Tuesday, March 20, 2007


Natural Identity


SUATU hari, enam belas tahun lalu, seorang teman mengeluarkan pernyataan unik. Saat itu kami sedang membangun kemah di sebuah lembah di kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo, setelah keluar dari hutan dan melintasi kampung-kampung di sekitarnya. Mono, teman seperjalanan saya itu, bilang, “Sudah beberapa kampung kita susuri, jarang nampak perempuan yang jelek. Amatilah, mereka sudah pandai berdandan seperti perempuan kota.”

Kenapa? Kami berlima—sebenarnya enam dengan Mono—bingung untuk menjawabnya. Mono tahu kami bingung. Dia tersenyum manyun, lalu melempar tawa meledek kami. “Orang-orang kampung, di kaki gunung sini, sekarang sudah sering nonton tivi!” katanya memecah kebingungan kami.

Saya terdiam, sedangkan teman-teman yang lain tak menggubris karena tidak menyangka jawabannya ternyata cuma sesepele itu. Mono telah memberi jawaban sepele untuk satu pernyataan sederhana. Masa itu pernyataannya memang sederhana, tapi sekaligus unik buat saya. Peristiwa tersebut, sekali lagi, terjadi enam belas tahun lalu. Ketika itu saya belum menjadi wartawan seperti sekarang, melainkan hanya mahasiswa yang punya ‘pekerjaan iseng’ masuk kampung-keluar kampung, mengaso di lembah-lembah, hutan, gua atau pinggir danau. Sesekali saya terangsang juga dengan ajakan teman-teman seperti Mono, untuk menjenguk puncak gunung, baik Gunung Sibayak maupun Gunung Sinabung. ‘Pekerjaan’ ini sudah saya gandrungi sejak di bangku SMA.

Televisi menjadi fenomena saat itu. Dua stasiun televisi swasta sudah mampir ke rumah-rumah mendampingi TVRI, tak terkecuali rumah penduduk yang tinggal di kampung-kampung di kaki gunung. Banyak sinetron dan film televisi menampilkan wanita-wanita cantik dengan dandanan yang memberi inspirasi bagi orang kampung. Konon pula sinetron dan film itu sering diselingi iklan-iklan produk kecantikan semacam kosmetik, lipstick, fashion dari butik dan sejenisnya. Maka inspirasi itu pun rampung untuk direalisasikan. Apalagi setelah diiklankan televisi, barang-barang tersebut segera menyerbu pasar-pasar di desa dan kampung-kampung.

Sempurna lah aksi peniruan perempuan kampung terhadap tayangan media televisi. Secara psikologis, para psikolog mungkin menganggapnya sebagai “proses identifikasi” yang wajar terjadi. Siapa sih, yang tak ingin modis dan cantik? Jadi tak usah heran kalau perempuan kampung ingin berpenampilan sama dengan perempuan kota.

Mono telah mengajak saya untuk terus merenungkan pernyataannya. Hari-hari ini saya teringat kembali perjalanan kami belasan tahun lalu. Kala itu memang hampir semua perempuan di pelosok kampung yang kami singgahi berdandan menyerupai perempuan kota. Teknologi media memang dahsyat, bisa membuka pintu isolasi yang tertutup rapat sekalipun tempatnya jauh di ujung bumi.

Penetrasi informasi melalui media selalu memancing rasa ingin tahu sebelum menimbulkan rasa ingin meniru. Perasaan itu semakin membuncah apabila pengelola media mampu mengemas informasi dengan desain memukau dan warna-warni yang membuat sajiannya semakin detail. Kalau tak ada filter, baik dari pihak media maupun publiknya, maka proses meniru bisa berlangsung ‘ngeri’. Syukur apabila tayangan media menawarkan nilai positif, semisal hanya mendorong perempuan kampung bisa berdandan sopan seperti perempuan kota. Bagaimana kalau perempuan kota di sinetron dan film itu berdandan tak pantas alias ‘ngeri’?

Mungkin lebih baik turn-off saja televisi anda atau pindah ke channel stasiun lain. Soalnya kini sudah semakin banyak stasiun di televisi kita, bukan hanya dua atau tiga stasiun sebagaimana saat saya masih mahasiswa dulu. Cari siaran yang memberi pembelajaran yang pantas untuk ditiru. Bukankah perempuan akan tampak lebih cantik kalau natural identity-nya tidak lebur diterpa tayangan media tanpa filter? Identitas asli itu pula yang membedakan siapapun dari siapapun.--nt

1 comment:

Anonymous said...

Keep up the good work.