Tuesday, March 27, 2007

Resensi Buku


Lorong Keadilan
Lorong Panjang yang Berliku


Judul: Bunga Rampai Lorong Keadilan dalam Perspektif Hukum Kritis
Penulis: Iman Sjahputra, SH., SpN., LL.M
Penerbit: Iman Sjahputra & Associates, Jakarta
Halaman: ix + 498 halaman


KALAU ada buku mengupas aneka persoalan hukum dalam berbagai aspek kehidupan secara sekaligus maka bunga rampai Lorong Keadilan ini adalah salah satunya. Buku ini boleh menjadi panduan praktis karena penulisnya mengupas banyak masalah lewat kacamata hukum kritis. Penulis cukup piawai memaparkan perspektif hukum tentang posisi nasabah jika isi safe deposit box-nya di bank hilang misalnya, atau bagaimana menjerat para pelaku illegal logging dengan terobosan hukum diluar Undang-undang tentang Kehutanan, yaitu menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengapa? Cukong kayu, menurut penulis, telah melakukan illegal logging dan besar kemungkinan hasil kejahatannya disimpan di suatu bank (hal. 106).

Iman Sjahputra SH., SpN., LL.M, penulis buku Lorong Keadilan ini adalah pengacara senior jebolan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan The American University, Washington College of Law, USA. Dia juga Kandidat Notaris Universitas Gajah Mada dan kini sedang menempuh pendidikan strata tiga (S-3) di Universitas Padjajaran Bandung. Dia pernah menjadi advokat di kantor hukum Gani Djemat & Partner Law Office sebelum bekerja sebagai Managing Partner of Iman Sjahputra & Associates hingga sekarang.

Background itu membuatnya mampu mengupas banyak masalah secara kritis melalui perspektif hukum. Dia menuangkannya melalui artikel-artikel di surat kabar dengan cara populer. Bahasa hukum yang biasa jlimet menjadi mudah dicerna ditangannya. Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel yang pernah ditulisnya di Harian Suara Pembaruan Jakarta dan Harian Analisa Medan sejak tahun 2001 hingga 2006.

Jarang ada ahli hukum yang merangkap praktisi mampu menulis secara intens di surat kabar. Kalau pun ada yang mampu sering kali mereka tak punya waktu untuk mengupasnya di kolom-kolom surat kabar. Tetapi Iman Sjahputra merupakan pengecualian, di tengah kesibukannya dia terus menulis. Bahkan—saya pikir—dia pun ngotot merangkum artikel-artikelnya yang bertebaran di surat kabar menjadi sebuah buku bunga rampai agar bisa menjadi pegangan dalam mensikapi perkara-perkara di masyarakat dengan perspektif keilmuan dan keahlian yang ditekuninya: hukum.

Selaku penulis, Iman Sjahputra memang sering mendapat ide penulisan dari berita-berita di media pers tetapi isi buku ini menunjukkan dia pun agresif merespon permasalahan masyarakat yang tidak muncul di surat kabar, seperti soal isi safe deposit box yang raib itu, yang merugikan nasabah satu bank di Medan. Dia memaparkan permasalahan ini secara seimbang supaya nasabah dan pihak bank memahami posisi masing-masing (hal. 145-147).

Dia juga membuktikan kepiawaiannya mengupas permasalahan cyber crime maupun cyber terrorism yang marak di dunia maya (internet). Penulis memperlihatkan kegelisahannya di sini karena kasus penyimpangan pemanfaatan internet terus terjadi, sementara aparat hukum ragu-ragu menunaikan law enforcement (baca: Indonesia Gamang dalam Memberantas “Cyber Crime”-hal.403-406). Karena itu dia menawarkan berbagai upaya hukum untuk memeranginya, disamping mendorong perlunya segera ada cyber law di negara ini. Dia cukup fokus membahas problem cyber di sini, terbukti ada 16 judul artikel yang mengisi hampir 70 halaman buku ini, mulai tentang penyimpangan transaksi kartu kredit, kejahatan hacker, pelanggaran hak cipta sampai soal pidana bisnis “esek-esek” di dunia maya. Pembahasannya terasa cukup penting pula untuk menjadi pertimbangan dalam merampungkan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik yang sedang digodok di negeri ini.

Selain itu, bagi orang Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, buku ini memiliki nilai proximity karena banyak menyorot sisi-sisi hukum berbagai persoalan dan peristiwa yang terjadi di kedua daerah ini. Misalnya tentang musibah jatuhnya pesawat terbang Mandala di Padangbulan Medan yang perlu diusut penyebabnya (hal. 321) maupun soal wewenang pengawasan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh (hal.135), Perpu Tanggulangi Bencana Aceh (hal.291) dan sebagainya.

Buku bunga rampai Lorong Keadilan ini akan terasa lebih lengkap jika disimak secara langsung. Saat membacanya maka kita akan menemukan ada aneka produk hukum yang tumpang tindih sampai kekosongan hukum dalam berbagai aspek kehidupan di negeri ini. Semua tak luput diulas di sini, termasuk persoalan ekonomi, gender, kesehatan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), politik, korupsi, pidana, mafia peradilan, penerbitan majalah Playboy hingga heboh yang berkaitan goyang Inul.

Begitupun “tak ada gading yang tak retak.” Buku ini akan menjadi lebih menarik jika penulis dapat mengkodifikasi artikel-artikel yang membahas topik permasalahan sejenis menjadi bagian-bagian tertentu dalam bab, yang biasa dipakai pada pembabakan isi buku, seperti soal cyber disusun ke dalam “Bab Cyber Law”, demikian pula untuk soal Aceh ada “Bab Aceh”, atau “Bab Malpraktek dan Sisi Hukum Medis” untuk masalah kesehatan serta bab-bab lainnya. Memang penulis sudah cukup membantu dengan meletakkan kutipan yang menggelitik sebagai intro yang eyes-catching di atas setiap judul artikel sehingga memikat pembaca untuk menelusuri lebih dalam persoalannya.

Akhirnya, buku ini, seperti kata penulisnya dalam kata pengantar (hal. viii-ix), mencoba membingkai pasang surut proses penegakan hukum di negeri ini, terutama semenjak bergulirnya reformasi. Dia melihat reformasi yang sejatinya berintikan keadilan itu ternyata pun sudah jauh menyimpang dari keadilan (justice) dan kemanusiaan (humanity). Kadangkala hukum menemui benturan dan hambatan sebagaimana jika kita menyusuri sebuah lorong panjang dan berliku.

Membaca buku ini sama halnya seperti menyusuri lorong panjang itu. Ada lorong yang terang-benderang, di mana kita dikenalkan dengan kondisi-kondisi hukum yang menggeliat, tapi ada pula kelokan-kelokan yang gelap ketika hukum tak berdaya. Singkat kata: perjuangan hukum menuju keadilan dan kemanusiaan di negeri ini ternyata masih panjang, masih membutuhkan usaha dan kerja keras kita bersama. Buku ini saksi yang merekam semua itu, seringkali juga menyuguhkan jalan keluar dengan arif tetapi tetap terasa bijak.—nt

Monday, March 26, 2007



Don’t Tell It, Show It


“DON’T tell it, show it.” Ini adalah ungkapan sepele tetapi bermakna kuat. Saya sering membacanya di whiteboard jika Amir Daud, seorang mentor jurnalistik negeri ini, berbicara di depan kelas. Kadangkala dia tidak sempat menuliskannya tetapi pasti mengingatkan secara lisan. Kalimat itu merupakan isyarat bahwa perlu disiplin dalam bercerita: jangan sekadar omong tetapi tunjukkan fakta-faktanya.

Makna ungkapan itu sangat membekas di benak saya, menjadi pelajaran yang tetap berguna hingga kini. Saya merasa terus diingatkan supaya tidak mengarang-ngarang cerita melainkan mesti mengedepankan bukti dan faktanya. Amir Daud kerap menanamkan nilai moral bagi para penutur peristiwa—baik wartawan maupun praktisi jurnalisme yang menggunakan media massa untuk berbicara kepada publik—dengan kutipan-kutipan bertenaga semacam kalimat tersebut. Bahkan meskipun dia telah ‘berpulang’ ungkapan sejenis itu tetap mempunyai tenaga untuk menjaga laku moral orang-orang yang menerima ilmu darinya.

Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Semua yang datang dari Tuhan Semesta Alam pasti kembali kepada-Nya. Dada saya membuncah, seakan mau pecah, saat menerima short messaging service dari Mbak Indri, seorang teman di Jakarta, yang mengabarkan Amir Daud telah meninggal dunia. Kabar yang sama juga saya terima dari beberapa orang teman melalui ponsel dan email pada Sabtu sore pekan lalu. Saat itu saya sedang jauh dari Medan. Saya nelangsa menerima kabar duka dari mereka. Tiba-tiba saya ingin menyendiri, mengenang sosoknya yang sederhana. Tidak banyak guru mempunyai spirit sekuat yang dimilikinya.

“Saya terkesan oleh disiplinnya yang all out dan bekerja tidak setengah-tengah. Check and recheck-nya kuat,” kata Jakob Oetama, seorang wartawan senior, kepada majalah Pantau. Amir Daud memang sosok yang seperti itu. Buat sebagian orang mungkin dia terkesan nyinyir tetapi dia tak pernah mau berhenti mentransfer pengetahuannya hanya karena kesan itu. Dia bersikeras untuk tetap show it, bukan sekadar bercerita (baca: tell it) tanpa bukti dan fakta.

Pengalamannya yang sangat kaya juga membuat dia berbeda di antara banyak pengajar atau guru yang ada di negeri ini. Dia mungkin tipikal Oemar Bakri dari segi idealisme, tetapi sedikit lebih beruntung karena tetap bisa menghidupi keluarganya dengan layak. Itupun berkat ketekunan dan disiplin bekerja keras. “Kalau tidak mungkin saya akan terus tinggal di dalam gang becek, setiap hujan turun rumah pasti bocor, kadang beli susu untuk anak-anak juga pernah tak punya uang,” katanya kepada saya di dalam mobil yang dikemudikannya. Ketika itu dia memberi saya tumpangan sembari pulang ke rumahnya di Rawamangun dari Lembaga Pers Dr. Soetomo di Jakarta. Dia senang bercerita lama-lama kepada setiap muridnya seakan-akan ingin menstransfer semua pengalamannya.

“Sekali-sekali kalau sedang ada di Jakarta, mampirlah ke rumah. Kita bisa makan bersama sambil bercerita lebih lama,” tutur Amir Daud. Saya meng-iya-kannya. Kala itu saya sudah sampai di tujuan, siap-siap turun dari sedan birunya yang tidak lagi baru. “Saya senang dengan mobil ini, sudah lama saya memakainya untuk melatih refleks,” ungkapnya ketika saya berterimaksih untuk tumpangannya. Beberapa kali setelah itu kami masih sempat bertemu, baik kala dia berkunjung ke Medan maupun ketika saya bertugas ke Jakarta. Dia juga selalu menitipkan salam buat saya lewat orang-orang Medan yang bertemu atau masuk kelasnya di pelatihan-pelatihan maupun sekolah jurnalistik tempatnya mengajar di Jakarta.

Karena itu, setelah menerima kabar duka lewat SMS dan email pekan lalu, saya segera menyesali diri mengapa tak pernah menyempatkan diri mampir ke rumahnya saat sedang berada di Jakarta. Saya mencoba mengobatinya dengan menelepon ke rumahnya di Rawamangun. Mira Andam Suri, putri bungsunya, memintakan maaf untuk salah dan silap yang mungkin pernah tersirat maupun tersurat dari Amir Daud. “Pasti mbak, saya tentu memaafkannya,” kata saya sembari menitip salam buat bundanya yang sedang shalat. Mira mungkin tidak tahu bahwa saya sangat menyesal tak pernah bisa mampir ke rumah mereka memenuhi undangan yang pernah disampaikan ayahnya. Sayalah yang semestinya mohon maaf kepada mereka.

Apalagi—bukan cuma karena janji-undangan itu—Amir Daud memang sosok guru sejati.
Dia tak ingin apa yang pernah diajarkannya hanya menjadi cerita di dalam kelas, atau sekadar “basa-basi” antara guru dan murid yang buyar ketika jam belajar usai. Dia, sungguh, ingin setiap orang yang pernah menimba ilmu darinya bisa trampil mengoperasikannya, seperti ungkapan yang sering dituliskannya besar-besar di whiteboard: don’t tell it, show it.--nt

Friendly City?

“ANDA tahu, seperti apa karakter kota ini?”

Pertanyaan itu dilontarkan seorang mentor kepada saya ketika dia berkunjung ke Medan sepuluh tahun lalu. Saya menatap matanya, mencari-cari kalimat yang pas untuk menjawab. “Buruk, keras sekali,” ungkapnya mendahului saya. Saya terpaku, diam. Amir Daud, mentor saya itu tersenyum. Dia tahu saya masih penasaran dengan pertanyaan serta jawaban yang dilontarkannya sendiri.

“Lihat kebun binatang di kota anda ini,” katanya lagi. Rasa penasaran saya semakin membuncah. Kenapa kebun binatang dipakai mengukur karakter kota? Masa itu Kebun Binatang Medan masih berada di sudut Kampung Baru, bukan di tempatnya sekarang. “Bagaimana mungkin hewan-hewan bisa hidup nyaman di lahan yang sangat terbatas,” tambah sang mentor. Pikiran saya menerawang. Saya mulai tahu ke arah mana dia menggiring perbincangan. Bukankah karakter kita tergantung bagaimana cara kita memperlakukan sesama makhluk, termasuk hewan di kebun binatang?

Pembicaraan saya dengan mentor itu kembali melintas hari-hari ini. Pasalnya, Maskun Iskandar, seorang koleganya, mampir ke kota ini pekan lalu. Kami bertemu. Dia mengabarkan kondisi Amir Daud yang sudah semakin sepuh. Saya down, terharu. Mendadak saya dahaga akan pikiran dan pandangannya yang detail dan kritis, seperti saat membincangkan karakter kota melalui kebun binatang. Suatu pembicaraan yang menohok perhatian.

Saya teringat, memang, wisatawan sering enggan mengunjungi kebun binatang di beberapa kota negeri ini karena hewan-hewan hidup berdesakan di lahan yang sempit. Kabarnya, para turis asing tidak tega berkunjung ke sana sebab hewan-hewan itu tampak seperti tak dipelihara baik. Kebun binatang terkesan menjadi tempat penyiksaan hewan. Kebetulan kebun binatang di sini memiliki kondisi yang hampir serupa pula.

Benarkah kebun binatang bisa merefleksikan karakter kota? Pertanyaan ini terus menggantung di benak saya. Tapi tak lama karena saya segera merasakan kegelisahan hewan-hewan di kebun binatang Medan. Kala itu saya bersama seorang teman mengisi waktu senggang di sana. Kami duduk di rerumputan yang tebal di bawah pepohonan besar yang teduh. Tiba-tiba segerombolan kijang berlari seraya melompat-lompat di sekitar kami. Saya dan teman tadi terkesiap. Kaget. Seorang petugas berlari mengejar, dia berusaha menghalau hewan-hewan itu. Seorang petugas lainnya menghampiri kami. “Maaf, nggak apa-apa,” katanya, “kandang kijang-kijang itu tadi terbuka.” Bah! Enteng sekali apologi-nya, padahal kami sudah sangat shock. Bayangkan, bagaimana jika yang terbuka kandang harimau, singa, ular atau kandang gajah?
Saya ngeri membayangkannya. Hewan-hewan itu stress, tertekan di kebun binatang. Setiap orang yang ke sana pun dapat membaca kondisi itu. Mentor saya tak meleset. Saya sependapat dengannya, kota ini memang mempunyai karakter yang keras. Buruk, malah buruk sekali.

Karakter itu masih terasa sekalipun lokasi kebun binatang di kota ini sudah dipindahkan ke pinggiran kota dengan lahan sepuluh kali lebih luas. Masalahnya, lahan baru itu gersang, miskin dari pepohonan rindang. Rerumputan tebal untuk berteduh juga tak tampak di sana. Bahkan, menurut seorang dokter hewan, beberapa ekor hewan mati sejak menempati “rumah baru” mereka itu, termasuk si Raja Hutan. “Hewan-hewan itu stress,” tegasnya.

Agaknya, selain karakter yang buruk, kota ini juga tak mempunyai manajemen lingkungan yang mumpuni. Rantai kehidupan berupa siklus yang saling terkait—antara manusia-hewan-lingkungan-manusia—seperti masih dikesampingkan. Hewan menjadi korban yang paling gampang disingkirkan. Kebun binatang sekadar simbol saja, buktinya hewan-hewan tertekan di situ . Alhasil, kelemahan ini cuma memperlihatkan karakter lain kota ini: egois.

Banyak orang mengidamkan karakter itu berubah 180 derajat, dimana kota ini menjadi lebih friendly, baik terhadap hewan apalagi terhadap sesama manusia. Sejumlah kota lain, seperti Surabaya dan Jakarta, berhasil menutupi karakter buruk karena kebun binatang-nya bisa menjadi rumah menyenangkan bagi hewan yang menghuninya. Hewan-hewan di sana tampak hidup nyaman, malah di kebun binatang Surabaya sering terlihat burung-burung besar datang dari arah laut setiap menjelang senja. Burung-burung itu mampir bermalam, padahal mereka bukan penghuni salah satu kandang di sana.

Kapan Medan bisa menutupi karakter buruk-nya? Saya pun sangat menginginkannya, kalau bisa saat ini juga. Saya tak sabar untuk segera mengabarinya kepada mentor saya, soalnya dia sudah sangat sepuh. Dia pasti ingin mendengar Medan menjadi friendly city (?). Kota yang ramah, bukan hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada hewan dan lingkungan, karena seharusnya memang begitulah karakternya…kelak.--nt
Ya'ahowu!
Teks Nurhalim Tanjung
Foto Bobby W. Wennars



“Jangan sekarang ke Nias, nanti saja pas pertengahan tahun,” saran seorang guide wisata. Mengapa? Saat pertengahan tahun ternyata Nias adalah surga bagi para peselancar karena ombak di laut Sorake cukup menantang. Namun Nias bukan hanya magnet bagi peselancar, soalnya pulau ini juga memiliki beragam daya tarik wisata, mulai peninggalan sejarah, budaya, dan alam natural sehingga tetap memikat di musim apapun.

MOBIL meninggalkan Gunungsitoli sejak pagi-pagi sekali. Kami menuju Teluk Dalam di Nias Selatan setelah puas sehari penuh mengeksplorasi daerah-daerah unik di pinggiran Gunungsitoli, seperti gua purba Togindrawa di Desa Lelewonu-Niko’otano dan desa adat Tumori. Sayang, kedua tempat ini mulai jarang disinggahi para traveler. “Dulu setiap minggu ada saja turis asing datang kemari,” kata Ina Melki, warga Desa Tumori, “tapi sekarang mereka lebih senang ke selatan karena katanya di sana lebih bagus.” Ya, sejak dari Medan kami juga sudah mendengar kalau Nias Selatan memiliki alam dan peninggalan sejarah yang sangat potensial.

Mobil terus melaju. Sopir mulai memperlambat kecepatan saat tiba di persimpangan tiga setelah 80 kilometer meninggalkan Gunungsitoli. Marka jalan menunjukkan 30 kilometer ke kiri adalah Teluk Dalam, sedangkan ke kanan menuju Gomo, yaitu kecamatan yang memiliki banyak lokasi megalitikum dan menhir berusia ribuan tahun di Nias Selatan. Kami disambut salam khas Nias yang tertulis di tugu pertigaan jalan ini: Ya’ahowu!

Ali Akbar Harahap, sopir mobil yang kami charter, tak perlu berpikir lama untuk memutar stir ke kiri. Mobil meneruskan perjalanan melintasi jalanan beraspal yang masih memperlihatkan bekas-bekas patahan akibat gempa 28 Maret 2005 lalu serta beberapa badan jalan yang anjlok di berbagai lokasi. Kondisi jalan ini sudah terasa sejak kami meninggalkan Gunungsitoli, bahkan beberapa jembatan masih belum rampung dari perbaikan meskipun tetap bisa dilalui oleh kendaraan dengan penuh kehati-hatian. Nias memang sedang terus berbenah setelah luluh-lantak akibat gempa dahsyat lalu.

Kami terus menyusuri jalan sepanjang 30 kilometer di wilayah kecamatan Lahusa untuk menuju Teluk Dalam. Saat di Gunungsitoli memang kami sudah sepakat ingin ke Teluk Dalam sebagai gerbang untuk mengeksplorasi Nias Selatan, termasuk Lagundri dan Sorake. Konon, kedua kawasan pantai di Nias Selatan ini memiliki ombak terbaik kedua setelah Hawai di Amerika Serikat. Banyak peselancar asing tergila-gila berselancar di sini, termasuk Kelly Slater dari California, Amerika Serikat. Selain itu Teluk Dalam juga merupakan pintu masuk ke desa-desa tua di pulau ini, seperti Bawomatoluo, Hilinawalu Mazingo, dan Hilinawalu Fao. Desa-desa ini memiliki tradisi lompat batu, disamping menyimpan keunikan omo sebua atau rumah adat peninggalan raja-raja Nias (simak: Omo Niha, Rumah Gempa ala Nias).

Genasi Hill dan Hilisataro
Pantai Tropis di Lahusa
Namun kami tak perlu menunggu sampai di Lagundri dan Sorake untuk menikmati panorama laut. Soalnya di sepanjang Lahusa saja pun kami sudah disergap pemandangan pantai yang menawan. Badan jalan di sini bersisian dengan laut. Panoramanya terasa spektakuler saat mencapai Genasi Hill, yaitu 15 kilometer lagi menjelang Teluk Dalam. Posisi perbukitan ini menawarkan landscape laut yang luas hingga ke kaki langit nun di cakrawala. Para pengendara sering bersantai sejenak sambil menikmati secangkir teh atau kopi dari restauran yang ada di sini—bagi orang Medan mungkin hanya semacam warung atau kedai.

Apakah Genasi Hill adalah klimaks panorama pantai di Lahusa? Semula kami hampir mengira begitu. Alasannya, saat mobil mengikuti badan jalan yang menurun barisan pohon kelapa di bagian kiri jalan menutupi pantai, sedangkan di kanan pohon-pohon pisang yang diselingi kebun coklat memanjang di kaki-kaki tebing nan menjulang. Ini adalah suasana khas pulau tropis, sebagaimana Bali, Tanjung Bunga-Malaysia, dan Thailand Selatan. Suasana itu terasa hingga beberapa ratus meter, setelah itu panorama laut kembali menyeruak di hadapan kami ketika mobil memasuki kawasan Hilisataro. Pantainya berpasir landai walaupun sebagian memperlihatkan dataran karang muncul ke permukaan air laut. Tetapi ombak laut di sini terhitung lumayan baik untuk surfing.

Solistis PO Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan, saat kami sambangi mengakui instansinya memproyeksikan pantai Hilisataro untuk menjadi lokasi surfing di masa depan. “Ombaknya memang tidak sebagus Sorake, tetapi Hilisataro sangat cocok untuk para peselancar pemula,” ungkapnya, “setelah mahir di sini baru mereka dapat berselancar ke Sorake.” Dachi mengemukakan pihaknya juga merencanakan kelak kawasan pantai Hilisataro bakal menjadi pusat pelatihan selancar internasional.

Tentu saja untuk merealisasikan rencana itu tidak gampang. Banyak sarana dan prasarana yang mesti disiapkan Nias Selatan, mulai dari akses jalan yang lancar, sarana angkutan mudah, fasilitas hotel dan restauran yang standar, iklim pariwisata kondusif, kawasan surf shop sebagai pusat perbelanjaan peralatan selancar, dan sebagainya. “Surf shop saja tak ada di sini, padahal pantai untuk lokasi surfing cukup banyak,” kata Tangkius Wau, seorang peselancar lokal di Sorake. Sebaliknya, dia menambahkan, di Medan malah banyak terdapat surf shop sekalipun tak ada tempat untuk surfing.

Surga Wisata yang Masih ‘Mati’
Problema pariwisata itu sebenarnya bukan hanya milik Nias Selatan melainkan masalah seluruh kawasan Nias, mulai dari sebelah utara hingga ke selatan, apalagi di pulau-pulau kecil sekitarnya. Ini membuat Nias terasa ‘mati’ kala daerah wisata lain mengalami peak season, seperti saat libur Tahun Baru, Lebaran, dan musim liburan sekolah. “Saat Parapat dan Berastagi kebanjiran turis kala peak season, pariwisata Nias malah ‘mati’ karena tak ada turis berkunjung,” kata Agus Mendrofa, seorang pengusaha hotel. Bahkan orang Nias sendiri pergi mengisi libur mereka ke luar pulau ini.

Begitupun potensi alam dan peninggalan sejarah yang luarbiasa membuat orang tetap membicarakan Nias sebagai surga wisata. “Senarnya banyak orang sudah mengetahui potensi Nias sebagai surga wisata, termasuk para pemancing ikan. Mereka ingin berkunjung tapi belum berani datang,” ungkap Mendrofa lagi. Kenapa?

Menurutnya, semua itu akibat masih sedikit sekali informasi tentang Nias, selain persoalan fasilitas. “Banyak orang hanya mendengar bahwa transportasi masih sulit, fasilitas minim, dan cerita-cerita jelek lainnya tentang Nias.” Sebenarnya, dia menambahkan, sudah ada empat hingga lima kali penerbangan dari Medan ke pulau di sebelah barat daratan Sumatera ini, dimana setiap penerbangan hanya memakan waktu tempuh satu jam saja. Demikian pula angkutan laut dengan kapal cepat (jet foil) dari Sibolga hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai Gunungsitoli sebagai gerbang utama mengeksplorasi Nias.

“Mereka pasti semakin berminat datang jika mengetahui di Nias juga ada hotel, swalayan, rumah makan padang, dan sebagainya,” tambah Mendrofa lagi, “memang tidak selengkap dan sebagus di Medan.” Dia meyakini para penggila traveling sedang menunggu informasi lengkap mengenai kondisi dan fasilitas yang tersedia di Nias untuk mendukung kegiatan wisata mereka di pulau surga ini.

***
Seluruh Nias—mulai dari Gunungsitoli hingga Teluk Dalam—kini memang sedang terus berbenah dibantu Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) serta berbagai NGO (non-government organization) asing. Kegiatan ini mulai membangkitkan Nias dari kehancuran akibat gempa dahsyat dua tahun lalu. Pulau andalan Sumatera ini terasa lebih ramai kini.

Kampung Turis Lagundri-Sorake
Kami merasakan suasana ramai itu saat melintasi pekan di setiap desa hingga kota kecamatan sepanjang perjalanan bermobil. Keramaian semakin terasa saat memasuki Teluk Dalam. Mobil terus meluncur sejauh 17 kilometer ke Sorake. Saat melintasi Lagundri, desa pantai sebelum Sorake, tampak beberapa turis asing berseliweran di pinggir jalan. Mereka menginap di guest house yang banyak terdapat di sini, selain memanfaatkan satu hotel berkelas bintang tiga yang terletak di ujung Sorake . Di Sorake para turis serta aktivis NGO asing menenteng papan selancar ke pantai. Mereka bercampur dengan peselancar lokal, sementara di tengah laut beberapa peselancar meluncur di atas ombak setinggi dua-empat feet. Nias sudah mulai menggeliat kembali.

Solistis Dachi mengemukakan, pasca gempa—selama periode Januari-Mei 206—tercatat 134 turis dari Eropa, Australia, Amerika, Jepang dan negara lainnya mengunjungi Nias Selatan. “Ini pertanda baik sebab setahun setelah gempa kunjungan turis terus menurun,” katanya. Dia mengungkapkan turis asing pernah mencapai lebih 2000 orang bertandang ke pulau ini.

“Mudah-mudahan turis asing yang datang kemari akan terus meningkat,” tambah Dachi. Caranya, dia mengatakan, dengan berusaha menggandeng investor untuk memperbaiki dan menambah fasilitas wisata, selain terus mempromosikan potensi pariwisata Nias Selatan di berbagai event eksibisi tingkat provinsi, nasional maupun mancanegara. “Saat ini kami juga sedang melobi pengusaha transportasi agar mengoperasikan dua jet-foil (kapal cepat) untuk menghubungkan Sibolga-Teluk Dalam dan Teluk Dalam-Pulau Telo,” jelasnya. Jet-foil akan membuat waktu tempuh Sibolga-Teluk Dalam lebih singkat menjadi tiga jam dari 10 jam selama ini, sedangkan Teluk Dalam-Pulau Telo yang semula tiga jam menjadi setengah jam saja. Pulau Telo di Pulau-pulau Batu, ungkap Dachi, “merupakan lokasi wisata bahari yang sangat menarik.”

Nias memang interesting island. Kami sering turun dari mobil untuk menyusuri jalan berbatu, perbukitan, menyeberangi sungai, bahkan melintasi jalan setapak yang licin di tengah hutan demi mencapai lokasi memikat di pelosok pulau. Lompat batu di Bawomatoluo, pasir putih Pantai Moa’le, dan the ancient site Tondrubano di Nias Selatan adalah sebagian dari traveling kami, begitu pula gua purba Togindrawa dan desa adat Tumori di Nias Induk Excited! Pantas lah pulau eksotis ini terus menggeliat untuk bangkit kembali. Setiap orang yang berpapasan dengan kami pun memperlihatkan semangat itu: Ya’ahowu!

Memburu Sunset ke Moa’le

BOSAN di Sorake, kami menempuh jarak 50 kilometer ke Moa’le. Satu-dua jembatan di sepanjang jalan masih menggunakan batang pohon kelapa, belum lagi aspal yang berlubang dan retak di sana-sini. Sopir mesti ekstra hati-hati.

“Moa’le sangat indah kala senja,” kata Harefa, penduduk setempat. Kalimat ‘undangan’ ini lah yang membuat kami tak menggubris kondisi jalan dan jembatan yang riskan. Buktinya, Moa’le memang memikat. Pantainya berpasir landai dan sangat luas, cocok untuk turis yang gemar berjemur di bawah matahari. Sayang, tak seorang pun turis tampak di sini menjelang week-end dua pekan lalu. Moa’le sangat sepi, namun debur ombak membuat pantai ini masih terasa ramai. Lagi pula para nelayan selalu melabuhkan perahu di sini sepulang melaut di pagi hari.

Sore itu para nelayan sedang bersiap-siap untuk melaut kembali. Mereka mesti menempuh ombak yang menghempas pantai, lalu berlayar melintasi dua pulau karang kecil yang saling berhadapan di laut Moa’le. Kami mengamati mereka, sementara langit mulai merah di-ambang senja. Matahari perlahan-lahan tenggelam ditelan laut yang terus berombak. Langit semakin merah, membuat panorama sunset di Moa’le benar-benar indah memikat. Kami tak rugi memburunya dari Sorake.--nt

Gomo: the Ancient Site Region



DARIMANA asal nama Gomo? Pastor Johannes, seorang peneliti Nias, mengemukakan dulu ada dua orang China, masing-masing bermarga Go (Gho) dan Motse terdampar ke Pulau Nias. Kala tiba di pertengahan pulau lalu mereka menggabungkan awalan marga mereka untuk menamakan daerah itu sehingga melekat nama go-mo (sekarang Gomo).

Peristiwa itu sudah lama sekali, tetapi agaknya sebelum mereka datang sudah ada peradaban di Nias. Soalnya, Gomo dianggap sebagai daerah asal muasal seluruh orang Nias.

Gomo berada 80 kilometer dari Gunungsitoli, sedangkan dari Teluk Dalam berjarak 30 kilometer. Kecamatan ini terkenal sebagai lokasi the ancient site region. Berbagai situs kuno berpencar di beberapa lokasi megalitikum dan menhir berusia ribuan tahun di sini. Misalnya, di dusun Tundrumbano, Lahusa Satua, Tetegowo, dan Tuhegewo. Masing-masing situs berjarak dua-tiga kilometer satu dengan lainnya.Selain itu, masih ada lagi Boronadu, yaitu situs paling kuno di lokasi sejauh 8 kilometer dari pusat Kecamatan Gomo. Sedangkan untuk mencapai pusat kecamatan ini mesti menempuh perjalanan bukit-bukit berbatu dengan sepedamotor sejauh 17 kilometer dari jalan lintas Nias.

Boronadu berada jauh di perbukitan terpencil. Lokasinya dipercaya sebagai tempat orang Nias pertama diturunkan dari langit, kemudian turun lagi ke daerah-daerah lain di sekitar Gomo, dan terus menyebar ke seluruh Pulau Nias. Siapapun tak sanggup mencapai Boronadu dengan sepedamotor, apalagi bermobil karena jalannya berbukit-bukit tanpa aspal. Orang mesti berjalan kaki sejauh 5-6 kilometer lagi untuk mencapainya. Ada apa di Boronadu? “Batu megalitikum dan menhir sudah tak banyak lagi, sudah berhilangan, tetapi ada satu pohon besar yang diyakini dapat menentukan nasib orang Nias di sana,” kata Atoli Telaumbanua, salah seorang kepala desa di Gomo.

Siang mulai redup. Kami kuatir waktu tidak cukup untuk ke Boronadu, akhirnya diputuskan untuk mengunjungi situs megalitikum dan menhir di Dusun Tundrumbano di Desa Lahusa Idano Tae. Lokasinya berada di atas bukit sekira 2-3 kilometer lagi dari pusat kecamatan Gomo, tetapi sepedamotor harus ikut menyeberangi sungai, kemudian menyusuri perbukitan plus jalan kaki sejauh satu kilometer. Setengah jam setelah itu, kami pun sudah berada di pintu masuk situs megalitikum dan menhir berukuran lebih 3000 meter persegi. Batu-batu purba berbentuk tiang, meja, tempat duduk, bak untuk mencuci pedang, serta patung-patung harimau terhampar di sana. “Situs ini berumur 800 tahun, tetapi para antropolog yang pernah meneliti kemari mengatakan usianya 3000 tahun,” kata Atoli Telaumbanua lagi. Batu-batu di situs ini berdenting seperti besi saat diketuk, tidak seperti batu biasanya.

Lokasi situs itu dibangun oleh raja Tambalingautu Telaumbanua. “Saya adalah generasi ke-14 dari Tambalingautu,” ungkap Atoli. Ada lima tiang batu bersegi di lokasi ini, dua-tiga tiang diantaranya sudah miring ke tanah. Tiang batu ini disebut behu. Semua tiang behu ini memiliki lubang sebesar kepala manusia di puncaknya. “Lima tiang batu ini menandakan Tondrumbano pernah memiliki lima raja, dan setiap raja yang meninggal maka kepalanya diletakkan di lubang behu ini,” jelas Atoli lagi. Kini kepala para raja Tundrumbano itu tentu sudah tak lagi ada di puncak behu tersebut.

Banyak peneliti pernah datang kemari, malah situs inipun pernah dipugar tetapi Tondrumbano tetap diselimuti tetumbuhan belukar seperti tak terawat. Beberapa megalit dan menhir pun sudah hilang dari sini. Kenapa hilang? “Kami juga tidak tahu, tapi pasti ada yang mengambilnya,” kata Atoli Telaumbanua. Namun dua hari sebelumnya, Solistis Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, saat bertemu kami di Teluk Dalam berjanji segera memugar situs megalitikum dan menhir di Gomo dalam tahun ini untuk mencegah kerusakan dan kehilangan. “Kami sudah menyiapkan anggaran Rp3 miliar untuk memugar situs-situs di sana, termasuk dua situs megalitikum dan menhir lagi [di kecamatan Lolowau],” katanya waktu itu.

Hari semakin sore, kami pun meninggalkan Tondrumbano menuju pusat kecamatan Gomo, lalu melintasi jalan berbatu sejauh 17 kilometer lagi ke jalan lintas Nias. Setibanya di sana, mobil—yang sudah menunggu kami sejak pagi hari—pun kembali membelah jalan menuju Gunungsitoli. Satu surga lagi sudah kami rasakan di Nias…wisata penuh adventure!--nt


Sauhagolo..!


Tips ke Nias
  • Carilah informasi dari berbagai sumber tentang tujuan anda di Nias. Jika mendapatkan informasi dari satu sumber belum tentu cukup, cari second information, third information dst. Lalu tetapkan perjalanan anda...and go head!

  • Beberapa pesawat terbang—Merpati, Susi Air, SMAC—telah membuka rute ke Gunungsitoli dan P. Telo setiap hari dari Medan, ada juga perjalanan laut dengan speed boat dan feri dari Sibolga ke Gunungsitoli. Silakan anda putuskan angkutan perjalanan anda, sesuaikan dengan waktu dan finansial.

  • Siapkan diri—mental dan fisik—bahwa anda akan melakukan perjalanan adventure. Fasilitas wisata masih minim di Nias tetapi itu malah membuat perjalanan anda jadi cukup menantang.

  • Pikirkan untuk meminta bantuan guide lokal karena dia bisa menjadi penerjemah anda berkomunikasi dengan masyarakat pedalaman, selain memandu perjalanan anda.
    Selalu siapkan snack dan minuman ringan saat memasuki lokasi yang mempunyai tingkat kesulitan tak dapat anda perkirakan untuk mencegah anda dari terlambat makan.

  • Orang Nias umumnya cukup ramah, jadi setiap bertemu penduduk lokal sapa atau jawab sapaan mereka dengan “ya’ahowu” dan setelah menerima bantuan ucapkan “sauhagolo.” --nt

Sunday, March 25, 2007

Filosofi Catur


“DARIMANA lae? LSM apa wartawan?”
“Aku wartawan, kawan-kawanku dari LSM. Kami dari Medan.”
“Oo, duduk lah…minum-minum kopi dulu. Bisa main catur?”

Saya mengangguk seraya melempar senyum ke arah orang itu. Tapi belum sempat saya duduk muncul seorang lelaki berperawakan sedang—berselempangkan sarung di tubuh dengan misai yang lumayan tebal—dari kegelapan malam di luar warung kopi di pinggiran jalan Porsea itu. Dia bersuara besar bernada menantang supaya main catur dengannya. Saya beringsut, mengalah. Orang yang menyapa saya dengan panggilan “lae” tadi pun menyambut tantangan itu. Keduanya tampak bersemangat. Tak lama kemudian mereka tenggelam dalam keasyikan saling memakan dan menjegal bidak. Masing-masing mencari celah supaya bisa menyergah dengan ancaman: “skak-mat!”

Leo Batubara, anggota Dewan Pers, membuka memori saya terhadap peristiwa sebelas tahun lalu itu lagi. Kala itu soal lingkungan di Porsea, persisnya di kawasan Sosorladang, menjadi isu hangat yang ramai diberitakan di koran-koran seantero Indonesia. Saya tergerak untuk reporting secara on the spot. Kebetulan teman-teman dari LSM lingkungan di Medan dan Pematangsiantar punya agenda fact finding ke sana. Kami pun berangkat bersama-sama. Pas pukul 1 dinihari kami tiba di Simpang Sigura-gura setelah melintasi Parapat. Malam sangat gelap, udara sangat dingin, angin kencang menerpa wajah saat kami keluar dari mobil. Banyak warga berdiri dalam keremangan gelap di simpang yang tak berlampu tersebut. Mereka berjaga-jaga, memblokir truk-truk pengangkut bahan baku yang menuju pabrik di Sosorladang. Pabrik itu dituduh sebagai “biang-keladi” permasalahan lingkungan di sana.

Saya berbicara dengan warga di simpang itu. Tidak lama. Rasa kantuk dan hawa dingin mendorong saya menyeberang ke warung kopi di pinggir jalan. Beberapa orang di sana sedang asyik menikmati kopi panas, dua-tiga meja hening karena penghuninya yang duduk berhadap-hadapan sedang berkonsentrasi main catur.

“Tahu,” kata Leo Batubara, “mengapa daerah ini terasa lamban bergerak maju padahal potensinya kan, besar?“ Dia mengeluarkan pertanyaan sekaligus pernyataan dalam satu pertemuan di Medan pertengahan tahun ini. Kami—saya dan peserta pertemuan—membisu sambil terus menatapnya. Leo pun menjawab sendiri, tentu saja dalam kemasan penuh joke: “Orang-orang di sini terkenal suka main catur, nah biasanya pemain catur selalu berusaha mempersulit langkah orang lain.” Saya tertawa, begitu juga dengan peserta lain. Apa iya?

Bermain catur bagi orang daerah ini memang merupakan kebiasaan yang turun-temurun. Malah, ada juga permainan catur khusus yang disebut Marusir di Batak.Tetapi saya meragukan kalau bermain catur bisa membentuk prilaku selalu ingin mempersulit orang lain. Dulu Raja Inal Siregar, mantan gubernur provinsi ini, memang kerap eksplisit berseloroh bahwa segala urusan di Sumut susah merealisasikannya karena ada pemeo “kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?” Toh, itu cuma guyon-guyonan saja. Buktinya konsep “marsipature huta nabe” membuat orang dapat memudahkan semua urusan demi membangun daerah ini yang dimulai dari membangun kampung masing-masing terlebih dulu.

Apalagi, setahu saya, catur adalah permainan akal yang melibatkan mental. Karena itu catur memberi manfaat yang besar, yaitu mendukung perkembangan otak dan daya imajinasi. Catur juga menanamkan sikap penuh perhitungan dan perencanaan yang matang. Maka jangan heran kalau orang-orang yang memainkannya sering tampak diam terpaku, seperti di warung kopi Simpang Sigura-gura itu. Mereka baru mengangkat bidak setelah berhitung dapat mematahkan strategi lawan dengan mengepung, mematikan serangan, lalu memukul “skak mat!”

Jika begitu, syogianya filosofi yang ada dalam permainan catur dapat mengembangkan sumber daya manusia. Biasanya daerah maupun negara yang memiliki permainan ‘asah otak’ seperti ini pasti memiliki tradisi intelektual yang kental. Contohnya ya, daerah ini dan beberapa provinsi lain di Indonesia, sedangkan di dunia silakan menoleh ke Uni Soviet [sekarang Rusia] dan Amerika Serikat. Di sana ternyata catur adalah permainan intelektual yang melahirkan orang-orang cermat, selalu memiliki perhitungan, dan cerdas mengatur strategi. Beda sekali dengan joke yang dilemparkan Leo Batubara.

Kalau masalahnya “mengapa daerah ini lamban bergerak maju?” mungkin kita bisa merujuk Sayidiman Suryohadiprodjo. Jenderal yang juga pemikir ini bilang bahwa bukan hanya daerah tertentu, misalnya Sumut, tapi secara nasional memang ada sifat bangsa Indonesia yang amat merugikan kemajuannya. Apa? Yaitu biasa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ucapan atau pernyataan sendiri.Nah…sebaliknya, catur malah mendorong orang melangkah sejalan dengan perhitungan dan strategi yang dipikirkannya.--nt

Wednesday, March 21, 2007

Omo Niha, Rumah Gempa ala Nias
Teks Nurhalim Tanjung
Foto Bobby W. Wennars



Omo niha tidak rubuh saat gempa besar menghempaskan Nias dua tahun lalu. Rumah tradisional terbuat dari kayu tanpa paku ini hanya bergeser sedikit, padahal usianya sudah mencapai ratusan tahun. Anehnya, rumah-rumah batu bersemen dengan rancangan masa kini malah banyak yang hancur.



RUMAH-rumah kayu beratap oval masih berdiri kokoh di desa tradisional Tumori, Gunungsitoli. Beberapa rumah sudah menggunakan pernis serta bercat masa kini meskipun bentuk aslinya tidak berubah, kecuali pintu masuk yang dialihkan dari samping melalui tangga kayu. “Aslinya, pintu masuk omo niha dari bawah kolong, tapi sekarang hampir semua dari samping supaya tamu mudah untuk masuk ke dalam,” kata Ya’aro Zebua, 72 tahun.

Ya’aro Zebua adalah arsitek atau tukang yang memiliki keahlian membangun rumah adat Nias (omo niha) di Desa Tumori. Dia mendapatkan keahlian itu secara turun-temurun. “Desa ini sudah berusia lebih 200 tahun,” katanya, “semua rumah di sini dibangun oleh kakek dan orangtua saya.”

Omo niha asli tidak menggunakan paku, melainkan pena dan pasak kayu, sebagaimana rumah knock down atau bongkar pasang. Bahan kayu yang digunakan merupakan pilihan, diperoleh dari hutan-hutan di Nias. “Sekarang susah mencari kayu-kayu pilihan untuk membangun rumah adat, sudah habis dari hutan,” ungkap Zebua. Syukurlah, rumbia untuk atap rumah masih dapat dibuat dari nyiur sehingga bumbungannya tetap tampak unik. Bumbungan kelihatan jadi semakin unik dengan adanya satu hingga dua tuwu zago, yaitu jendela di bagian atap sebagai ventilasi dan sumber cahaya bagi rumah. Tuwu zago ini terdapat di atap bagian depan dan belakang bumbungan.

Tiang Kayu dan Simbol Omo Niha
Setiap omo niha memiliki enam tiang utama yang menyangga seluruh bangunan. Empat tiang tampak di ruang tengah rumah, sedang dua tiang lagi tertutup oleh papan dinding kamar utama. Dua tiang di tengah rumah itu disebut simalambuo berupa kayu bulat yang menjulang dari dasar hingga ke puncak rumah. Dua tiang lagi adalah manaba berasal dari pohon berkayu keras dipahat empatsegi, demikian pula dua tiang yang berada di dalam kamar utama. Setiap tiang mempunyai lebar dan panjang tertentu satu dengan lainnya. “Semakin lebar jarak antara tiang simalambuo dengan tiang manaba maka semakin berpengaruhlah si pemilik rumah,” ungkap Ya’aro Zebua lagi.

Rumah-rumah adat di Nias juga tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Menurut Zebua, desain ini menandakan orang Nias bersikap terbuka, jadi siapapun di desa dapat mengetahui acara-acara di dalam rumah, terutama yang berkaitan dengan adat dan masalah masyarakat setempat. Biasanya pemilik rumah bersama ketua adat duduk di bangku memanjang di atas lantai yang lebih tinggi—disebut sanuhe—sambil bersandar ke kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya duduk di lantai lebih rendah atau disebut sanari. Setiap acara adat akan berlangsung di dalam rumah, terlebih dulu seisi kampung diundang dengan membunyikan faritia (gong) yang tergantung di tengah rumah. Faritia di rumah adat Nias Selatan dilengkapi oleh fondrahi, yaitu tambur besar sebagaimana terlihat di omo sebua—rumah besar untuk raja dan bangsawan—di Desa Bawomatoluo, Teluk Dalam.

Segi artistik juga menjadi perhatian dalam pembangunan omo niha. Banyak kayu-kayu berukir menghias interior dan eksterior rumah. Ini menandakan orang Nias mempunyai rasa seni tinggi.

Kayu Elastis Menahan Gempa
Mengapa omo niha tak rubuh saat gempa? Ya’aro Zebua mengatakan kayu-kayu yang digunakan untuk rumah mereka bersifat elastis. " Jadi saat gempa rumah pun 'main' [ikut bergerak] sesuai guncangan bumi.” Tetapi, diakuinya, gerakan-gerakan itu telah membuat posisi tiang-tiang rumah bergeser sehingga tampak miring. Selain itu, dia mengungkapkan, umumnya atap di puncak bumbungan mengalami kerusakan walaupun tak begitu berarti.

Rumah-rumah di Nias bagian utara, seperti Desa Tumori, umumnya disangga oleh balok-balok kayu berbentuk letter X yang disebut diwa. Diwa menahan lantai rumah di bagian kolong, selain ada pula siloto yang berupa kayu panjang yang menempel di bagian bawah papan lantai rumah tersebut. Siloto langsung menahan lantai rumah, dan merupakan bagian kayu yang paling elastis. Ada juga gohomo, yaitu kayu-kayu yang tegak lurus menopang dan memagari seluruh kolong rumah sehingga omo niha semakin kokoh sekaligus elastis. Gohomo berada di bagian terluar pada kolong rumah, sedangkan siloto dan diwa berada di bagian dalamnya.

Rumah Empatsegi dan Lettter V di Bawomatoluo
Kalau balok penyangga omo niha di kawasan Nias utara berbentuk letter X, maka di Nias Selatan berbentuk letter V. Bentuk itu tampak di rumah-rumah desa tradisional, seperti Bawomatoluo, Hilinawalu Mazingo, Hilinawalu Fao dan sebagainya. Rumah adat di sini pun tidak oval, melainkan berbentuk empatsegi mulai dari atap hingga keseluruhan bagian bangunan.

Bawomatoluo adalah desa tradisional berusia ratusan tahun. Desa ini paling lengkap menyimpan ornamen tradisional Nias Selatan, berada sekitar 8 kilometer dari Teluk Dalam. Setiap orang yang ingin memasuki desa mesti menaiki 91 anak tangga terbuat dari batu hasil pahatan para ahli Bawomatoluo.

Ada satu rumah paling besar di sini, yaitu omo sebua sebagai tempat bermukim raja atau kepala suku. Di halaman sebelah kiri rumah tersusun batu empatsegi setinggi dua meter dengan pijakan sekira 45 centimeter di bawahnya. Batu ini menjadi tempat para prajurit Bawomatoluo untuk memperlihatkan kemampuan lompat mereka—kini merupakan ikon pariwisata Nias: lompat batu. Lalu persis di halaman depan rumah terdapat batu-batu besar yang terpahat rapi untuk duduk raja beserta tetua adat atau tamu-tamu desa.

Selain di Bawomatoluo, setiap desa tradisional di Nias Selatan juga memiliki omo sebua. Namun, kini atap omo niha di desa-desa itu, termasuk Bawomatoluo, rata-rata sudah tidak asli lagi dari rumbia. Semua diganti dengan seng. Demikian pula atap omo sebua sudah menggunakan seng. Perubahahan ini, menurut Pikiran Nehe dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, terjadi setelah dilakukan pemugaran. Soalnya, katanya, rumbia untuk atap omo niha mulai jarang diproduksi di Nias, padahal kebutuhannya sangat besar. Misalnya, omo sebua saja membutuhkan sekitar dua ribu lembar atap rumbia, belum lagi rumah-rumah lainnya. Namun, tambahnya, perubahan atap dengan seng tidak mengubah desain asli omo sebua. “Selain Bawomatoluo, ada dua desa lagi memiliki omo sebua yang tetap akan dipertahankan, yaitu di Desa Hilinawalu Mazingo dan Hilinawalu Fao,” ungkap Nehe. Ini untuk menjaga dan melestarikan kekayaan budaya Nias Selatan.

Ciri asli juga masih tampak dari pintu masuk omo sebua di Bawomatoluo. Setiap orang mesti masuk melalui pintu dari bagian bawah kolong rumah. Interior rumah pun masih terjaga, dimana dapur terdapat di ruangan tengah dan satu lagi di bagian belakang. “Posisi dapur di ruangan tengah menandakan bahwa omo sebua adalah milik semua rakyat desa ini,” kata Pikiran Nehe.

Ornamen Nias di Omo Sebua
Ornamen-ornamen yang melambangkan kekayaan budaya terpasang di dinding omo sebua, seperti tambur besar fondrahi, rangkaian puluhan tengkorak babi, peralatan perang khas Nias, dan aneka hiasan lainnya. Bangunan omo sebua yang lebih besar, berlantai tinggi, dan berada di tengah desa, membuat raja atau kepala suku dapat mengamati seluruh desa tanpa keluar dari rumah. Tetapi kalau dia ingin mengumpulkan rakyatnya maka cukup dengan memukul fondrahi.

Hikayat Mana’o, seniman yang bermukim di Bawomatoluo, mengemukakan banyak orang sudah mengunjungi omo sebua pada desa-desa tradisional di Nias dan Nias Selatan. Namun, menurutnya, setelah mengunjungi Bawomatoluo mereka mendapatkan ternyata omo sebua di sini paling unik menggambarkan kekayaan budaya Nias. “Ornamen omo sebua dan seluruh desa Bawomatoluo dianggap paling lengkap serta menarik,” katanya. Salah satu ornamen itu terlihat pada seni pahat batu yang juga unik di desa ini, mulai dari tangga masuk, lompat batu hingga aneka perkakas bebatuan di halaman omo sebua.

Dulu, menurut Mana’o, untuk membangun omo sebua saja ada tujuh tahap yang mesti dilampaui oleh leluhur mereka, mulai dari pembangunan fondasi hingga ke atap. “Setiap tahap biasanya diselesaikan dengan mengadakan upacara yang mengorbankan puluhan ekor babi,” ungkapnya. Maka sampai tahap terakhir ada ratusan ekor hewan itu dikorbankan untuk membangun satu omo sebua. “Semua tengkorak kepala babi itu dipajangkan di bagian dalam rumah untuk menunjukkan kebesaran omo sebua,” jelas Mana’o.

Saat ini balok-balok berletter V berukuran besar yang menyangga omo sebua mulai terlihat lapuk. Namun rumah yang kini dihuni oleh generasi kelima raja Bawomatoluo masih kokoh berdiri, padahal bangunan utamanya sejak dari fondasi, lantai dan rangka rumah hingga dinding-dinding sama sekali tak menggunakan paku. “Omo niha—termasuk omo sebua—memang merupakan bangunan knock down, tanpa paku,” kata Solistis Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan. Ini membuatnya menjadi unik dan tahan dari guncangan gempa. Saking uniknya, dia mengatakan, ratusan tahun lalu penjajah Belanda pernah membawa satu omo sebua ke negerinya beserta satu keluarga orang Nias yang ahli untuk merancang bangunnya kembali di sana. “Sampai kini omo sebua itu masih ada di Kopenhagen, Denmark,” ungkapnya.
Dari Omo Gomo ke Bawomatoluo


ALAN M. Viaro, profesor arsitektur dari Swiss, beberapa kali mengadakan penelitian tentang arsitektur rumah orang Nias (omo niha). Dia menemukan ada empat tipe rumah Nias, yaitu:


  1. Omo Gomo: rumah adat di sini berbentuk empat segi dan cukup rustikal, sebagaimana terdapat di Kecamatan Lahusa, Gomo dan Lolowau.

  2. Omo Idano Gawo dan Omo Idano Mola: Bentuknya juga segi empat dan bergaya rustikal pula.

  3. Omo Laraga: Rumah ini terdapat di Desa Laraga, sekitar 9 kilometer di sebelah selatan Gunung Sitoli [termasuk Desa Tumori]. Bentuknya bulat telur atau oval. Tipe rumah ini tersebar di Nias Utara, mencakup Kecamatan Gunungsitoli, Gido, Tuhemberua, Mandrehe dan Sirombu.

  4. Omo Nias Selatan: Berbentuk empat segi dan masih banyak ditemukan di desa-desa Kecamatan Teluk Dalam. Ada empat rumah besar (omo sebua) milik para raja dan bangsawan yang menonjol di sini, seperti di Desa Bawomatoluo, Onohondro, Hilinawalu Fau, dan Hilinawalu Mazingo. Dulu hampir setiap desa di Nias Selatan mempunyai satu omo sebua, tetapi sekarang sudah banyak yang punah. Omo sebua di Bawomatoluo memiliki ornamen paling lengkap dan unik.

Pastor Johannes—yang mengutip Alain M. Viaro—dalam buku Omo Sebua menyimpulkan tipe dasar untuk rumah orang Nias mungkin diciptakan di wilayah Gomo. Daerah ini memang dikenal sebagai asal muasal orang Nias (simak: Ya’ahowu! dan Gomo: the Ancient Site Region), karena itu bentuk rumahnya pun masih primitif.--nt

Sufing di Kala Full Moon: More Fun!
Oleh Nurhalim Tanjung


Surfing adalah olahraga adrenalin dan ketangkasan menguasai ombak. Banyak daerah pantai cocok untuk berselancar (surfing), salah satunya adalah Sorake di Nias Selatan, Sumatera Utara. Ombak di sini selalu mengundang orang untuk menaklukannya.


“HELLO Jhonny.”
“Hello, are you enough?”
“More than enough..!”

Percakapan itu sering terdengar di antara para peselancar saat menepi ke pantai Sorake. Mereka senantiasa mengungkapkan kalimat puas seusai berselancar sebab Nias—khususnya Sorake—masuk dalam daftar pemilik sepuluh ombak terbaik dunia. Karena itu para peselancar kelas dunia, seperti Kelly Slater tak luput ikut menyambanginya di kala musim ombak tiba.

Ombak semakin bagus di laut Sorake ketika memasuki bulan Maret dan terus bertahan hingga September. Bahkan sepanjang Juni-Agustus adalah puncak musim ombak, dimana ketinggiannya bisa mencapai 12 feet. “Kalau sudah setinggi itu, jarang ada yang berani surfing di sini,” kata Tangkius Wau, seorang peselancar lokal. Di saat itu ombak bukan hanya tinggi melainkan juga sering datang bergulung-gulung. Bila peselancar tidak mahir bukan tidak mungkin ombak menghempaskannya ke karang di dasar laut. Namun, Tangkius menambahkan, justru di saat itu Sorake semakin ramai dikunjungi oleh peselancar nasional maupun luar negeri. Apalagi event selancar sering pula digelar selama musim ombak itu seperti akan dilaksanakan Agustus-September nanti setelah absen selama dua tahun akibat gempa dan tsunami, sebagaimana informasi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan kepada aplaus..

Tangkius Wau, 16 tahun, sudah menekuni selancar selama sepuluh tahun. Rumahnya persis berada di bibir pantai Sorake sehingga selancar menjadi olahraga yang familiar baginya, soalnya sejak kanak-kanak dia sudah terpikat menyaksikan orang-orang meluncur di atas ombak. Demikian pula teman-temannya yang kini sering berselancar dengannya, seperti Dicki Dachi dan Rizal Wau. Mereka—serta para peselancar asing— sering tampak duduk di atas papan selancar di tengah laut seolah menantang ombak, lalu mengayuh cepat ke arah pantai untuk mengambil posisi berselancar ketika ombak datang mengejar. More fun, asyik sekali! Kadang mereka pun dapat berselancar di bawah gulungan ombak, kemudian meluncur keluar dari lorong gelombang yang terbuka.

Ombak Kanan di Sorake, Ombak Kiri di Kuta
Tangkius pernah mengukir prestasi menduduki peringkat pertama dalam King of Groom: Nias Open, yaitu kompetisi selancar berskala nasional di Sorake. Lalu dia mengukuhkan prestasi lagi dalam event selancar King of Groom di Kuta, Bali, pada September tahun lalu dengan meraih predikat pemenang ketiga. Mengapa juara tiga? “Semua yang ikut event di sana berselancar lebih bagus,” katanya.

Namun, menurut Dicki Dachi, rekannya sesama peselancar, ombak Sorake berbeda dengan ombak Kuta. “Kami berselancar di atas ombak kanan di sini, sedangkan Kuta terkenal dengan ombak kiri,” ungkapnya. Ombak di Sorake memang selalu bergelombang ke arah kanan menuju pantai, sedangkan ombak kiri berarti gelombang laut yang mengarah ke sebelah kiri.

Perbedaan itu, kata Dicki, merupakan salah satu faktor yang menyulitkan Tangkius saat berselancar di Kuta. Tangkius sendiri mengakui bahwa ia terbiasa dengan ombak kanan di Sorake. “Tapi ombak di Kuta tidak melulu ke kiri, kadang-kadang ada juga ombak kanan,” ungkapnya.

Gaya dan Papan Selancar
Begitupun Tangkius tetap diuntungkan oleh kondisi ombak Sorake yang terhitung masih lebih baik dibandingkan ombak Kuta. Cobra wave atau ombak yang menyerupai kepala ular Cobra kerap terlihat di sini, bahkan sering datang saling menyusul. Ini membuat para peselancar Nias lebih mampu mengembangkan gaya berselancar, seperti three sixty, yaitu berputar 360 derajat di udara dengan memanfaatkan tenaga ombak “Peselancar yang baik mesti terus memperkaya gerakan dan gaya berselancar supaya tidak monoton,” kata Tangkius.

Rizal Wau, rekannya yang lain, mengemukakan setiap gerakan dan gaya dalam selancar juga memiliki berbagai variasi. Misalnya, three sixty dapat dilakukan dengan memutar ke kiri tapi bisa pula dari kanan. “Tapi gaya ini tidak mudah, mesti sering latihan,” jelasnya. Selain itu kekuatan ombak dan papan selancar yang digunakan sangat menentukan keberhasilan seorang peselancar untuk mengembangkan gaya dan gerakan berselancar.

Ada tiga ukuran papan selancar, yaitu small (S), medium (M), dan large (L). Masing-masing papan itu juga punya berbagai ukuran lagi. Peselancar pemula lebih baik menggunakan papan ukuran L, sedangkan bagi yang sudah mahir biasanya menggunakan papan ukuran S dan M. “Papan ukuran L lebih cocok untuk pemula karena lebih besar dan lebih panjang,” ungkap Rizal. Tangkius setuju dengan ungkapan rekannya itu. Tetapi, menurutnya, jika sudah mahir boleh menggunakan papan yang lebih kecil—ukuran M atau S—supaya lebih mudah mengembangkan gaya dan gerakan berselancar.

Selancar ketika Full Moon
Kapan waktu berselancar yang tepat? Tangkius mengatakan setiap ombak cukup bagus maka kapan pun orang dapat berselancar. Namun, katanya, bagi pemula lebih baik berselancar kala ombak setinggi 1-3 feet, sedangkan untuk peselancar mahir biasanya menggunakan ombak setinggi 6-12 feet. “Saya sendiri berselancar selama satu-dua jam setiap sore hari, kecuali hari Minggu, ” katanya. Hari Minggu dia selalu berselancar pagi hari di atas ombak setinggi 3-6 feet, lalu dilanjutkan lagi pada sore hari.

Selain pagi dan sore, kata Tangkius, malam hari merupakan saat yang lebih menyenangkan untuk berselancar di Sorake, khususnya ketika langit penuh bintang kala bulan purnama. “Berselancar saat full moon betul-betul more fun,” ungkap Tangkius, “saya sering melakukannya.” Ups, ternyata malam hari lebih menggairahkan untuk berselancar di atas ombak Sorake, bahkan lebih dari sekadar more than enough.--nt


Tips Surfing
  • Anda mesti mahir berenang terlebih dulu agar dapat berselancar di laut terbuka
  • Jangan pernah lupa mengikatkan tali papan selancar ke pergelangan tangan atau kaki anda.
  • Jangan melawan ombak jika anda tak ingin menggunakannya untuk berselancar, tetapi menyelam-lah menjelang ombak datang supaya anda tidak terseret atau terhempas ke air.
  • Gunakan papan selancar berukuran L bila anda pemula, tetapi jika sudah mahir silakan menggunakan ukuran M atau S untuk melatih gaya dan gerakan berselancar.
  • Jangan menggunakan papan selancar yang pernah patah—perhatikan kalau-kalau ada bekas sambungan jika anda menggunakan papan selancar dari rental.
  • Kualitas berselancar tergantung variasi gerakan dan gaya di atas papan selancar, anda dapat mengembangkannya supaya tidak monoton. Jadi, berselancarlah terus!

History in Hurry


MENGAPA orang mesti menulis? Pramoedya Ananta Toer memberikan alasan tajam untuk pertanyaan itu. Begini, katanya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang…dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Apa iya?

Mungkin ya, setidaknya begitulah menurut Pram. Tetapi buat praktisi jurnalisme tentu menulis saja tidak cukup, dia juga harus meliput lalu menyiarkan hasil liputannya, apakah melalui media cetak, media elektronik atau media online. Media-media itu selalu berlomba dengan waktu untuk menyiarkan tulisan atau gambar bernilai berita. Ini membuat laporan wartawan menjadi “history in hurry” atau sejarah yang ditulis dengan terburu-buru. Pasti ada celah atau kekurangannya.

Seorang profesor asing pernah kegirangan kala meneliti media massa Indonesia yang terbit lebih 35 tahun lalu. Girang karena berhasil mendapatkan berbagai kliping berita yang ingin ditelitinya di masa itu. “Saya senang berbagai peristiwa yang menjadi sejarah terekam dalam berita suratkabar di sini,” katanya. Sampai di sini Pramoedya Ananta Toer memang benar. Namun profesor asing itu ternyata juga jengkel sebab banyak spelling tidak akurat, penggunaan kata tidak tepat, serta penulisan akronim tanpa menguraikan kepanjangannya. Apalagi ada pula akronim yang diambil dari nama suatu lembaga yang kini sudah tidak ada lagi, kontan saja dia uring-uringan karena kehilangan satu mata rantai sejarah. Maklum di negeri ini nama departemen, instansi, lembaga pemerintah dsb. sering gonta-ganti, lalu raib selamanya.

Saya mendapatkan cerita itu dari Atmakusumah Astraatmadja, tokoh pers negeri ini, semasa belajar jurnalistik di Jakarta. “Kesalahan dalam penulisan sedapat mungkin mesti dihindari, soalnya tulisan kita mungkin saja masih diperlukan orang sepuluh, duapuluh, bahkan seratus tahun lagi,” katanya. Dia ingin menegaskan bahwa tulisan adalah rekaman sejarah jadi semestinya press claar atau bersih dari berbagai kesalahan, baik kesalahan bahasa maupun penggambaran fakta, yang bisa mengaburkan alur peristiwa. “Tulisan di media pers jangan membuat orang menjadi bingung,” tegas Atmakusumah.

Saya setuju, meskipun tetap sadar bahwa “berita pers adalah sejarah yang ditulis dalam keterburu-buruan.” Konon pula jika berita itu ditulis untuk televisi, radio, media online, bahkan suratkabar harian, tentu saat menuliskannya lebih terburu-buru lagi sebab tekanan deadline terus menghimpit. Ini sering membuat artikel pers menjadi bias—kadang-kadang juga tidak akurat. Seorang peneliti media pernah menemukan ternyata “berita bias dan tidak akurat adalah sesuatu yang sering terjadi dalam media pers.” Saking seringnya, dia berbicara dengan nada pasrah campur jengkel, menjadi suatu kesalahan yang lumrah, meskipun membingungkan. Aneh, kan? Padahal tulisan yang berhasil mesti mampu memberikan gambaran akurat di kepala orang yang membaca atau mendengarkannya.

Tiga-empat tahun lalu saya pernah mendengar pujian dari Hishamuddin Aun, petinggi pers di Malaysia saat berkunjung ke kantornya di Kualalumpur. Dia bangga media pers di Indonesia cukup berani menulis dan menyiarkan dengan kritis, termasuk berita tentang berbagai peristiwa sensitif di negeri jiran itu. “Indonesia lebih bebas, jadi banyak berita bagus bisa kami kutip untuk diberitakan kembali di sini,” ungkapnya. Namun, dia mengemukakan, sering pula mengalami kesulitan menemukan makna peristiwa yang diberitakan pers Indonesia karena terlalu kerap menggunakan singkatan [baca: akronim]. Misalnya, mereka pernah menemukan akronim “Anantakupa” di headline suratkabar mainstream negeri ini. “Kami cari-cari artinya di kamus Indonesia, tak ada. Bahkan di kamus Melayu juga tidak ada,” ungkapnya. Memang, akhirnya mereka menemukan padanannya yang ternyata adalah “api nan tak kunjung padam.” Tetapi, kata Hishamuddin Aun, “payah la…kami dibuatnya.”

Media di Malaysia memang tidak sembarangan boleh membuat akronim. Ada aturannya sehingga sajian media di negeri ini lebih tertata. Indonesia? “Semua boleh disingkat, tak macam kami di sini hanya nama pertubuhan (baca:lembaga) yang boleh disingkatkan,” kata Hishamuddin Aun lagi.

Memang, melalui media berbagai peristiwa—yang kemudian menjadi sejarah—bisa cepat diterima oleh publik. Media bekerja untuk keabadian, namun sejarah yang direkamnya tidak boleh kabur. Soalnya, pencapaian pekerjaan menulis plus menyiarkan—seperti kata Pramoedya—adalah untuk mengabadikan bukan membuat orang menjadi bingung. Karena itu, produk history in hurry sekalipun semestinya tetap press claar. Kalau tidak, seringkali tulisan-tulisan itu malah mengaburkan peristiwa, bahkan menghilangkan sejarah itu sendiri.--nt

Tuesday, March 20, 2007

Wartawan: Tsunami, Citra,
dan Sumber Berita


“WARTAWAN itu ibarat tsunami,” kata Jhoni Sitompul, seorang wartawan di Serdang Bedagai. Dia menceritakan pengalamannya saat berniat melakukan konfirmasi berita kepada seorang pejabat. “Kita masuk dari pintu depan, pejabat itu keluar dari pintu belakang.”

Pejabat di daerahnya, menurut Jhoni, masih alergi terhadap wartawan. Maunya pemberitaan koran cuma untuk ‘mengangkat-angkat’ saja, tetapi ketika ada kasus yang hendak dikonfirmasikan mereka tak mau bertemu. Para pejabat itu menganggap pemberitaan yang mengkritik kebijakan mereka hanya akan memukul posisi mereka. “Itulah makanya pejabat di sini menganggap wartawan seperti tsunami, karena dapat ‘menghancurkan’ kedudukannya.”

Cerita lain. Hendra, seorang redaktur di Medan, mengatakan sungkan mengaku sebagai wartawan. “Sekarang gampang sekali menjadi wartawan, sampai-sampai masyarakat sudah tidak dapat membedakan, mana yang sungguhan mana yang gadungan.”

Apalagi, dia mengungkapkan, kini sangat mudah membuat suratkabar. Modal beberapa juta saja seseorang sudah bisa jadi pemilik koran atau pemimpin redaksi tanpa memikirkan kesinambungan penerbitan dengan matang. “Wartawan juga bisa direkrut asal-asalan,” kata Hendra, “jadinya ya, beginilah! Citra wartawan rusak di masyarakat.”

Seorang wartawan ternama juga punya pengalaman ‘menggelikan’ dengan profesi ini di awal dia menggelutinya. Maskun Iskandar, mantan wartawan Indonesia Raya, mengungkapkannya kembali. Begini ceritanya.

Segerombolan orang bersenjata tiba-tiba saja menyerobot kantor berita Antara di Jakarta. Tampang mereka menyeramkan. Mereka menggebrak-gebrak meja, mengacung-acungkan pistol dan golok dengan galak. Suasana jadi mencekam. Namun pimpinan Antara tenang-tenang saja. Kenapa?

Sebelumnya Antara memberitakan bahwa di Karawang berkeliaran gerombolan yang dipimpin oleh Mat Item. Kerjanya memeras rakyat dengan alasan untuk bekal perjuangan membela kemerdekaan. Mat Item naik pitam membaca berita tersebut, kemudian melabrak kantor berita yang dipimpin Adam Malik itu.

Ketika itu zaman perang. Sulit membedakan antara pejuang dan pecundang. Malangnya Antara tidak mempunyai bukti dan saksi yang dapat menunjukkan bahwa gerombolan Mat Item adalah perampok.

Mat Item menuntut agar dipertemukan dengan wartawan yang menulis berita itu. Adam Malik menolak tuntutannya. Keduanya berbantah-bantahan. Untunglah Adam Malik piawai berbicara sehingga Mat Item kalah omongannya dan akhirnya ngeloyor bersama anak buahnya.

Dalam sisa-sisa suasana mencekam Adam Malik mengumpulkan seluruh wartawan. “Ngeri juga aku tadi. Wah, kalau aku salah ngomong, habislah kita dibantai mereka,” katanya. Lalu dia menanyakan, siapa yang membuat berita tentang gerombolan tersebut. Semua diam.Tapi tak lama, akhirnya ada juga yang mengaku.

“Saya, Bung!” kata Mochtar Lubis.

“Oh, kamu, toh! Dari siapa dapat informasi?”

“Da…ri mer…tua sa…ya,” ungkap Mochtar Lubis, malu-malu. Meledaklah tawa semua orang. Tapi Mochtar Lubis masih sempat berkilah,

“Masa sih, mertua saya bohong.”

Begitulah, tidak mudah menjadi wartawan. Citra profesi ini tergantung idealisme, tetapi kadang sikap subjektif bisa merusaknya. Sumber berita tak jarang complain, menggebrak kantor, malah ada yang mengibaratkannya dengan tsunami seperti di Serdang Bedagai tadi.--nt
Tapis, Kain Indah dari Lampung
Oleh
Nurhalim Tanjung

Ada berbagai hasil tenunan di daerah-daerah sepanjang Sumatera. Satu diantaranya adalah kain tapis. Ini adalah peninggalan bercitarasa seni dan budaya. Indah, bercorak variatif, dan spesifik Lampung.

“INDAH sekali…kain apa ini?” Pertanyaan itu terdengar saat resepsi pernikahan orang Lampung di Medan. Sepasang suami-istri dari keluarga mempelai berdiri di sekitar barisan pagar ayu. Si istri mengenakan kebaya rajutan dengan selendang dan kain bertapis, demikian pula si suami menggunakan kupiah bertenun benang warna cerah keemasan. Dia mengenakan stelan safari lengkap—sepintas mirip orang Betawi—tetapi di bagian bawah celana panjangnya ditutup oleh kain bertapis pula hingga sebatas lutut. Serasi sekali!

Selain di Medan, tentu pasangan berpakaian khas itu lebih gampang ditemui di Bandar Lampung atau kota-kota lain di Provinsi Lampung, terutama saat ada resepsi pernikahan, acara adat atau hajatan lainnya. Penampilan mereka tampak spesifik dan mengesankan.

Kain tapis yang mereka kenakan adalah hasil tenunan khas Lampung, provinsi terujung di selatan Sumatera. Coraknya indah dengan dasar kain berwarna hitam atau merah. Aneka motif menghias dasar kain tersebut, mulai tenunan bercorak gajah, kapal, manusia, siger [hias kepala wanita khas Lampung], bunga dan tanaman, hingga huruf-huruf Arab. “Sekarang semakin banyak corak dan motif kain tapis, begitupula dengan warnanya,” kata Fitri, 38 tahun, seorang pengusaha kain tapis di Desa Natar, Lampung Selatan.

Menurutnya, kini kain dasar untuk tapis tidak melulu warna merah atau hitam melainkan bisa pula berwarna biru, putih atau kombinasi beberapa warna. “Baju kebaya pasangan kain tapis juga bisa dihasilkan dari rajutan dengan bahan berwarna cerah, seperti orange, lila, biru, kuning, dan putih,” ungkap Fitri lagi. Dia menekuni pembuatan kebaya rajutan untuk menjadi pasangan kain dan selendang tapis yang dihasilkan oleh Hj Aisah Yaqub, ibu mertuanya.

Kain dan selendang tapis itu sendiri ditenun secara tradisional di pelosok Lampung oleh para perajin. Mereka menenun berdasarkan pesanan langsung dari peminat atau para pengusaha kain tapis untuk dipasarkan kembali, baik di Bandar Lampung, maupun di kota-kota lain, seperti Palembang, Jakarta, dan Bandung.

Tapis Senilai Seni dan Budaya
Aisah Yaqub, perajin sekaligus pengusaha kain tapis ternama di Lampung, mengemukakan peminat kain tapis cukup banyak saat ini. “Sayang, penenun yang bisa membuatnya semakin berkurang.” Kenapa? Soalnya, dia menceritakan, untuk menghasilkan satu kain tapis yang baik membutuhkan waktu minimal dua bulan, bahkan bisa hingga enam bulan. “Ini terlalu lama sehingga banyak penenun beralih mencari pekerjaan lain yang bisa memberi penghasilan lebih cepat,” ungkapnya.

Lamanya waktu untuk menghasilkannya membuat harga kain tapis ikut menjadi mahal. Seperangkat kain tapis berikut selendang bisa mencapai harga Rp1,5 juta atau lebih, namun ada juga yang lebih murah senilai beberapa ratus ribu rupiah saja. “Sebenarnya tidak mahal dibandingkan nilai seni budaya serta waktu membuatnya,” jelas Aisah lagi. Harga kain tapis itu belum termasuk baju kebaya rajutan pasangannya yang juga bisa mencapai Rp1,5 juta.

Ia mengisahkan, beberapa tahun lalu kain tapis sempat sulit ditemukan, sedangkan orang yang mencarinya cukup banyak. Saat itu orang Lampung tersentak, mereka baru sadar bahwa kain khas budaya Lampung sudah semakin langka. “Ini mendorong saya untuk mengembangkan kembali tradisi menenun kain tapis,” katanya.

Apalagi, dia menambahkan, dulu keluarganya dikenal sebagai perajin tapis ternama di Lampung. “Saya meminta kain tapis hasil karya ibu saya,” ujar Aisah, “beliau memberikan beberapa yang terbaik dari simpanannya untuk saya contoh dan pelajari.”

Penghargaan Budaya Berkat Tapis
Sejak itu Aisah pun mengembangkan kerajinan kain tapis di bawah bendera Ragom Mufakat di Desa Natar, Lampung Selatan, persis di jalan besar yang menjadi lintasan kendaraan dari Bandara Radin Inten II ke Kota Bandar Lampung. Banyak orang kemudian melirik kain tapis dan model usaha yang dilakoninya. Aisah dengan Ragom Mufakat terus berkembang pesat. “Semula saya dibantu 5 penenun, tambah jadi 20 penenun, kemudian menjadi 25 penenun, belakangan ada 250 penenun yang bekerja membantu saya menghasilkan kain tapis.” Bahkan, katanya, Ragom Mufakat sempat menempati satu lokasi khusus untuk menenun tapis.

Saat itu, ia mengemukakan, pihaknya sering diundang untuk mengikuti pameran di berbagai kota di Indonesia. “Kain tapis pun semakin dikenal di Indonesia, banyak orang yang mampir ke Lampung mencarinya untuk dibawa sebagai oleh-oleh, termasuk para pejabat hingga setaraf menteri.”

Aisah tidak sia-sia. Ia pun memperoleh beberapa penghargaan bergengsi berkat usaha mengembangkan kain tapis selama bertahun-tahun. Pada tahun 1990 wanita yang sudah sepuh ini menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto, lalu Indonesian Cultural Award di tahun 1995, serta berbagai penghargaan lainnya.

“Saya cukup puas mengembangkan kain tapis selama lebih 25 tahun,” katanya, “apalagi dengan usaha ini Lampung menjadi lebih terangkat di Indonesia, sedangkan saya sendiri berkesempatan mengenal orang-orang besar, seperti presiden, menteri, dan pengusaha di negeri ini.”

Jong Sarat, Tju Krui, dan Tapis Bordir
Kini kain tapis semakin mudah ditemukan di Lampung walaupun para penenunnya sangat tersebar di tempat-tempat berjauhan. Belakangan kesulitan memproduksi secara tenunan, menyebabkan kain tapis juga sudah banyak dihasilkan dengan cara bordir. “Tapis hasil bordir berharga lebih murah karena membuatnya lebih cepat, tetapi orang tetap saja lebih menyukai hasil tenunan meskipun lebih mahal,” kata Aisah.

Salah satu tapis yang tetap dicari orang karena bermutu tinggi, menurut Aisah, adalah Jong Sarat yang memiliki kerapatan tenunan sangat padat dengan kain cukup tebal, selain ada pula Tju Krui yang spesifik. “Tapi tapis Jong Sarat lebih terkenal dan lebih mahal dibandingkan Tju Krui walaupun sama-sama hasil tenunan.”

Begitupun, kata Aisah, semahal apapun kain tapis tetap dibeli orang karena mesti dipakai orang Lampung dalam setiap acara adat. Selain itu, dia menuturkan, orang-orang asal Sumatera Utara yang menetap di Lampung sering pula membawa kain tapis untuk dipakai saat menikah di Medan. “Jadi kalau mau kawin, belilah kain tapis supaya calon istri senang,” katanya.
Sandwich Crab

MATAHARI sudah turun dari titik kulminasi. Banyak mobil parkir di sekitar restauran dan kafe kawasan Fisherman’s Wharf. Para pengendaranya menikmati makan siang sambil memandang camar yang terbang saling menyusul di atas ombak. Sekitar satu setengah mil dari pantai tampak penjara Alcatraz Island berdiri angker di tengah laut. Kawasan pantai di pinggiran San Francisco ini memang menawarkan daya tarik makan siang yang susah dilupakan, yaitu menu laut dengan suasana yang menggairahkan.

“Sudah lapar, ya? Sabar, kita makan siang di restoran sebelah sana,” kata Christian Lentz, seorang konsultan yang meng-guide enam jurnalis dari Indonesia, termasuk saya di awal musim gugur—sekitar tiga hari pasca peristiwa 11 September yang mengguncang Amerika Serikat. Dia mengetahui lapar mulai mendera kami, plus rasa jenuh karena hampir tiga jam duduk di kabin mobil made in Korea yang dikemudikannya. Mobil terus berjalan. Kala mendekati restauran berlantai tinggi yang menjorok ke laut Lentz memutar stiur ke areal parkir, “Nah, ini tempatnya, kita makan siang di sini.” Semua pun merasa lega, lalu bergegas turun dari mobil. Angin laut menerpa wajah kami. Segar dan leluasa sekali…

“Aku mau makan siang dengan menu ini,” kata Amiruddin, teman asal Sleman, Yogyakarta, ketika kami sudah duduk di meja restauran itu. Dia menunjuk cheese sandwich with crab. Waitress mencatat lunch order-nya, begitu juga dengan pesanan dari kami--saya sendiri memesan salmon steak dengan french fries. Saat menunggu pesanan, kami membahas Alcatraz sambil menikmati panorama laut. Tanpa terasa makan siang pun datang. “Here are your lunch,” kata sang waitress, lalu berbasa-basi menanyakan kemungkinan ada pesanan lain. Tapi tak ada pesanan apapun lagi, dia pun melenggang meninggalkan meja kami.

“Lho, ini to sandwich, mana kepitingnya?” ungkap Amiruddin saat kami sedang siap-siap menyantap hidangan. Menu yang di-order-nya memang tidak menampilkan wujud kepiting bercangkang, melainkan dua lembar roti dengan keju dan adonan spesial di tengah lapisannya. Kami menoleh ke arahnya. “Eh, bukankah kamu tadi pesan sandwich…ya itu, kepitingnya sudah digiling jadi adonan didalamnya,” kata Ahmad Sahal, editor dari Jakarta. Amiruddin tercenung menatap makan siangnya, “Waduh, salah pilih aku…” Rasa geli pun menggelitik kami, tapi tak lama karena semua langsung tenggelam melahap makan siang masing-masing.

“Makanya, kalau biasa makan nasi dan gudeg jangan pesan roti,” kata Sahal lagi seusai makan siang. Amiruddin masih bersungut-sungut. Kenapa? Selain tak merasa menyantap kepiting, ternyata harga makan siangnya juga paling mahal: US$35. Hampir Rp350 ribu! Apa boleh buat, namun sekejap kemudian dia lebur dalam suasana perjalanan menyusuri Fisherman’s Wharf. Filosofi “makan tak makan, pokoknya kumpul” mengembalikan kegembiraannya dari gundah dan sesal akibat salah memilih menu makan siang. Kami lega. Apalagi Christian Lentz menghibur Amiruddin, katanya, “Lebih bagus bisa mencoba semua menu di sini supaya bisa merasakan makanan kami, soalnya kalau mau makan nasi, kan sudah biasa di Indonesia.” Iya pula, pikir saya.

Tetapi saat tiba di hotel Sahal kembali mengingatkan Amiruddin supaya lain kali meminta rekomendasi teman kala memilih menu di restauran atau café selama di negeri Paman Sam itu. “Kalau aku, suka mengikuti menu yang dipilih orang Medan ini,” kata Sahal sambil menunjuk saya. Mengapa? tanya Amiruddin. “Seleranya standar, dia tak pernah salah pilih menu.” Bah! Saya salah tingkah, merasa tersanjung sekaligus takut mengecewakan mereka kala makan siang berikutnya. “Aku memilih menu berdasarkan feeling, sekadar mau coba-coba saja,” kata saya berkilah. Tapi mereka tak mempedulikan explanation saya.

Untunglah, kekhawatiran saya tak terjadi karena mereka segera bisa menyesuaikan selera makan. Mereka mulai menggunakan feeling saat membaca daftar menu dari waitress, tidak sekadar menerjemahkan secara literal sebagaimana pernah dilakukan Amiruddin.
Alhamdulillah…sejak itu sarapan, makan siang, makan malam, hingga memilih snack saat ngopi di Starbuck tak pernah lagi ada yang menggerutu kecewa. Bahkan, pelan-pelan kami sudah bisa menyesuaikan selera dengan menu di berbagai restauran dan café di sana. Kami serasa punya filosofi baru setiap jam makan-minum tiba: “apapun menunya, pokoknya kita makan bersama.”

Buat saya sendiri filosofi itu semakin meneguhkan kebenaran pameo bahwa “orang bisa saling mengenal lebih dekat kala sedang di meja makan.” Buktinya, saat lunch di Fisherman’s Wharf itu saya baru tahu kalau Amiruddin suka makan kepiting yang masih bercangkang, bukan gilingan dagingnya meskipun sangat spesial dan mahal seperti sandwich crab.--nt
Pohon Terakhir,
Sungai Terakhir

“Ketika pohon terakhir sudah habis ditebang,
dan sungai terakhir telah mengering...
barulah kita sadar
bahwa uang ternyata tidak bisa dimakan...”

UNGKAPAN usang suku Indian itu menyentak saya ketika kawan-kawan di mailing-list mengabarkan nestapa dari Muarasipongi, Langkat, dan Aceh. Bencana mengeksploitasi duka di sana. Saya ngeri seandainya pohon terakhir memang tinggal menunggu ditebang, dan sungai terakhir bakal segera kering. Bumi niscaya meradang.

Semasa menyusuri sungai dan hutan di pedalaman Mandailing Natal beberapa tahun silam, saya hampir tak pernah membayangkan bumi bakal semenderita saat ini. Sungai Batanggadis sangat bersahabat ketika saya mengarunginya dengan sampan boat dari Desa Singkuang dalam ekspedisi untuk suatu reportase. Semakin jauh dari pemukiman justru panorama belukar di sisi kiri-kanan alur sungai kian indah. Pepohonan semakin rapat, mata tak mampu menembus ke dalam hutan. Di sisi-sisi tertentu tampak jeram bertingkat dari tebing-tebing yang menjulang terjal di tepi sungai. Saat sampan menepi ke “pintu rimba” di salah satu sisi sungai itu barulah saya bisa melongok ke dalam hutan, bahkan berjalan masuk melalui sela-sela pohon besar yang berdiri kokoh menusuk langit. Indah sekali! Memang, saya mendengar suara sinshaw terus meraung-raung menembus dedaunan dari kejauhan. Saya miris mendengarnya, apalagi tak lama kemudian ada suara gemerisik pepohonan rubuh ke tanah.

Saya juga menikmati panorama natural ketika memasuki hutan di kawasan Langkat dari Desa Telagah, Sei Bingei. Malah para pemburu tradisional di sana megajarkan kearifan lokal yang sulit saya lupakan: pantang mengenakan alas kaki, tak boleh berjaket tapi silakan mengenakan sarung, jangan sesumbar di dalam hutan, dan—ini yang paling aneh—tidak boleh membawa uang atau dompet kosong sekalipun. “Kita bukan mau berbelanja, tak ada yang mau dibeli di hutan,” kata Desman Tarigan, sahabat saya di sana. “Busyet...benar juga,” pikir saya. Kami pun hanya membawa tombak, parang, bubu ikan, dan joran pancing.

Selama dua hari, saya mengikuti pemburu pemburu tersebut menyusuri hutan hingga masuk menembus Taman Leuser. Tanah hutan terasa basah di kaki telanjang. Saat malam tiba, kami tidur di gua di tepi hulu Sungai Wampu. Suhu dingin menusuk tubuh karena saya hanya berselimut sarung. Toh, saya sangat menikmatinya. Subahanallah! Hutan begitu teduh, sejuk, dan hijau, meskipun kadang kami harus naik-turun tebing curam yang basah, dan, tentu saja, licin. Sesekali tampak kambing hutan di puncak tebing, sedangkan di malam hari terdengar suara satwa liar yang membuat kami enggan tertidur. Kala pagi tiba siulan burung dan suara gaduh orang utan membuat rimba mendadak menjadi sangat ramai. Gemericik hulu Sungai Wampu turut menggoda kami. Airnya sangat jernih, sejuk, dan segar.

Saya selalu tergoda untuk mengulangi pengalaman-pengalaman itu. Pengalaman yang membuat saya menjadi sangat mampu membayangkan “apa jadinya bumi kalau hutan dan sungai tak ada lagi?” Alam pasti marah. Lihat saja hari-hari belakangan ini bencana bertebaran dimana-mana: di Aceh, Muarasipongi, Langkat, Solok, Nias, Riau, Yogyakarta, Sidoarjo, bahkan Johor, Filipina, Taiwan hingga New Orleans, Louisiana, di Amerika Serikat.

Banyak orang, terutama para korban bencana alam, menjadi nestapa. Padahal sudah sejak lama banyak pula orang yang resah ketika mengetahui Indonesia kehilangan hutan seluas sebelas kali lapangan sepakbola dalam setiap periode singkat. Tetapi seringkali lebih banyak orang yang tak mampu menahan godaan untuk mengusik bumi.

Sayang, seandainya kelak mereka baru sadar bahwa suku Indian ternyata memang benar. Saat itu mungkin semua sudah terlambat jika “ pohon terakhir benar-benar sudah habis ditebang, dan sungai terakhir juga telah mengering...” Pundi-pundi uang sebanyak apapun tak akan mampu membelinya kembali.

Saya tercenung...ah, pantas pemburu-pemburu tradisional dari Desa Telagah melarang saya membawa dompet ke dalam hutan. Selain tak ada yang mau dibeli, bukankah hutan dan sungai adalah sumber kehidupan kita? Siapapun bisa hidup di sana tanpa sepeser uang. Tetapi sinshaw yang kerap meraung di hutan-hutan membuat sumber kehidupan itu menjadi semakin tidak seimbang. Kalau terus berlangsung, maka sungai terakhir, pohon terakhir bakal menjadi nightmare, siapapun pasti ingin segera terjaga dari tidur kala memimpikannya.--nt
Semalam di Krakatau
Oleh Nurhalim Tanjung

Siapa tak ingin ke Krakatau? Banyak orang terpikat datang ke kawasan gunung api legenda dunia ini, tapi jarang sekali bisa menginap di kawasan cagar alam yang berada di tengah laut antara Sumatera dan Jawa ini. Suasana malam di sini mengasyikan walaupun sangat sunyi, gelap dan…tentu mendebarkan.




MUSIM barat membuat Selat Sunda tidak bersahabat. Laut bergelombang, membentuk palung-palung besar. Kapal-kapal katir (bercadik) milik nelayan maupun kapal motor sembunyi di balik pulau-pulau. Mereka enggan berlayar, kecuali pagi hari ketika gelombang sedikit ramah. “Siang atau sore biasanya suhu semakin tinggi, ini mengakibatkan gelombang laut semakin besar,” kata Agus Haryanta, kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung. Kalau tetap mau berlayar maka sang nakhoda mesti terbilang cukup berani, soalnya selain berisiko, mesin kapal motor mesti dipacu ekstra berat supaya tetap dapat melaju. Kemana? Kawasan Cagar Alam Krakatau di tengah Selat Sunda.

Tentu tak boleh sembarang melangkah ke sana. Kami sowan terlebih dulu kepada Agus Haryanta di Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung, mengingat cagar alam itu berada di bawah wewenangnya. “Sekarang lagi musim barat, biasanya berlangsung selama dua bulan [Februari hingga Maret]. Kami mengosongkan pulau-pulau di kawasan Krakatau dari petugas jaga karena susah memasok makanan dalam kondisi seperti ini,” kata Agus. Tetapi dia mempersilakan mengunjungi kawasan legenda dunia itu dengan syarat mesti didampingi oleh polisi hutan yang berpengalaman menjaga Krakatau. Kami tak keberatan.

Kawasan Cagar Alam Krakatau memiliki luas lebih 13. 375 hektare, terdiri dari empat pulau dan perairan laut di sekitarnya. Pulau-pulau ini merupakan hasil sterilisasi alam yang tersisa setelah Gunung Krakatau meletus hebat pada 27 Agustus 1883 lalu. Letusan gunung ini tercatat 10.000 kali lebih kuat dari bom atom Hiroshima sehingga menggetarkan seantero dunia, menimbulkan tsunami setinggi 30 meter dan menelan korban sekitar 36 ribu jiwa.

Satu dari empat pulau di kawasan Krakatau saat ini adalah Gunung Anak Krakatau. Ini adalah satu-satunya gunung aktif di dunia yang berada di tengah laut. “Meskipun gunung aktif, kondisinya masih normal,” ungkap Agus lagi. Gunung ini terus bergerak naik, dimana ketinggiannya bertambah 0,5 sentimeter setiap hari. Kini tingginya telah mencapai lebih 300 meter dengan luas 320 hektare. Tiga pulau lainnya adalah Panjang (320 hektare), Sertung (1.060 hektare), dan Rakata atau Pulau Krakatau Besar (1.400 hektare). Cagar alam ini termasuk dalam World Hiritage-List (Daftar Warisan Dunia).

***
Setelah menempuh gelombang laut selama empat jam dari Pelabuhan Canti di Kalianda, kota kecil sejauh 60 kilometer dari Bandar Lampung, kapal motor yang kami tumpangi langsung berlabuh di Gunung Anak Krakatau kala langit mendekati senja. Pantai berpasir hitam dan gembur. Kami kesorean tiba di pulau gunung ini karena kapal motor baru berangkat dari Canti sekira pukul 12.00 WIB. Lagipula kami mampir terlebih dulu di Pulau Sebesi guna menyewa snorkle dan pin untuk berenang serta snorkling.

Pulau Sebesi adalah pulau besar yang terletak di antara pelabuhan Canti dan kawasan Cagar Alam Krakatau. Ada tiga kampung besar di pulau ini, yaitu Tejang, Regehan Lada, dan Segenom. Di sini juga terdapat satu penginapan yang biasa digunakan oleh para pemancing atau para turis untuk transit menuju Krakatau. Butuh waktu 1,5 jam hingga 2 jam untuk mencapai pulau ini dari Canti, sedangkan dari Sebesi menuju Krakatau sekira dua jam lagi. Perjalanan dari Canti ke Sebesi cukup menarik karena melalui pulau-pulau yang berlaut indah, yaitu Pulau Sentiga serta Sebuku dan Sebuku Kecil. Pulau-pulau ini juga membuat perjalanan laut dengan kapal motor lebih aman dalam musim barat. Namun melewati Sebesi hingga Krakatau gelombang laut benar-benar tidak bersahabat karena tak ada pulau yang menghambat angin berhembus kencang dari arah barat.. Kapal terus terombang-ambing di atas gelombang besar. Air laut kerap memercik ke dalam kapal, malah sekalipun kami naik ke atap kapal tetap saja terpercik air asin.

Dua Puncak Anak Krakatau
Syukurlah, meskipun kesorean kapal motor berhasil memasuki laut di kawasan Cagar Alam Krakatau. Dua-tiga kapal motor nelayan tampak di kawasan ini, agaknya mereka bersembunyi dari gelombang musim barat yang ganas. “Semestinya nelayan-nelayan itu tak boleh berada di sini karena ini kawasan cagar alam, tapi dalam kondisi begini kami mesti maklum,” kata Rusmaidi, polisi hutan penjaga Krakatau yang ditugaskan oleh Agus Haryanta mendampingi kami.

Turun ke pantai, kami langsung memasuki lereng Gunung Anak Krakatau. Lereng gunung ini berhutan belukar disertai beberapa pohon pinus dan pepohonan kecil. Di sini ada shelter untuk pengunjung. Ada pula jalan setapak menuju punggung gunung hingga terus ke puncak. Tanah tetap gembur, hitam, dan terasa sedikit panas di kaki. Karena itu, kata Rusmaidi, kalau mau naik ke puncak sebaiknya pagi-pagi sekali atau sore sekali. “Kalau siang, panas matahari sangat menyengat, sedangkan dari bawah seringkali kaki tidak tahan dengan panas tanahnya.”

Di kawasan punggung Anak Krakatau jarang tanaman yang sanggup hidup. Praktis tak ada tempat teduh di sini. Punggung gunung ini gundul sampai ke puncaknya, baik di puncak pertama hingga puncak tertinggi. Semakin mendekati puncak bau belerang mulai menyengat hidung. Tanah di sekitar puncak tertinggi tampak agak kekuningan diselimuti belerang. “Jangan ke sana, berbahaya. Tanahnya lebih lunak dan panas, kadang bisa longsor,” ungkap Rusmaidi.

Sekitar tahun 2003, dia menceritakan, seorang peneliti dari Oxford, Inggris, tidak mengindahkan larangan itu. Saat di puncak ternyata dia tergelincir dan jatuh masuk ke kawah gunung. “Dia tewas, tapi tubuhnya baru keesokan hari bisa diangkat dengan bantuan helikopter.”

Cagar Alam untuk Wisata Khusus
Begitupun, Rusmaidi mengisahkan, tidak sedikit turis tetap naik ke puncak tertinggi Anak Krakatau dan selamat. Turis? Ya, menurut Rusmaidi, saat musim libur banyak turis asing maupun lokal datang ke Krakatau dari pelabuhan Carita atau Anyer, Banten di Pulau Jawa. Mereka menggunakan fasilitas paket perjalanan yang sering dijual oleh biro perjalanan bekerjasama dengan hotel-hotel di Jakarta. Apalagi perjalanan dari sana ke kawasan Krakatau memang sedikit lebih dekat dibandingkan dari daratan Lampung. “Turis-turis itu susah sekali dilarang karena merasa sudah membeli paket perjalanan kemari,” jelas Rusmaidi.

Sebelumnya cerita yang sama juga sudah kami dengar ketika bertemu Agus Haryanta. “Padahal Cagar Alam Krakatau bukan untuk wisata umum, melainkan wisata khusus yaitu untuk pendidikan dan penelitian,” katanya. Karena itu untuk memasuki cagar alam ini terlebih dulu harus memperoleh Simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi) dari BKSDA Lampung. Selama Januari s/d. Agustus 2006 tercatat 541 orang yang mendapatkan Simaksi untuk mengunjungi Krakatau, dimana hampir 60 persen adalah orang asing. Mereka berkunjung untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. “Tapi izin bisa juga langsung diperoleh dari petugas yang berjaga di Krakatau.”

***

Kami mengeksplorasi Anak Krakatau hingga ke puncak. Ada alat pemantau aktivitas gunung di sini yang terhubung langsung ke pusat pematauan di Bogor. Dari sini terhampar pemandangan laut biru yang mengelilingi Krakatau sangat memukau. Pulau-pulau di sekitarnya menambah keindahan panorama. Kombinasi langit, laut, gunung, dan pulau-pulau hijau membuat kawasan cagar alam di tengah laut ini benar-benar unik. Rasa lelah dan mual akibat digoyang ombak terbayar lunas seketika. Konon pula Anak Krakatau lumayan ramah menyambut kami, padahal di tahun 1993 terus-menerus menyemburkan lumpur panas dari perutnya selama tiga bulan, demikian pula tahun 2003. “Siklusnya seperti sepuluh tahunan, tapi kalau malam indah sekali karena lumpur yang disemburkannya membara kemerahan sehingga menerangi sekitar sini,” ungkap Rusmaidi, “semula kami merasa ngeri tetapi lama-kelamaan menjadi biasa karena gunung ini tidak meletus seperti induknya dulu.” Ah, untunglah kami berkunjung bukan dalam jadwal siklus sepuluh tahunan gunung ini.

Menginap di Pos Jaga Pulau Panjang
Hari semakin senja. Matahari mulai turun ke balik Anak Krakatau. Laut semakin bergelora. Tetapi kami harus menyeberanginya untuk mencapai Pulau Panjang, tempat menginap malam ini. Mengapa? Soalnya, sangat berisiko untuk langsung kembali ke Pulau Sebesi atau Canti.

Toh, kami tidak rugi menginap semalam di kawasan Krakatau. Bahkan beruntung sekali. Kami menempati pos jaga berupa rumah panggung dari kayu di Pulau Panjang yang berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatau. Pos jaga ini menjadi ‘hotel’ yang lumayan bagus di pulau tengah laut meskipun tanpa penerangan, kecuali senter dan lampu minyak. Kami puas memandang Anak Krakatau dari sini. Gunung ini seperti bayangan raksasa di tengah laut saat malam. Sunyi, tetapi gemuruh ombak meramaikannya kembali. Suasana terasa jadi mendebarkan di tengah malam yang gelap tanpa bulan. Di seberang tampak tiga titik lampu patromak dari kapal nelayan yang berlabuh di pulau-pulau sekitarnya. Rupanya mereka pun masih enggan menghadapi gelombang musim barat.

Malam terasa berjalan lambat karena tak ada aktivitas yang bisa dilakukan akibat musim barat, padahal memancing sambil mencari kepiting di karang pantai dan menunggu penyu bertelur sangat mengasyikkan seandainya cuaca sedang normal. Kami pun tak sabar menunggu pagi. Tapi akhirnya suara aneka burung dan gemerisik dedaunan di tengah belantara hutan Pulau Panjang membangunkan kami. Gelombang laut masih belum ramah, padahal Gunung Anak Krakatau tampak kalem di seberang sana. Kapal motor tampak meraung-raung menyiasati gelombang untuk menjemput kami dari pulau ini. Tak lama kemudian, kami pun meninggalkan kawasan Krakatau dengan perasaan puas, tetapi tetap mendebarkan karena mesti menaklukkan gelombang laut di musim barat.***