengesankan.

Kain tapis yang mereka kenakan adalah hasil tenunan khas Lampung, provinsi terujung di selatan Sumatera. Coraknya indah dengan dasar kain berwarna hitam atau merah. Aneka motif menghias dasar kain tersebut, mulai tenunan bercorak gajah, kapal, manusia, siger [hias kepala wanita khas Lampung], bunga dan tanaman, hingga huruf-huruf Arab. “Sekarang semakin banyak corak dan motif kain tapis, begitupula dengan warnanya,” kata Fitri, 38 tahun, seorang pengusaha kain tapis di Desa Natar, Lampung Selatan.

Menurutnya, kini kain dasar untuk tapis tidak melulu warna merah atau hitam melainkan bisa pula berwarna biru, putih atau kombinasi beberapa warna. “Baju kebaya pasangan kain tapis juga bisa dihasilkan dari rajutan dengan bahan berwarna cerah, seperti orange, lila, biru, kuning, dan putih,” ungkap Fitri lagi. Dia menekuni pembuatan kebaya rajutan untuk menjadi pasangan kain dan selendang tapis yang dihasilkan oleh Hj Aisah Yaqub, ibu mertuanya.

Kain dan selendang tapis itu sendiri ditenun secara tradisional di pelosok Lampung oleh para perajin. Mereka menenun berdasarkan pesanan langsung dari peminat atau para pengusaha kain tapis untuk dipasarkan kembali, baik di Bandar Lampung, maupun di kota-kota lain, seperti Palembang, Jakarta, dan Bandung.

Tapis Senilai Seni dan Budaya
Aisah Yaqub, perajin sekaligus pengusaha kain tapis ternama di Lampung, mengemukakan peminat kain tapis cukup banyak saat ini. “Sayang, penenun yang bisa membuatnya semakin berkurang.” Kenapa? Soalnya, dia menceritakan, untuk menghasilkan satu kain tapis yang baik membutuhkan waktu minimal dua bulan, bahkan bisa hingga enam bulan. “Ini terlalu lama sehingga banyak penenun beralih mencari pekerjaan lain yang bisa memberi penghasilan lebih cepat,” ungkapnya.

Lamanya waktu untuk menghasilkannya membuat harga kain tapis ikut menjadi mahal. Seperangkat kain tapis berikut selendang bisa mencapai harga Rp1,5 juta atau lebih, namun ada juga yang lebih murah senilai beberapa ratus ribu rupiah saja. “Sebenarnya tidak mahal dibandingkan nilai seni budaya serta waktu membuatnya,” jelas Aisah lagi. Harga kain tapis itu belum termasuk baju kebaya rajutan pasangannya yang juga bisa mencapai Rp1,5 juta.

Ia mengisahkan, beberapa tahun lalu kain tapis sempat sulit ditemukan, sedangkan orang yang mencarinya cukup banyak. Saat itu orang Lampung tersentak, mereka baru sadar bahwa kain khas budaya Lampung sudah semakin langka. “Ini mendorong saya untuk mengembangkan kembali tradisi menenun kain tapis,” katanya.

Apalagi, dia menambahkan, dulu keluarganya dikenal sebagai perajin tapis ternama di Lampung. “Saya meminta kain tapis hasil karya ibu saya,” ujar Aisah, “beliau memberikan beberapa yang terbaik dari simpanannya untuk saya contoh dan pelajari.”

Penghargaan Budaya Berkat Tapis
Sejak itu Aisah pun mengembangkan kerajinan kain tapis di bawah bendera Ragom Mufakat di Desa Natar, Lampung Selatan, persis di jalan besar yang menjadi lintasan kendaraan dari Bandara Radin Inten II ke Kota Bandar Lampung. Banyak orang kemudian melirik kain tapis dan model usaha yang dilakoninya. Aisah dengan Ragom Mufakat terus berkembang pesat. “Semula saya dibantu 5 penenun, tambah jadi 20 penenun, kemudian menjadi 25 penenun, belakangan ada 250 penenun yang bekerja membantu saya menghasilkan kain tapis.” Bahkan, katanya, Ragom Mufakat sempat menempati satu lokasi khusus untuk menenun tapis.

Saat itu, ia mengemukakan, pihaknya sering diundang untuk mengikuti pameran di berbagai kota di Indonesia. “Kain tapis pun semakin dikenal di Indonesia, banyak orang yang mampir ke Lampung mencarinya untuk dibawa sebagai oleh-oleh, termasuk para pejabat hingga setaraf menteri.”

Aisah tidak sia-sia. Ia pun memperoleh beberapa penghargaan bergengsi berkat usaha mengembangkan kain tapis selama bertahun-tahun. Pada tahun 1990 wanita yang sudah sepuh ini menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto, lalu Indonesian Cultural Award di tahun 1995, serta berbagai penghargaan lainnya.

“Saya cukup puas mengembangkan kain tapis selama lebih 25 tahun,” katanya, “apalagi dengan usaha ini Lampung menjadi lebih terangkat di Indonesia, sedangkan saya sendiri berkesempatan mengenal orang-orang besar, seperti presiden, menteri, dan pengusaha di negeri ini.”

Jong Sarat, Tju Krui, dan Tapis Bordir
Kini kain tapis semakin mudah ditemukan di Lampung walaupun para penenunnya sangat tersebar di tempat-tempat berjauhan. Belakangan kesulitan memproduksi secara tenunan, menyebabkan kain tapis juga sudah banyak dihasilkan dengan cara bordir. “Tapis hasil bordir berharga lebih murah karena membuatnya lebih cepat, tetapi orang tetap saja lebih menyukai hasil tenunan meskipun lebih mahal,” kata Aisah.

Salah satu tapis yang tetap dicari orang karena bermutu tinggi, menurut Aisah, adalah Jong Sarat yang memiliki kerapatan tenunan sangat padat dengan kain cukup tebal, selain ada pula Tju Krui yang spesifik. “Tapi tapis Jong Sarat lebih terkenal dan lebih mahal dibandingkan Tju Krui walaupun sama-sama hasil tenunan.”

Begitupun, kata Aisah, semahal apapun kain tapis tetap dibeli orang karena mesti dipakai orang Lampung dalam setiap acara adat. Selain itu, dia menuturkan, orang-orang asal Sumatera Utara yang menetap di Lampung sering pula membawa kain tapis untuk dipakai saat menikah di Medan. “Jadi kalau mau kawin, belilah kain tapis supaya calon istri senang,” katanya.

No comments: