Tuesday, March 20, 2007


“Emas Mahal, Ini Barang Lebih Mahal”


MAU melihat sisi gelap dunia malam di Kuala Lumpur? “Boleh ke Bukit Bintang tapi itu kawasan high class, semua barang ada; Thai, Melayu dan Filipina,” kata Mohammad Rafiq, 54, seorang sopir taksi.

Kawasan Bukit Bintang berada di tengah ibu kota Malaysia, dan merupakan kawasan pusat perbelanjaan yang cukup padat. Di sini terdapat banyak hotel mewah seperti Capitol Hotel dan Century Hotel, selain banyak pula plaza a.l. Sungei Wat Plaza dan Bukit Bintang Plaza. Namun di sela-sela bangunan megah itu terdapat banyak panti pijat, karaoke lounge, club doll dan berbagai hotel kecil yang menyediakan kamar untuk dua-tiga jam.

Pada malam hari di kawasan ini juga bisa dilihat wanita-wanita Thai, China dan Filipina berdiri di tepi jalan, hanya saja tidak begitu menyolok. Sesekali ada di antara mereka dengan pakaian ‘mengesankan’ menuju telepon umum, entah menghubungi siapa. Bukit Bintang hanya salah satu kawasan saja untuk itu di Kuala Lumpur.

Menurut Mohammad Rafiq, para wanita Melayu yang menjajakan kencan di kawasan Bukit Bintang berasal dari Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia . Mereka memasang tarif tinggi untuk sekali kencan karena beroperasi di kawasan elite. Berapa? Kata Rafiq, bisa 300 hingga 400 ringgit [RM 1 =Rp2.000]. “Emas mahal, tapi ini barang lebih mahal,” ungkapnya.

Tetapi, kalau beruntung, kemungkinan tarif itu bisa lebih murah asalkan pandai-pandai ‘bernegosiasi’ dan mengatur waktu, kata Pieter, 26, pekerja salah satu hotel di kawasan Bukit Bintang. “Sebenarnya masih cukup mahal juga, tapi lebih murah sedikit, yaitu sekira 180 hingga 200 ringgit, “kata pemuda asal Burma yang sudah empat tahun bekerja di hotel kawasan itu.

Dia memesankan jika ingin menggunakan jasa wanita-wanita itu pelanggan harus tegas terhadap waktu dan tarif yang telah di sepakati. Soalnya mereka suka memperpanjang waktu dengan mengajak pelanggan mengobrol lebih lama, jadi bayarannya bisa lebih mahal. “Seharusnya 200 ringgit, tapi kalau ada waktu lebih lima menit saja mereka minta tambah 30-35 ringgit,” jelasnya.

Namun, dia mengatakan, hotel tidak dibenarkan menyediakan wanita panggilan. Cuma kalau mau bisa di pesan dari luar, dan pemesan boleh lihat-lihat dulu. “Kalau tidak mau, tidak apa-apa, tidak usah bayar.”

Pieter yang bernama asli Mg Myint Tun mengenal beberapa wanita panggilan di sana. Ada orang Indonesia? Ada, katanya, mereka datang dari Jakarta dan Medan.

Bambang Boediarso dari bagian Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur saat di temui mengakui banyak perempuan asal Medan menjadi ‘ayam’ di Malaysia, khususnya di Kuala Lumpur dan Genting.

Tetapi, menurutnya, kebanyakan pula di antara mereka terpaksa melakukan pekerjaan itu karena ditipu oleh agen dan tekong yang membawa mereka ke negara jiran tersebut. Semula mungkin mereka dibilangkan akan di pekerjakan di restauran, karaoke dan bidang entertainment lainnya. “Setelah sampai di sini ternyata di suruh jadi ‘ayam’, nah mereka tentu tidak bisa apa-apa lagi karena sudah jauh dari daerah asal, “kata Bambang.

Dia mengemukakan memang ada perempuan yang menolak melakukan pekerjaan itu sekalipun sudah diancam dan dipaksa oleh agennya. Mereka melarikan diri dengan cara mendobrak penjagaan atau melompati pagar rumah-rumah yang dijadikan tempat penampungan bagi mereka. “Kami di sini [KBRI Kuala Lumpur] pernah menampung tujuh cewek itu akhir tahun lalu, semuanya dibawa dari Medan.”

Ketujuh cewek Medan itu, katanya, kemudian memberitahukan lokasi penampungan mereka di Kuala Lumpur, yaitu di kawasan Taman Mutiara. Lalu pihak KBRI meminta bantuan kepolisian Malaysia untuk menggerebek tempat itu. Di sana ditemui sebelas cewek lagi, dimana kebanyakan di antara mereka adalah orang Medan. Hanya satu atau dua orang berasal dari Jawa.

Bambang mengatakan tujuh cewek semula di pulangkan oleh KBRI ke Medan setelah direpatriasi selama beberapa minggu, sedangkan sebelas cewek lainnya dideportasi pihak Imigrasi Malaysia setelah perkara mereka diusut.

Menurut dia lagi tempat penampungan cewek yang akan di jadikan ‘ayam’ di Malaysia sudah diketahui oleh pihak KBRI, seperti Rawang. Di situ, katanya, cewek-cewek dari Medan ditampung bercampur dengan yang berasal dari Jakarta dan kota-kota lain di Jawa. “Agennya orang India, itu kami sudah tahu, “ katanya.

Sebenarnya, kata Bambang, pihaknya mensinyalir saat ini masih banyak lagi perempuan asal Indonesia menjadi ‘ayam’ di Malaysia tetapi kalau mereka tidak memberontak, KBRI sulit membantu untuk mencegahnya. “Ada banyak perempuan kita yang bekerja di Genting dan Kuala Lumpur, tetapi sepertinya mereka sudah menjalaninya sebagai pekerjaan biasa saja. Mau apa lagi?”

Syahril Efendi seorang mahasiswa asal USU Medan yang mengambil program S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Kula Lumpur, mengatakan pula bahwa fenomena perempuan Indonesia untuk di pekerjakan menjadi ‘ayam’ di negara jiran itu sudah merupakan rahasia umum di kalangan pelajar Indonesia di sana.

“Ada teman saya yang melakukan penelitian khusus untuk itu, dan salah satu tempat penampungannya ya,di Rawang,” kata Syahril. “Mereka memang ada dari Medan, tapi tidak sedikit pula yang asal Jawa.” Cewek-cewek itu dikumpulkan di sana terkebih dahulu setibanya dari Indonesia, beberapa minggu kemudian baru dipekerjakan ke berbagai lokasi prostitusi di Kula Lumpur maupun kota-kota lain di Malaysia.

Salah satu lokasi tersebut ya, di kawasan Bukit Bintang. Di sini biasanya tempat tersebut tidak begitu kentara karena hanya menyediakan pintu masuk selebar setengah atau tiga-per-empat meter, di kepit oleh bangunan took-toko. Itupun di jaga oleh penjaja makanan kecil atau keperluan lainnya. Jadi memang tidak begitu kentara,tetapi berisi.--Nurhalim Tanjung

No comments: