Thursday, July 19, 2007




The Hartford Courant




TRAGEDI adalah komedi sejati. Saya setuju dengan kalimat yang pernah diulang oleh Mahbub Djunaidi, seorang pengarang bergaya jenaka, ini. Pasalnya, seorang pebisnis—yang biasa necis—tampak terperangah lugu dengan penampilannya sendiri hari itu. Debu tebal menyelimuti dirinya. Rambut yang bersibak rapi menjadi awut-awutan, wajahnya seperti mengenakan topeng, dan kemeja putihnya pun centang-prenang dengan warna yang berubah menjadi abu-abu kotor. Begitu pula tas yang dijinjing serta jas ditentengannya: tampak seperti sudah lama tidak dibersihkan dari lumpur debu…

Gerr…saya geli mengamati foto itu. Derai senyum juga pecah dari bibir beberapa orang teman yang ikut menyimak fenomena kontras di dalam buku The Best of Newspaper Design—yang khusus menampilkan desain terbaik suratkabar berbagai negara—tersebut. Halaman bisnis The Hartford Courant membuat buku keluaran Society for News Design itu terasa segar. Koran ini berhasil menampilkan angle yang unik dalam desain halamannya, padahal peristiwa yang disiarkan adalah tragedi mengharukan dunia, yaitu serangan 11 September 2001 di New York. Foto pebisnis dalam keadaan linglung— setelah lolos dari tragedi tersebut—terpampang vertikal hampir memenuhi halaman suratkabar.

Yang lebih menggelitik, wajah lusuh si pebisnis persis menoleh ke arah setiap orang yang memperhatikannya. Disampingnya ada berita satu kolom yang memanjang hingga ke dasar halaman. Suratkabar itu cukup jeli menerapkan editorial design. Desainnya seolah-olah langsung bercerita kepada para pembacanya. Peristiwa tragedi pun jadi terasa menggelikan di koran ini.

Sudah nonton Ocean’s Eleven? Film ini juga menyuguhkan tragedi, yaitu ketika Rusty harus memecat Ocean, padahal dia-lah yang menghimpun mereka dalam satu gang selama ini. Apa boleh buat, soalnya Ocean tidak konsisten dengan niat mereka untuk merampok kasino milik Willy Bank. Target sesungguhnya ternyata bukanlah uang, melainkan balas dendam terhadap Bank sebab telah mengambil Tess dari pelukan Ocean. Semua sedih mesti menghukumnya.

Namun siapa sangka jika tragedi itu sengaja dirancang. Buktinya sewaktu perampokan berlangsung justru Ocean muncul menyelamatkan rekan-rekannya yang kebingungan terperangkap di dalam lift. Ocean yang semula telah tertangkap oleh Willy Bank bersekongkol dengan tukang pukul suruhannya supaya tetap berpura-pura memukuli dirinya di dalam ruangan tertutup—mumpung tak terlihat, jadi yang terdengar cuma suara bak…buk…bak!—sementara dia keluar lewat lobang angin untuk melakukan aksi perampokan setelah menyelamatkan rekan-rekannya. Bank tentu saja tertipu, tapi penonton tertawa.

Selain Bank, ulah Rusty dan Ocean juga membuat teman-teman mereka tertipu. Namun mereka bukan main gembira sesudah itu. Rupanya dulu Rusty dan Ocean cuma bersandiwara. Penonton juga senyum sumringah mendapat selipan komedi di film itu.

Komedi juga muncul dalam film nasional, semacam Naga Bonar. Film ini sebenarnya merupakan tragedi di masa perjuangan, yang kala itu sangat membutuhkan anak bangsa untuk tampil sebagai pejuang membela ibu pertiwi. Eh, bisa-bisanya yang terpanggil berjuang adalah seorang pencopet, bukan orang mapan yang sesungguhnya tidak kurang jumlahnya ketika itu. Anehnya Naga Bonar, pencopet yang menjadi pejuang tersebut, kemudian menjadi jenderal pula. Film ini benar-benar didesain sebagai tontonan komedi. Para penonton dibuat tergelak-gelak dari scene ke scene sehingga nyaris lupa kalau film itu sesungguhnya menceritakan tragedi di masa perjuangan dulu.

Tragedi memang jadi menarik jika dikemas dari sisi komedi. Semua orang bisa mencernanya, apalagi jika alurnya tetap logis, sebagaimana cerita di dalam film Ocean Eleven dan Naga Bonar. Sutradara berhasil menjaga mood penonton untuk menikmati film tersebut hingga akhir cerita.

Demikian pula tragedi 11 September 2001 yang disajikan oleh The Hartford Courant. Desainer berhasil mengkombinasikan foto dan berita teks sehingga memudahkan pembaca mencerna peristiwa—apalagi ada unsur komedi menyelimuti peristiwa tragedi itu. Saya ingat Tatang R. Bouqiue, seorang desainer grafis di Jakarta. Dia pernah mengajarkan editorial design di kelas yang saya ikuti, katanya, desain akan membantu orang mencerna peristiwa jika mampu mengaplikasikan hukum perspektif mata dengan keunikan berita supaya tetap terlihat logis, khususnya di suratkabar. Soalnya, media berita melaporkan fakta, bukan fiksi, tetapi mesti fleksibel supaya orang terbantu mencerna, bahkan sebisa mungkin dapat menikmatinya. Maka untuk menghidangkannya editor dan desainer boleh saja meramu materi—dari peristiwa tragedi yang haru-biru sekalipun—dengan gaya komedi, sebagaimana sajian The Hartford Courant tadi.

So, tidak salah ucapan Mahbub Djunaidi lagi: cara kita menyampaikan bisa membuat tragedi tidak mesti selalu ditangisi, sesekali boleh juga bikin geli.--nt


Wednesday, July 18, 2007

Heran...Metropolitan Kok, Gelap
Oleh Nurhalim Tanjung




INI kado istimewa buat ulang tahun Kota Medan: musim gelap datang lagi. Pasalnya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) kembali memberlakukan pemadaman bergilir—kondisi ini sudah berlangsung sejak lebih tiga tahun terakhir. “Target pertumbuhan ekonomi kota ini pasti terganggu,” kata seorang pengusaha. Sialnya, karena Medan merupakan pusat perekonomian Sumatera Utara maka otomatis target pertumbuhan ekonomi provinsi ini—yang ditetapkan sebesar 7 persen tahun ini—pun diyakini tidak akan tercapai. “Saya tidak yakin pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen kalau listrik terus-menerus padam,” kata Drs. Hasrul Azwar, seorang anggota legislatif di Senayan yang berasal dari Medan.

PLN memang sedang “kambuh” memadamkan listrik sejak satu bulan terakhir. Mereka sudah memberitahukan melalui release berita di berbagai media massa. Pemadaman berlangsung sejak Juni hingga awal Agustus mendatang, dimana akan dilakuan secara bergilir selama 4 jam sehari—sesekali delapan jam di kawasan tertentu. Alasannya mesin pembangkit over-haul, jadi selama perbaikan berlangsung mereka ingin membangkitkan “maaf” dari masyarakat kota ini.

Tapi rupanya PLN tidak konsisten. Pemadaman ternyata mencapai 12 jam sehari, bahkan kadangkala lebih lama lagi. Eh, untuk ini PLN merasa tidak perlu mengumumkannya. Masyarakat pun jadi tidak mengetahui jadwal pemadaman sama sekali, sebaliknya di pihak PLN ada kecenderungan untuk memadamkan listrik sesuka-hati tanpa perlu meminta maaf lagi.

Akibatnya tentu sudah bisa diperkirakan: Medan menjadi gelap di kala malam, sedangkan siang hari kemacetan lalulintas semakin menjadi-jadi di tengah kota karena banyak traffic light tidak berfungsi. Yang memprihatinkan roda perekonomian jadi susah bergerak, baik yang dikelola pengusaha kecil maupun pengusaha besar. Parlindungan Purba, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, mengemukakan para pengusaha dalam asosiasinya mengalami rugi hingga Rp180 miliar per bulan sejak pemadaman berlangsung.

Purba mengatakan kerugian yang lebih besar masih mungkin terjadi apabila pemadaman semakin berlarut-larut, apalagi kalau para pengusaha menghentikan operasi industrinya di daerah ini akibat kurangnya suplai listrik. Jika ini terjadi tentu angka pengangguran meningkat, pendapatan pajak dari sektor industri menurun, dan efek selanjutnya investor bakal sungkan berinvestasi di Medan.

Dunia pariwisata juga mandeg, kata seorang pengusaha, karena turis sungkan datang. “Ada rombongan turis yang berjanji mau berwisata kemari terpaksa membatalkan kunjungannya,” katanya. Mereka kuatir gelap mengganggu wisata yang mereka rencanakan di kota ini, tapi mereka juga sempat terheran-heran kenapa kota metropolitan seperti Medan mengalami pemadaman listrik, padahal di Penang maupun Dhaka (Bangladesh) saja tak terjadi pemadaman listrik. Pengusaha ini mengemukakan para turis tersebut mengetahui pemadaman listrik terjadi di Medan melalui berbagai saluran media massa. Kalau terus-menerus turis batal berkunjung, menurutnya, tentu memberi dampak juga kepada sektor ekonomi yang lain, seperti hotel, biro perjalanan, toko souvenir maupun rumah makan.

“Perekonomian Kota Medan sudah pasti terganggu,” kata Vincent Widjaja, seorang pengusaha. Dia setuju dengan perkiraan Hasrul Azwar, demikian pula dampak pemadaman listrik terhadap investor sebagaimana dikemukakan oleh Parlindungan Purba.”Banyak perusahaan terganggu beroperasi, begitupula usaha kecil yang cukup banyak jumlahnya di kota ini,” ungkapnya.

Dia mengemukakan Pemerintah Kotamadya Medan perlu segera mencari solusi untuk mengatasi dampak pemadaman listrik terhadap dunia usaha, khususnya usaha kecil. Caranya, kata Vincent, dengan mengalihkan dana Pajak Penerangan Jalan Umum yang dibayar oleh warga kota ini sekaligus dengan rekening listrik pada setiap bulannya. “Kalau dana itu pajak maka sewajarnyalah masyarakat mendapat pelayanan yang maksimal,” jelasnya, “tetapi bila retribusi tentu kita perlu mempertanyakan mana re-distribusinya kepada masyarakat?”

Dana PPJU dari Kota Medan mencapai Rp100 miliar setiap tahun, yang dibagikan ke berbagai institusi termasuk PLN. “Dana itu tak perlu dibagikan lagi kepada PLN, tapi sebaiknya digunakan untuk membeli mensit genset bagi usaha kecil dan masyarakat kota ini,” katanya.

Menurutnya, dengan dana sebesar Rp100 miliar tentu Pemerintah Kota Medan dapat membeli lebih 50 ribu unit mesin genset berkapasitas 1000 watt. Itu kalau mesin genset seharga Rp2 juta per unit, tetapi jika harganya ternyata cuma Rp1 juta per unit maka dapat dibeli sekitar 100 ribu unit genset. “Bayangkan berapa banyak usaha kecil dan masyarakat bisa terbantu dengan dana itu,” jelas Vincent.

Selain itu, dia menambahkan, yang terpenting perekonomian Kota Medan bisa bergerak kembali karena para pengusaha kecil terbantu mengoperasikan usahanya kembali. Tetapi kalau pemerintah Kota Medan ternyata “cukup puas” dengan kado istimewa berupa “gelap” dari PLN mungkin perekonomian kelak bukan hanya terganggu, melainkan terjerumus ke dalam kantong defisit akibat minimnya sektor penerimaan. Metropolitan ini akan menjadi kota yang dijauhi oleh pengusaha atau investor karena tak mampu memberi energi dan penerangan untuk menghidupi dirinya sendiri, bahkan di saat hari ulang tahunnya yang ke 417 pada 1 Juli 2007 lalu.

Heran, heran...metropolitan kok, gelap!

Wednesday, July 4, 2007


Inner Culture


“GILA, aku nggak jadi pinjam mobil deh,” kata tante saya dengan nada tinggi, “masa’ lampu merah diterobos saja di sini, syukur cuma macet. Bagaimana kalau sampai tabrakan? Pasti beruntun…” Saya senyum mesem saja sambil terus menyimak ekspresi adik ibu saya itu, yang baru sehari tiba di Medan bersama putri sulungnya dari Jakarta.

Sepekan sebelum tiba di Medan ia sudah menelepon untuk meminjam mobil saya selama berada di kota ini. Saya menyanggupinya. Tapi baru beberapa jam setelah menginjakkan kaki di Bandara Polonia, tanpa menunggu tante mengajak putrinya dan seorang saudara perempuan saya jalan-jalan dengan taksi ke plaza. Lalu mereka mampir ke restoran fast food di plaza simpang Masjid Raya itu. Saat makan ia mengamati persimpangan jalan di depan restoran melalui dinding kaca. Kendaraan berseliweran di sana. Semenit kemudian ia kaget, malah shock melihat berbagai kendaraan dari arah berlawanan saling berusaha memotong jalan. Tante saya berteriak memprotes pemandangan itu sambil menunjuk-nunjuk ke jalanan sehingga putrinya dan sebagian pengunjung restoran ikut melirik keluar. Traffic light yang masih berfungsi baik tak digubris ada di situ. Setiap pengendara berusaha memotong dan mendahului pengendara lain, padahal arah mereka saling berlawanan. “Ngeri aku bawa mobil di sini…nggak disiplin, main terobos aja!” ulang tante saya sekira awal tahun lalu.

Sekarang, sejak beberapa bulan terakhir, berbagai persimpangan jalan di Medan tak cukup hanya dijaga traffic light tapi sudah dilapis dengan polisi dan petugas dari Dinas Perhubungan. Otomatis aksi terobos lampu merah mulai jarang kelihatan karena ada yang mengawasi. Namun di beberapa lokasi dan jam-jam tertentu tetap saja ada pengendara yang bandel, mereka memanfaatkan kelengahan petugas untuk tancap gas menerobos lampu merah.

Aneh. Perasaan ini juga dialami seorang pengusaha. Dia sudah acap berkunjung ke berbagai negara di dunia. Pengalamannya saat berjalan kaki di kota-kota negara asing itu setiap menginjak aspal untuk menyeberangi jalan maka semua kendaraan sejak dari jarak yang jauh sudah mengurangi kecepatan, lalu berhenti, memberikan kesempatan melintas kepada para pejalan kaki. “Tak usah jauh-jauh, di Penang [Malaysia] pun para pejalan kaki tetap dihormati para pengemudi kendaraan ketika ingin menyeberang jalan,” ungkapnya. Sebaliknya di Medan setiap pejalan kaki bersiap-siap mau menyeberangi jalan maka para pengendara—apakah sepedamotor, becak maupun mobil—malah tancap gas menambah kecepatan, tak peduli ada zebra cross di depannya. Mereka tak mau terhambat para pejalan kaki. Kota ini memang aneh.

Ada orang yang meyakini bahwa “prilaku di jalan raya cermin budaya kota tersebut.” Apa betul? Saya tak percaya. Disiplin, prilaku saling menghargai dan menghormati orang lain adalah budaya universal. Semua orang, apakah dia warga kota ini atau kota-kota lain di Indonesia maupun negara-negara di dunia, sangat mendambakan kedisiplinan. Mereka sangat menghargai prilaku tersebut. Soalnya secara hakekat disiplin merupakan cermin kualitas moral dan mental. Disiplin juga wujud pengakuan terhadap hak dan keinginan orang lain, karena itu dapat mendorong siapa pun untuk mau ikut memikul tanggungjawab sosial.

Sayang budaya disiplin itu sempat tergerus dari kota ini. Tapi percaya lah itu tak lama. Kini semua orang mendambakannya kembali. Kalau saatnya tiba maka tante saya tak perlu lagi membatalkan rencana meminjam mobil jika berkunjung ke Medan. Ia aman berkeliling kota, tak perlu kuatir terhadap penerobos lampu merah. Saya yakin ia pun dengan senang hati akan menghormati para pejalan kaki, apalagi jika mereka sedang bersiap-siap hendak menyeberang jalan. Tante saya pasti menghentikan mobil hingga para pejalan kaki itu sampai di trotoar seberang jalan.

Saya merindukan saat itu. Bila waktunya tiba saya akan menelepon ke Jakarta. Saya akan bilang, “…datanglah ke Medan, disiplin lalulintasnya sudah oke. Tak ada lagi penerobos lampu merah, semua pengemudi mobil sudah mengenakan seat belt dan pejalan kaki aman melintasi badan jalan.”

Mungkin bukan hanya saya, melainkan semua warga di sini juga akan mengabari siapa pun orang-orang yang ingin bertamu ke kota ini dengan pesan senada. Kapan? Ya, ketika disiplin benar-benar sudah menjadi inner-culture, budaya yang lekat mentradisi di kota ini.—nt

Monday, July 2, 2007


Metropolitan,
Kota Dunia



SEORANG teman mem-posting email. Dia menganjurkan untuk membaca weblog-nya. Saya mengikutinya, di situ ada tulisan S. Prawiro yang bekerja di Singapura menceritakan pengalamannya menumpang taksi dari Science Park menuju Starling Road. Sopir melintasi rute yang tidak biasa, bahkan masuk ke jalan one-way sehingga terpaksa memutar karena keterusan. Kontan saja perjalanan menjadi lebih lama. Iseng-iseng Prawiro bertanya, “Apakah jalan ini sudah benar?” Sopir mengaku dia keliru mengambil jalan. Memang akhirnya taksi sampai juga ke tujuan. Prawiro pun membayar ongkos sesuai angka di argometer, tentu menjadi lebih mahal. Tapi sopir tiba-tiba bilang, “Tunggu, berapa biasanya anda bayar bila ke sini?” Rupanya dia tak mau menerima kelebihan ongkos, dan ngotot hanya mau dibayar seperti biasanya tanpa melihat argo.

Prawiro bengong. Apalagi sopir taksi itu mohon maaf karena perjalanan menjadi lebih lama. Dia mengakuinya sebagai kesalahannya serta berterimakasih tak mendapatkan komplain atas kejadian tersebut. “Ah, mungkinkah kita bisa menemukan sopir taksi seperti itu di Jakarta—dan Medan?” ungkap Prawiro.

Email plus blog tersebut mengingatkan saya dengan pengalaman hampir serupa di sana . Saat itu saya tak sabar menunggu shuttle bus dari Le Meridien untuk menuju Bandara Changi. Saya kuatir ketinggalan pesawat terbang ke Jakarta, maka memutuskan untuk menggunakan taksi saja. Saya pun menumpang Mercedes Benz yang dikelola sebagai taksi. Sopir menyapa ramah, bicaranya familiar: “Bukankah ada shuttle bus, mengapa anda naik taksi?” Heran, pikir saya, semestinya dia senang ada yang menumpang taksinya, tapi kok malah bertanya dengan nada ingin meyakinkan saya apakah benar-benar tidak ingin naik shuttle bus. “Tak mengapa, saya kuatir ketinggalan pesawat,” jawab saya ringkas.

Dia meyakinkan lagi kalau masih cukup waktu ke Changi. Mobil melaju. Saya pun merasa tenang. Kala tiba di Changi, saya melebihkan ongkos dari yang tertera di argometer—sebagai tips. Lho, dia mengembalikannya lagi. “Anda bayar saja sesuai argo,” ungkapnya. Aneh…seperti Prawiro saya juga bengong.

Don’t judge a book by its cover.” Analogi itu tentu tidak pas ditujukan kepada Singapura. Soalnya, performa ‘kota dunia’ yang modern tak hanya terlihat di pusat kota yang memiliki gedung-gedung pencakar langit dan akses jalan protokol, melainkan juga memancar dari sikap masyarakatnya. Mental mereka benar-benar siap menerima modernisasi, karena itu sangat menjaga tata krama supaya setiap orang—dari penjuru dunia manapun—merasa nyaman berada di kotanya, sebagaimana para sopir taksi di sana. Sebaliknya kota-kota di dalam negeri, seperti Medan mungkin ya, analogi tadi masih ada benarnya. Alasannya, seringkali penampilan modernisasi itu cuma di jalan protokol yang penuh gedung megah, tetapi sikap warga yang menghuninya ternyata tidak cukup ramah. Malah bertolak belakang dengan mental masyarakat modern—yang biasanya santun. Ibarat buku, sampul muka tidak selalu menjamin kualitas cerita di dalamnya, begitu pula kota ini.

Jakarta saja, kata Ali Sadikin dalam suatu wawancara, belum bisa disejajarkan dengan kota-kota modern dunia. Bukan hanya karena masih banyak perkampungan kumuh mengepung di sekitarnya, ungkap mantan gubernur DKI Jakarta itu, tetapi terutama mengingat mental masyarakat yang masih belum modern. Buktinya, dia menyuruh melihat ke jalan raya, halte, dan lokasi-lokasi fasilitas umum: orang lebih senang menunggu bus atau angkot di piggir jalan daripada di shelter. Sialnya, sopir pun tak keberatan, malah saling menepi memperebutkan penumpang di sana. Karuan saja jalanan menjadi macet, kota pun terasa sumpek.

Fenomena itu tentu lebih memekakkan lagi di Medan. Di kota ini sopir taksi dan angkot tidak ragu menurunkan penumpang di sembarang tempat. Kadang di traffic light, bahkan tak jarang di tengah jalan saja. Orang pun tak sungkan menunggu angkutan umum di tempat-tempat tersebut, lalu saling berebut ketika taksi atau angkot datang. Kontras sekali dengan pengalaman lain yang diceritakan Prawiro lagi dari Singapura lewat blog yang sama. Katanya, kalau Sabtu malam tiba dia sering menonton live music di kawasan Singapore River dekat Esplanade Park. Saat pertunjukan usai, setiap orang yang keluar dari sana harus antri taksi. Semua taat, disiplin, saling menghargai, dan tidak mengganggu orang lain. “Ini budaya Singapura yang paling saya sukai,” ungkapnya.

Sekali lagi: bagaimana dengan Medan? “Orang bilang sudah jadi kota metropolitan,” tanya seorang teman lagi, “apa iya?” Saya mengernyitkan dahi, lalu segera menjawab sekenanya: “Kota metropolitan biasanya modern, tak pernah tidur, tapi santun dan beradab.” Ya, macam ‘kota dunia’ seperti Singapura itu.—nt