Tuesday, March 20, 2007

Wartawan: Tsunami, Citra,
dan Sumber Berita


“WARTAWAN itu ibarat tsunami,” kata Jhoni Sitompul, seorang wartawan di Serdang Bedagai. Dia menceritakan pengalamannya saat berniat melakukan konfirmasi berita kepada seorang pejabat. “Kita masuk dari pintu depan, pejabat itu keluar dari pintu belakang.”

Pejabat di daerahnya, menurut Jhoni, masih alergi terhadap wartawan. Maunya pemberitaan koran cuma untuk ‘mengangkat-angkat’ saja, tetapi ketika ada kasus yang hendak dikonfirmasikan mereka tak mau bertemu. Para pejabat itu menganggap pemberitaan yang mengkritik kebijakan mereka hanya akan memukul posisi mereka. “Itulah makanya pejabat di sini menganggap wartawan seperti tsunami, karena dapat ‘menghancurkan’ kedudukannya.”

Cerita lain. Hendra, seorang redaktur di Medan, mengatakan sungkan mengaku sebagai wartawan. “Sekarang gampang sekali menjadi wartawan, sampai-sampai masyarakat sudah tidak dapat membedakan, mana yang sungguhan mana yang gadungan.”

Apalagi, dia mengungkapkan, kini sangat mudah membuat suratkabar. Modal beberapa juta saja seseorang sudah bisa jadi pemilik koran atau pemimpin redaksi tanpa memikirkan kesinambungan penerbitan dengan matang. “Wartawan juga bisa direkrut asal-asalan,” kata Hendra, “jadinya ya, beginilah! Citra wartawan rusak di masyarakat.”

Seorang wartawan ternama juga punya pengalaman ‘menggelikan’ dengan profesi ini di awal dia menggelutinya. Maskun Iskandar, mantan wartawan Indonesia Raya, mengungkapkannya kembali. Begini ceritanya.

Segerombolan orang bersenjata tiba-tiba saja menyerobot kantor berita Antara di Jakarta. Tampang mereka menyeramkan. Mereka menggebrak-gebrak meja, mengacung-acungkan pistol dan golok dengan galak. Suasana jadi mencekam. Namun pimpinan Antara tenang-tenang saja. Kenapa?

Sebelumnya Antara memberitakan bahwa di Karawang berkeliaran gerombolan yang dipimpin oleh Mat Item. Kerjanya memeras rakyat dengan alasan untuk bekal perjuangan membela kemerdekaan. Mat Item naik pitam membaca berita tersebut, kemudian melabrak kantor berita yang dipimpin Adam Malik itu.

Ketika itu zaman perang. Sulit membedakan antara pejuang dan pecundang. Malangnya Antara tidak mempunyai bukti dan saksi yang dapat menunjukkan bahwa gerombolan Mat Item adalah perampok.

Mat Item menuntut agar dipertemukan dengan wartawan yang menulis berita itu. Adam Malik menolak tuntutannya. Keduanya berbantah-bantahan. Untunglah Adam Malik piawai berbicara sehingga Mat Item kalah omongannya dan akhirnya ngeloyor bersama anak buahnya.

Dalam sisa-sisa suasana mencekam Adam Malik mengumpulkan seluruh wartawan. “Ngeri juga aku tadi. Wah, kalau aku salah ngomong, habislah kita dibantai mereka,” katanya. Lalu dia menanyakan, siapa yang membuat berita tentang gerombolan tersebut. Semua diam.Tapi tak lama, akhirnya ada juga yang mengaku.

“Saya, Bung!” kata Mochtar Lubis.

“Oh, kamu, toh! Dari siapa dapat informasi?”

“Da…ri mer…tua sa…ya,” ungkap Mochtar Lubis, malu-malu. Meledaklah tawa semua orang. Tapi Mochtar Lubis masih sempat berkilah,

“Masa sih, mertua saya bohong.”

Begitulah, tidak mudah menjadi wartawan. Citra profesi ini tergantung idealisme, tetapi kadang sikap subjektif bisa merusaknya. Sumber berita tak jarang complain, menggebrak kantor, malah ada yang mengibaratkannya dengan tsunami seperti di Serdang Bedagai tadi.--nt

No comments: