Monday, March 26, 2007



Don’t Tell It, Show It


“DON’T tell it, show it.” Ini adalah ungkapan sepele tetapi bermakna kuat. Saya sering membacanya di whiteboard jika Amir Daud, seorang mentor jurnalistik negeri ini, berbicara di depan kelas. Kadangkala dia tidak sempat menuliskannya tetapi pasti mengingatkan secara lisan. Kalimat itu merupakan isyarat bahwa perlu disiplin dalam bercerita: jangan sekadar omong tetapi tunjukkan fakta-faktanya.

Makna ungkapan itu sangat membekas di benak saya, menjadi pelajaran yang tetap berguna hingga kini. Saya merasa terus diingatkan supaya tidak mengarang-ngarang cerita melainkan mesti mengedepankan bukti dan faktanya. Amir Daud kerap menanamkan nilai moral bagi para penutur peristiwa—baik wartawan maupun praktisi jurnalisme yang menggunakan media massa untuk berbicara kepada publik—dengan kutipan-kutipan bertenaga semacam kalimat tersebut. Bahkan meskipun dia telah ‘berpulang’ ungkapan sejenis itu tetap mempunyai tenaga untuk menjaga laku moral orang-orang yang menerima ilmu darinya.

Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Semua yang datang dari Tuhan Semesta Alam pasti kembali kepada-Nya. Dada saya membuncah, seakan mau pecah, saat menerima short messaging service dari Mbak Indri, seorang teman di Jakarta, yang mengabarkan Amir Daud telah meninggal dunia. Kabar yang sama juga saya terima dari beberapa orang teman melalui ponsel dan email pada Sabtu sore pekan lalu. Saat itu saya sedang jauh dari Medan. Saya nelangsa menerima kabar duka dari mereka. Tiba-tiba saya ingin menyendiri, mengenang sosoknya yang sederhana. Tidak banyak guru mempunyai spirit sekuat yang dimilikinya.

“Saya terkesan oleh disiplinnya yang all out dan bekerja tidak setengah-tengah. Check and recheck-nya kuat,” kata Jakob Oetama, seorang wartawan senior, kepada majalah Pantau. Amir Daud memang sosok yang seperti itu. Buat sebagian orang mungkin dia terkesan nyinyir tetapi dia tak pernah mau berhenti mentransfer pengetahuannya hanya karena kesan itu. Dia bersikeras untuk tetap show it, bukan sekadar bercerita (baca: tell it) tanpa bukti dan fakta.

Pengalamannya yang sangat kaya juga membuat dia berbeda di antara banyak pengajar atau guru yang ada di negeri ini. Dia mungkin tipikal Oemar Bakri dari segi idealisme, tetapi sedikit lebih beruntung karena tetap bisa menghidupi keluarganya dengan layak. Itupun berkat ketekunan dan disiplin bekerja keras. “Kalau tidak mungkin saya akan terus tinggal di dalam gang becek, setiap hujan turun rumah pasti bocor, kadang beli susu untuk anak-anak juga pernah tak punya uang,” katanya kepada saya di dalam mobil yang dikemudikannya. Ketika itu dia memberi saya tumpangan sembari pulang ke rumahnya di Rawamangun dari Lembaga Pers Dr. Soetomo di Jakarta. Dia senang bercerita lama-lama kepada setiap muridnya seakan-akan ingin menstransfer semua pengalamannya.

“Sekali-sekali kalau sedang ada di Jakarta, mampirlah ke rumah. Kita bisa makan bersama sambil bercerita lebih lama,” tutur Amir Daud. Saya meng-iya-kannya. Kala itu saya sudah sampai di tujuan, siap-siap turun dari sedan birunya yang tidak lagi baru. “Saya senang dengan mobil ini, sudah lama saya memakainya untuk melatih refleks,” ungkapnya ketika saya berterimaksih untuk tumpangannya. Beberapa kali setelah itu kami masih sempat bertemu, baik kala dia berkunjung ke Medan maupun ketika saya bertugas ke Jakarta. Dia juga selalu menitipkan salam buat saya lewat orang-orang Medan yang bertemu atau masuk kelasnya di pelatihan-pelatihan maupun sekolah jurnalistik tempatnya mengajar di Jakarta.

Karena itu, setelah menerima kabar duka lewat SMS dan email pekan lalu, saya segera menyesali diri mengapa tak pernah menyempatkan diri mampir ke rumahnya saat sedang berada di Jakarta. Saya mencoba mengobatinya dengan menelepon ke rumahnya di Rawamangun. Mira Andam Suri, putri bungsunya, memintakan maaf untuk salah dan silap yang mungkin pernah tersirat maupun tersurat dari Amir Daud. “Pasti mbak, saya tentu memaafkannya,” kata saya sembari menitip salam buat bundanya yang sedang shalat. Mira mungkin tidak tahu bahwa saya sangat menyesal tak pernah bisa mampir ke rumah mereka memenuhi undangan yang pernah disampaikan ayahnya. Sayalah yang semestinya mohon maaf kepada mereka.

Apalagi—bukan cuma karena janji-undangan itu—Amir Daud memang sosok guru sejati.
Dia tak ingin apa yang pernah diajarkannya hanya menjadi cerita di dalam kelas, atau sekadar “basa-basi” antara guru dan murid yang buyar ketika jam belajar usai. Dia, sungguh, ingin setiap orang yang pernah menimba ilmu darinya bisa trampil mengoperasikannya, seperti ungkapan yang sering dituliskannya besar-besar di whiteboard: don’t tell it, show it.--nt

No comments: