Sunday, June 24, 2007


Wawancara dan
Menembus Sumber Berita

Oleh Nurhalim Tanjung


“Apakah yang anda rasakan saat banjir terjadi di tempat anda?”




PERTANYAAN itu disampaikan oleh presenter televisi swasta kepada seorang korban banjir di Jakarta ketika melakukan wawancara via telefon secara live. Apakah pertanyaan itu memancing rasa ingin tahu? Mungkin ya, tapi mungkin pula tidak sama sekali. Siapapun—para pemirsa televisi serta publik media berita—sudah mengerti dan dapat merasakan bagaimana perasaan para korban banjir di Jakarta baru-baru ini, apalagi media terus memberitakan dengan gencar dari berbagai sisi tentang bencana tersebut. Pertanyaan itu terdengar menjadi kurang cerdas. Mungkin lebih baik jika presenter televisi itu mengajukan pertanyaan: “Bagaimana anda menyelamatkan diri dan keluarga dari banjir?”

Wawancara merupakan salah satu alat reportase yang penting dalam jurnalisme, selain observasi serta pengumpulan data dan fakta melalui referensi. Kualitas pertanyaan seorang wartawan sangat menentukan seberapa bagus informasi dari sumber berita yang akan diperolehnya. Seorang wartawan yang memperhatikan mutu wawancara biasanya melakukan persiapan terlebih dulu sebelum menemui sumber berita untuk mengajukan pertanyaan. Sebaliknya, wartawan yang tak memiliki persiapan sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan buruk ketika melakukan wawancara. Hasilnya? Berita yang sampai ke publik seringkali dangkal, biasa saja, dan kadang membuat sumber berita jera untuk diwawancarai lagi.

Bukan tidak mungkin pula jika wartawan tanpa persiapan kerap terjadi salah kutip dan tidak akurat dalam memberitakan hasil wawancara. Padahal, menurut Dja’far Assegaff, seorang wartawan senior, salah kutip dan tidak akurat sering menyebabkan sumber berita enggan untuk menghadapi wartawan karena mudah merusakkan reputasi atau menimbulkan kekeliruan. Bagi wartawan sendiri kesalahan atau ketidakakuratan dalam pemberitaan tentu akan mempengaruhi kredibilitasnya serta media massa-nya di mata sumber berita.

Persoalan-persoalan itu mungkin bisa tidak terjadi apabila wartawan memiliki persiapan ketika akan melakukan wawancara. Persiapan diri dapat pula membantu wartawan untuk menembus sumber berita guna melakukan wawancara. Ini karena persiapan diri membuat wartawan lebih dapat menjaga mutu wawancara dan kualitas pemberitaan sehingga sumber berita lebih welcome. Mudah-mudahan tidak ada pertanyaan buruk, salah kutip, masalah akurasi, dan berbagai kekeliruan lain.

Tujuan Wawancara
Sebelum mempersiapkan diri seorang wartawan perlu mengetahui tujuan wawancara yang akan dilakukannya. Ada lima (lima) tujuan wawancara yang biasa dilakukan oleh wartawan, yaitu:

* Wawancara menggali informasi (information interview). Wartawan melakukan wawancara ini untuk mencari keterangan dari orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi sebagai sumber berita karena profesi atau pekerjaannya, dia melihat, mengalami sendiri maupun terlibat langsung di dalam peristiwa.
* Wawancara meminta konfirmasi (confirmation interview). Wartawan melakukan wawancara untuk mendapat konfirmasi atau penegasan dari sumber berita tentang sesuatu peristiwa atau keterangan yang sudah diketahuinya.
* Wawancara meminta pendapat (opinion interview). Wawancara ini dilakukan untuk meminta pendapat dari orang yang dianggap mengetahui karena kemahiran atau keahliannya tentang suatu persoalan yang sedang memperoleh perhatian masyarakat (aktual).
* Wawancara untuk membuat cerita (feature interview). Ini adalah wawancara untuk membuat cerita tentang kehidupan masyarakat atau pribadi orang yang diwawancarai karena dianggap dapat menarik hati orang banyak. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sumber berita yang bersifat human interest. Karena itu wawancara ini tidak hanya dapat dilakukan pada orang besar, melainkan juga terhadap masyarakat kebanyakan.
* Wawancara biografi (biographical interview). Wawancara ini umumnya dilakukan untuk menyusun sejarah hidup narasumber, baik menyangkut pengalaman atau fakta hidup pribadi yang menarik hati maupun hal-hal kecil lainnya—seperti reputasi yang diperoleh, sifat sampai falsafah hidup orang yang diwawancarai.

Tujuan wawancara perlu diketahui supaya wartawan dapat menentukan informasi atau keterangan yang dibutuhkannya dari sumber berita. Wawancara itu sendiri bisa dilakukannya secara langsung atau berperantara. Wawancara langsung berarti wartawan bertatapan muka (face-to-face) dengan sumber berita, sedangkan dalam wawancara berperantara dilakukan dengan bantuan sarana komunikasi seperti telefon, surat, email dsb.

Persiapan dan Teknik Wawancara
Dalam wawancara langsung wartawan perlu membuat persiapan terlebih dulu, mencakup pengenalan tentang sumber berita, menentukan fokus permasalahan, dan menyusun daftar pertanyaan—lebih baik lagi jika ada outline atau kerangka wawancara. Persiapan ini juga diperlukan dalam wawancara berperantara tetapi mungkin tidak perlu seketat wawancara langsung. Sebab dalam wawancara langsung seorang wartawan mesti face-to-face dengan sumber berita sehingga menutut ketrampilan berbicara, memahami psikologi sumber berita, serta dapat menjaga suasana dan etika selama wawancara berlangsung.

Biasanya wartawan sudah mempunyai ide apa yang ingin diliput atau ditulisnya sebelum memulai wawancara. Dari ide inilah dia membuat beberapa persiapan wawancara. Secara lugas dapat dikemukakan beberapa persiapan wawancara sbb.


* Tentukan tujuan wawancara dan informasi yang ingin diperoleh.
* Tentukan arah permasalahan yang ingin digali dengan menyusun outline atau kerangka wawancara—untuk ini wartawan mesti memiliki informasi latarbelakang melalui berbagai acuan atau referensi.
* Tetapkan sumber berita—perhatikan kompetensi, relevansi, otoritas atau jabatannya.
* Kenali latarbelakang dan sifat-sifat sumber berita.
* Hubungi orang yang sudah ditetapkan sebagai sumber berita, buatlah janji untuk wawancara.
* Siapkanlah segala perlengkapan wawancara, seperti buku catatan, pena, dan tape recorder.
* Datanglah lebih awal dari janji waktu wawancara—jangan membuat sumber berita menunggu karena mungkin saja waktunya tidak banyak, padahal sebagai wartawan kita membutuhkan keterangan darinya.

Persiapan-persiapan itu sangat penting diperhatikan supaya wartawan tidak hanya menjadi pendengar atau sekadar mencatat apa yang dikemukakan oleh sumber berita, melainkan dapat berlaku sebagai lawan bicara yang kritis tetapi tetap dapat menjaga etika dan sopan santun wawancara. Misalnya, seorang wartawan yang akan melakukan wawancara tentang banjir kepada seorang pakar lingkungan, maka dia mesti mengetahui seluk-beluk permasalahan lingkungan terlebih dulu. Demikian pula jika wartawan akan melakukan wawancara mengenai poligami kepada seorang ulama atau pelaku poligami, maka sebaiknya dia sudah memahami sejarah dan hukum poligami terlebih dulu. Tetapi jika tanpa pengetahuan dan pemahaman yang cukup seringkali wartawan hanya menjadi pencatat dan pendengar saja sehingga wawancara ‘tidak hidup’, jadi percakapan berkepanjangan, lari dari permasalahan pokok, dan akhirnya si wartawan bakal kesulitan menuangkannya ke dalam laporan berita.

Contoh berikut adalah proses wawancara yang dilakukan dengan penuh persiapan, dimana wartawan sudah memiliki informasi latarbelakang dari berbagai sumber atau bacaan yang diperolehnya. Maaf, wawancara ini bukan mengenai banjir atau poligami, melainkan tentang teroris yang menembak seorang senator di suatu hotel California, Amerika Serikat hampir tiga puluh tahun lalu. Wawancara dilakukan oleh Jack Perkins, seorang wartawan televisi di negeri itu, dengan Sirhan Sirhan, si tertuduh penembak Senator Robert F. Kennedy. Perkins memulai wawancara dengan memberi informasi kepada khalayak dan membangun suasana wawancara yang baik dengan sumber berita. Tapi di tengah-tengah wawancara, pertanyaannya semakin tajam dan kritis. Simak wawancara berikut [dari Herbert Strentz: Reporter dan Sumber Berita]:

“RFK Harus Mati”

PERKINS: Sirhan.., apakah anda pergi ke Hotel Ambassador pada hari Minggu untuk mengamati tempat itu, lalu merencanakan, merancang, dan mencari tempat terbaik di mana anda dapat menembaknya?

SIRHAN: Pak, saya tahu ini kedengarannya tak bisa dipercaya, tetapi saya pergi ke sana hanya untuk menemui Senator Kennedy.

PERKINS: Baiklah Sirhan, sekarang tentang malam pembunuhan itu, anda pergi ke Hotel Ambassador, minum-minum sedikit dan kemudian anda katakan anda mabuk berat sehingga tidak bisa mengemudikan mobil untuk pulang, betulkah?

SIRHAN: Ya Pak, betul!

Wawancara terus mengalir membicarakan seputar pembunuhan tersebut, lalu di tengah perbincangan Sirhan mengatakan dia tidak ingat apa-apa sampai dia berada di kantor polisi

PERKINS: Anda di tahan di tengah malam di sebuah kantor polisi dan banyak petugas polisi mengelilingi anda, dan anda diborgol, semua itu tentu memaksa anda untuk bertanya: mengapa saya di sini?

SIRHAN: Sebenarnya saya ingin bertanya demikian.

PERKINS: Tetapi anda tidak menanyakannya, bukan? Ini tentu saja membuat seolah-olah anda tahu mengapa anda ada di sana. ( Lalu Perkins menyebut buku catatan Sirhan, di mana sebelum pembunuhan tersebut, Sirhan beberapa kali menulis, “RFK harus mati.”)

PERKINS: Apakah anda menuliskan kata-kata itu hanya ketika anda sedang marah besar?

SIRHAN: Mestinya begitu Pak, mestinya begitu. Itu tulisan seorang maniak

PERKINS: Itulah tulisan Sirhan.


Wawancara berakhir dengan tangisan Sirhan setelah dia mengungkapkan harapannya supaya Senator Kennedy mampu bertahan hidup dan supaya ada perdamaian di Timur Tengah. Saat itu Perkins kembali memainkan peran bersimpati setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keluarga Sirhan.

Jacks Perkins selaku wartawan tampil cukup cerdas selama wawancara itu berlangsung. Dia memperlihatkan teknik wawancara yang menarik. Dia menguasai permasalahan, karena itu bisa kritis dengan jawaban-jawaban Sirhan, tapi pertanyaannya tidak bersifat menghakimi. Perkins menyerahkan penilaian akhir kepada publik

Semestinya wawancara memang begitu karena, menurut James Gordon Benneth dari The New York Herald, “seorang wartawan adalah separoh diplomat dan separoh detektif.” Ini berarti sebagai orang yang sedang berupaya mendapatkan keterangan, maka wartawan harus dapat melakukan wawancara dengan gaya komunikasi yang bersahabat tetapi tetap objektif. Dia tidak boleh terjebak ke dalam situasi perdebatan dengan sumber berita, dan jangan pula sampai memasuki diskusi yang berkepanjangan atau bertindak berlebihan sampai menujurus ke arah interogasi, apalagi menghakimi. Dia tetap harus objektif menilai keterangan sumber berita sebab bertanggungjawab kepada masyarakat atas kebenaran keterangan yang diperolehnya.

Wawancara Perkins dengan Sirhan itu juga menunjukkan bahwa selama pelaksanaan wawancara, seorang wartawan mesti dapat menjaga suasana, bersikap wajar, memelihara situasi, tangkas menarik kesimpulan, menjaga pokok persoalan, kritis, tetapi—sekali lagi—tetap bersopan-santun.

Sumber Berita Menolak Wawancara
Bagaimana jika sumber berita menolak permintaan wawancara? Wartawan memang seringkali mendapatkan sumber berita begini. Mereka suka menghindar dengan beberapa cara, seperti tidak menjawab telefon atau meminta staf-nya untuk mengatakan, “Bapak tidak di tempat” atau “Bapak sedang tidak bisa diganggu.”

Sumber berita demikian mungkin sungkan diwawancarai karena alasan-alasan yang dikemukakan oleh Dja’far Assegaff—takut salah kutip dan pemberitaan tidak akurat. Satrio Arismunandar dari Trans TV menjabarkan alasan-alasan keengganan sumber berita untuk memberikan wawancara tersebut sbb.

* Waktu. Sumber berita yang mengatakan “Saya tak punya waktu” sebenarnya ingin memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang lain ketimbang diwawancarai oleh wartawan. Mereka memperkirakan lama waktu untuk wawancara, dan menghitung manfaat wawancara itu dibandingkan dengan jika waktunya dipakai untuk kepentingan lain. * Rasa bersalah. Sumber berita mungkin takut kelepasan bicara, mengakui telah melakukan suatu kesalahan, atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin diungkapkannya. * Kecemasan. Sumber berita mungkin mempunyai pengalaman tak menyenangkan ketika diwawancarai oleh wartawan sehingga takut terulang lagi. Mereka cenderung menolak risiko setelah wawancara. * Perlindungan. Sumber berita menolak wawancara karena ingin melindungi keluarga, teman, atau orang lain yang dicintai, atau orang lain yang diketahui melakukan perbuatan salah. Calon pemberi wawancara mungkin juga takut dikaitkan dengan pernyataan atau komentar yang bisa mempermalukan atau mengecam pihak lain. * Ketidaktahuan. Sumber berita bisa jadi menolak wawancara karena tidak mengetahui apa-apa atau hanya tahu sedikit sekali tentang masalah yang ingin diketahui oleh wartawan. * Mempermalukan. Sumber berita menolak wawancara karena masalah yang mau dipertanyakan itu membuat dirinya merasa malu, risih, atau dianggap terlalu bersifat pribadi. * Tragedi. Sumber berita yang baru mengalami musibah berat mungkin tidak ingin mengungkapkan masalahnya itu kepada umum, sedangkan wartawan mewawancarainya untuk membuat berita sehingga dapat mengubah masalah yang bersifat pribadi menjadi konsumsi publik dan terbuka.

Wartawan yang menghadapi alasan-alasan tersebut dapat meyakinkan sumber berita dengan mengemukakan betapa pentingnya wawancara itu bagi publik serta manfaat atau dampaknya bagi sumber berita tersebut. Tentu saja usaha ini juga tergantung kepada kredibilitas si wartawan dan media massa-nya. Apabila wartawan dan medianya dikenal sering melanggar etika pemberitaan boleh jadi orang yang ingin dijadikan sumber berita tetap tak ingin memberikan wawancara.

Begitupun bila sumber berita sangat penting bagi peliputan, maka wartawan mempunyai tiga cara untuk menembusnya: Pertama, hubungi sumber berita dan jelaskan maksud wawancara. Jika dia menolak, maka cara kedua adalah dengan berusaha menggunakan orang terdekatnya atau orang yang mengenalnya cukup baik supaya dapat memberikan wawancara. Cara ini dapat membuat sumber berita menganggap si wartawan bukan orang lain jadi bisa dipercaya. Ketiga, memperkenalkan diri secara langsung dalam pertemuan yang dihadirinya, lalu mengajukan pertanyaan yang sudah anda siapkan. Ini mungkin akan membuat sumber berita terkejut tetapi wartawan harus dapat bersikap wajar dan menjaga suasana.



Tetapi bila sumber berita langsung welcome terhadap permintaan wawancara tentu saja si wartawan pasti senang. Kalau ini terjadi—alhamdulillah—maka galilah informasi dari sumber berita dengan teknik dan persiapan-persiapan yang sudah dibuat agar tujuan wawancara tercapai.***




Fashion Cafe


“HALO, lagi dimana ?”
“Hai, aku di Fashion Café, kemarilah…”
“Wah, kebetulan…sebentar lagi aku datang.”
“Cari aku di lantai dua, menghadap stage.”

Pucuk dicinta ulam tiba. Sepekan menginap di hotel—untuk suatu program—di Jakarta pasti sanggup membuat siapapun menjadi jenuh. Maka saya pun segera meletakan telepon, lalu bergegas meninggalkan hotel yang terletak dekat Sarinah untuk menemui Hary, seorang teman dari Medan yang sudah pindah menetap di ibukota. Tidak susah mencapai café di Jalan Jend. Sudirman itu. Sekira 25 menit kemudian saya sudah berada di ruang gelap yang hingar-bingar dengan musik. Sinar lampu yang berwarna-warni sesekali menyiram wajah ketika saya berjalan menjauhi pintu masuk.

Hary duduk sendirian di meja tepi lantai dua—yang menyerupai balkon—tanpa pembatas dinding kecuali pipa-pipa stainless steel setinggi dada. Saya menghampirinya, “Hai apakabar, sendirian saja?” Dia menoleh. “Eh, akhirnya datang juga…tadi ada teman tapi sudah keluar,” katanya, “aku menunggumu. Ayo, duduk.” Sebatang rokok terselip di jari-jarinya, sedangkan di meja tampak satu botol minuman ringan yang sudah dituangkan ke gelas. Hary memanggil waitress, kemudian memesan minuman lagi. Kami pun tenggelam dalam suasana santai, berbicara nostalgia tentang berbagai hal saat bekerjasama di Medan.

Dari posisi meja itu kami bebas memandang ke stage yang bergaya catwalk di lantai bawah. Ricky Johannes menjadi master of ceremony di sana. Dia memandu beberapa model wanita yang berjalan melenggang-lenggok secara bergantian di atas stage tersebut. Tapi suasana segera berubah menjadi riuh. Oh, rupanya ada konser malam itu, soalnya setelah aksi para model tampil diva Ruth Sahanaya disusul Titi DJ. Mereka memukau pengunjung. Lampu sorot menerangi panggung sehingga ratusan pasang mata dari sudut-sudut gelap di sekitarnya tak mau melepaskan mereka . “Aku dengar mereka tampil di sini, makanya sepulang kerja langsung kemari,” ungkap Hary, “yah…sambil santai saja.” Saya memang mengenal Hary sebagai sosok yang penuh apresiasi terhadap kegiatan berkesenian. Konon pula jika ada model dan penyanyi cantik yang penuh talenta—ehm… Dia sanggup menghabiskan waktu untuk mengapresiasi mereka.

Saya senang berteman dengan orang seperti Hary. Dia menikmati seni sebagai menu jiwa. Setiap bertemu, saya serasa menerima transfer tentang seni dari pengetahuan, persepsi, talenta, dan pengalaman berkeseniannya. Apalagi jika di kala bertemu kami bisa sembari menikmati live performance para pekerja seni seperti di Fashion Café malam itu. Selain Hary, beberapa teman seniman juga memberi kontribusi kepada saya untuk mengasah kepekaan lewat seni. Mereka suka mengajak saya nimbrung sebagai observer dalam aksi baca puisi, baca cerpen, berteater atau bermusik ke berbagai tempat. Ada kenikmatan kala bersama mereka.

“Tanpa seni, hidup terasa kering dan gersang,” kata seorang penulis senior. Ya, tanpa seni— yang kreatif dan ekspresif—dunia seolah-olah cuma panggung hitam-putih saja. Tidak ada bianglala karena sinar matahari tak menerpa titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Saya menganalogikan titik-titik hujan itu ibarat orang yang tak mampu menyerap seni sebagai matahari bagi jiwa. Memang, kadangkala bukan titik hujan itu yang salah melainkan gumpalan awan kelam yang menghalangi sinar matahari. Contohnya, di masa lalu orang Medan pernah berbondong-bondong terpikat untuk menonton pementasan Sampek Engtay yang akan dipagelarkan Teater Koma, tapi tiba-tiba terjadi breidel hanya beberapa jam sebelum pertunjukan. Alasannya politis: teater asuhan Nano Riantiarno itu dianggap terlalu sering mengekspresikan kritik. Pementasan batal, apreasiasi terhadap seni terkooptasi, awan hitam menyelimuti dunia seni. Bianglala pun lama tak muncul dalam dunia teater.

Sesungguhnya, kata Nano Riantiarno, orang berkesenian cuma untuk memberi cermin agar semua pihak bisa lebih peka dan menjadi sensitif. Namun, lucunya, spirit berkesenian itu di-syak-wasangka secara berlebihan. Iklim sengaja dibuat gerah sehingga apresiasi terhadap dunia seni sulit tumbuh subur, padahal atensi cukup besar. Akibatnya sensititivitas tak terasah tajam, banyak orang cuek dengan kepedihan orang lain, dan budaya yang tumbuh cenderung kasar, tidak santun.

Tetapi belakangan ini bianglala itu sudah berpendar kembali. Berbagai pementasan dan konser membuat seni berdenyut lagi. Apresiasi yang muncul menanamkan kepekaan, selain membuang jenuh serta membuat hidup semakin penuh warna. Karena itu kadangkala malam pun serasa tak pernah mati, sebagaimana Hary, saya, dan orang-orang di Fashion Café ketika itu: kami larut hingga dini hari.--nt

Sunday, June 10, 2007



Menunggu Sun Rise
di Puncak Sibayak
Oleh Nurhalim Tanjung





EUREKA! Seruan Archimedes, penemu di bidang fisika jaman Yunani, itu tertulis menyolok di sisi pintu tenda yang kami pakai untuk berkemah di puncak Gunung Sibayak, Tanah Karo. Langit masih gelap, angin bertiup kencang menjelang subuh di akhir pekan pertengahan Mei lalu. Tenda yang didirikan tak cukup kuat menahan tiupan angin, tapi segera seorang teman mengeluarkan tenda pelapis untuk menahan badai. “Kita berkemah di sini saja, lokasinya cukup terbuka serta tak berbatu,” kata Sofyan, anggota tim.

Kami lega. Setelah semalaman berjalan, akhirnya sampai juga di puncak Gunung Sibayak. Dua kali gagal menemukan “pintu rimba” untuk naik ke gunung ini, tapi yang ketiga kami berhasil. Eureka!

Dataran sempit yang menjadi base camp persis berada di bibir anak sungai yang mengalirkan air beraroma belerang dari kawah gunung. Gemericik air-nya membuat setiap anggota tim tetap terjaga pada subuh itu. Semua menunggu kemunculan matahari dengan harap-harap cemas supaya dapat merekam panorama di ketinggian puncak gunung di kala sun rise dengan kamera digital. Tapi subuh terasa lama sekali beranjak menjadi terang, apalagi awan mendung tampak terus menutupi cahaya bulan. Di kejauhan, dari arah bawah, tampak sederetan cahaya senter memanjang, pertanda serombongan pendaki sedang merayap naik.

Dalam perjalanan di kaki gunung kami sempat bertemu dengan rombongan pendaki itu, karena sama-sama memulai pendakian lewat jalur wisata dari Kota Brastagi. Di kalangan pendaki sebenarnya jalur ini adalah rute yang paling mudah ditempuh karena jalannya beraspal hingga ke kawasan pertambangan milik Pertamina walaupun seringkali harus menghadapi tikungan tajam serta jalan mendaki yang curam. Namun tetap bisa ditempuh dengan mobil, sebagaimana yang kami lakukan. Cuma, malam membuat perjalanan di atas aspal yang membelah hutan kawasan Gunung Sibayak terasa lebih menantang, buktinya beberapa kali kami kehilangan arah.

Bayangkan, mobil sudah mulai beranjak dari Brastagi sejak pukul 1.30 dini hari tetapi baru sekitar dua jam kemudian kami sampai di titik pendakian setelah beberapa kali salah arah. Maklum gelap, apalagi hujan terus mengguyur kota sejuk ini. Sofyan yang dikenal sebagai anggota SAR (search and rescue) pun kewalahan menghadapi malam gelap yang ditingkahi hujan terus menerus. Malah sebelumnya beberapa kali hujan deras memaksa kami menghabiskan waktu di Brastagi. “Semestinya, kalau cuaca tak begini, paling lama setengah jam kita sudah sampai di lokasi tambang Pertamina sebab jaraknya dari Berastagi sekitar 2-3 kilometer saja,” kata Sofyan di dalam mobil.



Saat bermobil, membelah malam, itulah kami melintasi rombongan para pendaki tersebut sebab mereka berjalan kaki dari Berastagi menuju “pintu rimba” di kawasan pertambangan Pertamina itu. Dari sini jalan mendaki ke puncak Sibayak dapat ditempuh selama 30-45 menit lagi. Tapi mobil yang kami kendarai gagal mencapai ujung aspal karena tanah longsor menimbun badan jalan menjelang 500 meter dari sana. Apa boleh buat, kami harus memarkirkan dua mobil yang dikendarai di areal pinggir hutan di dekat longsoran itu. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, melintasi tanah longsor yang tebal dan becek, lalu mencari “pintu rimba” setelah menjejak kawasan pertambangan milik Pertamina di ujung jalan beraspal. “Pintu rimba” adalah istilah yang dipakai para pecinta alam untuk menyebutkan jalan masuk ke belantara alam, seperti puncak Gunung Sibayak.

Kawasan pertambangan milik Pertamina itu berbatasan langsung dengan hutan dan dinding alam yang mencuram dari puncang Gunung Sibayak. Bekas tambang sangat kentara di sini karena berada di lokasi yang terbuka, beberapa lubang besar dibiarkan menganga tanpa penjagaan. Kami mengamati kawasan ini dengan cukup jelas karena hujan sudah reda, dan bulan mulai terang. Begitupun, kami juga harus menggunakan senter untuk mengelakkan langkah, menjauh dari lubang menganga di lokasi yang agak remang-remang.

Beberapa kali kami berputar-putar di kawasan pertambangan itu untuk menentukan “pintu rimba” ke puncak Sibayak. Sekali kami sempat mengira jalan setapak di antara semak-belukar di depan badan jalan adalah “pintu rimba” yang dicari, lalu kami berusaha menempuhnya. Tetapi setelah semakin ke dalam ternyata semak belukar itu semakin rapat, sehingga kami memutuskan berbalik arah.

Kami kembali ke kawasan pertambangan itu. Mengaso sejenak. Sebenarnya lokasi tambang ini berada di ketinggian lebih satu kilometer dari permukaan laut. Berarti, dari sini perjalanan ke puncak Sibayak tak lama lagi—mungkin sekitar 30-45 menit saja— karena gunung ini memiliki ketinggian sekira 2.212 meter dari permukaan laut. Gunung ini juga masih aktif. Kawahnya terus mengeluarkan asap dengan suara menderu-deru. Syukurlah air di dalam kawah itu tidak menggelegak, tidak seperti Gunung Merapi di Jogyakarta yang sedang mengamuk saat ini. Bahkan di Sibayak para pendaki yang berkemah disekitarnya berani turun memasuki kawah untuk merangkai batu-batu dengan nama mereka didasarnya yang digenangi air hangat sedalam 20-50 centimeter.

Saat yang lain mengaso, Sofyan terus mengitari lokasi pertambangan itu. “Woi, di sini “pintu rimba”-nya,” katanya tak lama kemudian. Dia memberi aba-aba dengan senter, tim pun bergerak mengikutinya. Kami meniti tangga dari semen buatan Pertamina untuk mencapai jalan setapak yang tertutup semak belukar di lokasi yang lebih tinggi. Kali ini pasti tak salah lagi. Jalan setapak itu terus mendaki. Tak sulit menapakinya, apalagi telah dilapisi semen kasar yang mengikuti tekstur tanah. Pendakian yang lumayan gampang. Jangan heran sebab rute yang kami tempuh adalah jalur wisata, bukan jalur pecinta alam yang natural dan membutuhkan waktu berjam-jam—bahkan sehari-dua hari—untuk sampai puncak Gunung Sibayak.



Air dari sisa-sisa hujan terus mengalir dari hulu jalan setapak yang ditempuh, bahkan di tempat-tempat yang datar air menggenang hingga merusak semen dan menyebabkan becek. Semua harus hati-hati, siap-siap dengan senter di tangan karena jalanan menjadi licin. Beberapa orang terpeleset, tapi yang lain segera menolong. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Soalnya di sisi kiri sepanjang jalan mendaki itu adalah jurang, sedangkan di sisi kanan berdiri kokoh tebing semak-belukar.

Semakin tinggi berjalan, semakin dingin udara. Hembusan angin membuat udara bertambah dingin. Tapi udara dingin itu tidak begitu terasa karena tubuh kami panas dan terus berkeringat. Malah jaket yang dikenakan sejak dari Berastagi sudah dilepas, masuk ke ransel atau diikatkan ke pinggang. Kami memang memilih terus berjalan untuk mengatasi cuaca dingin. Sesekali saja beristirahat, itupun sebentar, hanya 5-10 menit.

Subuh, kurang dari pukul lima dini hari, akhirnya kami tiba di puncak Sibayak. Langit masih gelap karena awan menutupi bulan. Kami membangun tenda di dataran yang dipilih sebagai base camp. Angin bertiup kencang. Cuaca dingin mulai terasa menggigit. Semua masuk ke dalam tenda, menghangatkan tubuh dengan duduk rapat. Sofyan meletakkan kompor mini di tengah-tengah tenda, lalu menyalakannya untuk memasak air. Cuaca dingin di luar tenda mulai teratasi, apalagi setelah air yang dimasak mendidih. Kami sarapan roti dengan susu sachet yang diaduk dengan air hangat itu.

Serombongan pendaki yang sempat bersirobok dengan kami di bawah tadi juga sudah sampai di puncak gunung. Mereka dipandu oleh Dedi, seorang pemandu lokal yang tinggal di kaki Gunung Sibayak dekat Berastagi. Rombongan ini beristirahat di dataran sekitar base camp kami. “Kalian yang tadi melintasi kami dengan mobil?” tanya Dedi.

Menurutnya, kami terlalu berani mendekati kawasan tambang Pertamina dengan mengendarai mobil. “Soalnya kalau musim hujan sering terjadi longsor, lihat saja longsoran di bawah itu tadi,” katanya. Karena itu dia memilih membawa rombongan yang dipandunya berjalan kaki dari Berastagi. Berapa tarif pemandu lokal ke Gunung Sibayak? “Biasanya 150-200 ribu rupiah, tapi kalau kali ini aku dibayar Rp150 ribu,” kata Dedi.

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Tapi matahari belum juga muncul. “Seharusnya langit sudah terang,” kata Sofyan. Awan tebal tampak masih menggantung di langit. Matahari tak mampu menyingkapnya. Sun rise di puncak gunung ini menjadi tak sesemarak biasanya. Beberapa momen alam yang sempat diabadikan dengan kamera digital tampak diselimuti kabut tipis. Hasilnya tak begitu sempurna, padahal panorama Sibayak saat itu cukup menakjubkan dinikmati dengan mata telanjang.

Begitupun tak ada kekecewaan. Semua puas bisa mencapai puncak Gunung Sibayak dalam perjalanan malam yang berhujan dan tanah longsor. Rasa puas semakin tergambar kala matahari berhasil menyapu gumpalan awan sehingga permukaan puncak Sibayak tampak lebih mengesankan. Kami buru-buru mendaki dataran tertinggi untuk mendekat ke matahari yang semakin tinggi. Pemukiman dan dataran hijau di desa-desa nun jauh di kaki gunung tampak jelas dari sini. Sinar matahari pagi membantu kami untuk menikmatinya, mengobati rasa lelah yang kehilangan sun rise.***