Tuesday, March 20, 2007


Pers Bebas Dan Public Interest

Oleh Nurhalim Tanjung

Artikel ini saya buat sekira tiga bulan setelah tsunami menghantam Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias serta sebagian pesisir Sumatera Utara, yaitu ketika para wartawan sibuk mempersiapkan diri untuk Porwanas sekaligus merayakan Hari Pers di Riau pada Februari 2005 lalu. Mereka menghabiskan dana miliaran rupiah untuk itu, padahal daerah bencana sangat membutuhkan bantuan. Harian Waspada, tempat saya dulu bekerja memuat artikel ini di kolom Opini ketika itu.



ADA pesan tertinggal di perayaan Hari Pers Nasional tahun ini. Pesan itu kurang-lebih bernada menggugat peran pers sebagai agen demokrasi. Mengapa masyarakat masih sulit mencapai harapan dan kepentingan mereka untuk memperbaiki hidup? Bukankah kebebasan pers sudah cukup besar sejak tujuh tahun terakhir? Masyarakat juga sudah bebas berekspresi—menyampaikan aspirasi, harapan dan keluhan mereka—sehingga memudahkan pers untuk memilih dan mengangkatnya ke ranah publik melalui sajian berita.

Semestinya dengan kebebasan yang dimiliki pers Indonesia sejak Orde Baru berakhir masyarakat bisa merasakan perubahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada pers bebas yang membantu dan memperjuangkan untuk memenuhi harapan, kepentingan dan kebutuhan mereka (public interest).

Public interest itupula yang pernah menjadi pemicu pers di Jepang saat memutuskan terlibat membangun negara yang baru saja babak-belur seusai Perang Dunia Kedua. Pers di Negara Matahari Terbit ini memanfaatkan kebebasannya untuk mendorong perekonomian bangsa dengan berita, gambar dan artikel-artikel bermutu. Hasilnya? Masyarakat puas, karena kini Jepang menjadi negara yang mampu menyamai kemajuan ekonomi negara-negara barat. Pers merupakan salah-satu institusi yang disebut-sebut berperan besar membuat Jepang jadi negara terkuat secara ekonomi di dunia dalam beberapa tahun.

Tetapi di Indonesia, setelah perlahan-lahan keluar dari krisis moneter dan ekonomi yang terjadi tujuh-delapan tahun lalu, ternyata angka orang miskin masih saja tetap tinggi. Pemerintah menyebutkan angka 40 juta orang miskin di sini, sedangkan Bank Dunia menyatakan ada 110 juta orang miskin di negeri ini. Atau kalau mau memakai indikasi terdekat lihatlah daerah-daerah yang baru saja babak-belur dilanda bencana di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias: kebebasan pers belum maksimal membantu harapan dan kepentingan para korban, terutama di Nias, Sumatera Utara. Mereka masih terbengkalai, bahkan nyaris kehilangan harapan pasca bencana gempa dan tsunami, padahal mereka sudah mengungkapkannya berulang-ulang lewat media.

Kalau para pekerja pers peka dengan kondisi itu, tentu mereka sungkan menghamburkan dana miliaran rupiah sekadar untuk merayakan hari kelahirannya berikut Porwanas (Pekan Olahraga Wartawan) di Pekanbaru. Ada saudara-saudara yang lebih membutuhkan dana itu untuk memenuhi harapan dan kebutuhan mereka. Toh, kebebasan pers bukan hanya untuk merealisasikan kepentingan dan kebutuhan orang-orang pers itu sendiri.

Pers punya tanggung-jawab dalam mengemban kebebasannya, karena itu dia perlu memegang moral yang ditegaskan dalam kode etik profesinya. Institusi dan orang-orang yang memegang profesi ini pantang memanipulasi public interest karena mengutamakan kepentingan sendiri. Bukankah laporan-laporan yang dimanipulasi pasti akan menyesatkan masyarakat?

Todung Mulya Lubis, pengacara dan ahli hukum , pernah mengungkapkan hasil satu survei yang memperlihatkan bahwa 54,3 persen respondennya berpendapat bahwa pers ikut berperanan memperkeruh keadaan, bukan sebaliknya: membenahi keadaan. Memang tidak semua pers di negeri ini demikian, karena 37,1 responden lagi berpendapat pers masih mempunyai peranan positif. Artinya, pers juga masih punya peluang melaksanakan tanggung-jawab mendorong realisasi public interest.

Dilema profesi
Profesi sebagai pekerja pers memang tidak gampang, bahkan penuh dilema. Selalu ada tarik-menarik saat berhadapan dengan kepentingan publik, sementara mereka mempunyai kepentingan sendiri. Namun, seharusnya, di saat desakan kepentingan publik lebih besar, pers bisa memberi prioritas. Apalagi kepentingan itu muncul di saat kebebasan pers sudah sebesar sekarang, maka sangat layak masyarakat dapat melihat harapan-harapan mereka juga terealisasi.

Sebaliknya bila ternyata masyarakat semakin susah, pengangguran meningkat dan angka kemiskinan bertambah yang justru terjadi di saat kebebasan pers sudah lebih terbuka, tentu masyarakat akan bertanya: Apa gunanya kebebasan pers? Mereka akan bernostalgia bahwa saat pers sedang tak bebas di masa Orde Baru dulu, misalnya, mereka malah merasa relatif lebih baik secara ekonomi.

Kondisi itu bisa mengancam kebebasan pers di Indonesia jika dibiarkan berlarut-larut. Profesor Stuart Loory, pengajar di Sekolah Jurnalistik University of Missouri AS, mengatakan masyarakat bisa mengikut saja jika pemerintah beranggapan ternyata kebebasan pers tak diperlukan apabila rakyat bisa sejahtera tanpanya.

Apalagi ada contoh di Singapura, dimana pemerintah negara pulau itu berhasil membangun perekonomiannya—bahkan menjadi salah satu negara terbaik di Asia dan dunia—padahal tak ada kebebasan pers di sana. RR China pernah pula ingin meniru keberhasilan Singapura tersebut karena beranggapan kebebasan pers tak perlu jika rakyat bisa makmur dan sejahtera.

RR China sudah sejak lama alergi terhadap pers, ditandai dengan sulitnya para wartawan asing memperoleh visa masuk ke negara itu, selain hampir tak ada pers yang kritis disana. Mereka sedang konsentrasi melakukan reformasi ekonomi, jadi tak mau diganggu dengan pemberitaan-pemberitaan media asing. Pemerintahan Negara Tirai Bambu ini cukup efektif menekan pers untuk menjaga irama pembenahan ekonomi yang dilakukan secara besar-besaran. Mereka terkesan tak butuh pers bebas.

Cara itu membuat Singapura dan RR China sukses membangun pemerintahan sentral yang kuat. Menurut teori-teori pers, pemerintahan sentral yang kuat biasanya tak merelakan ada kebebasan pers di negaranya. Sayang, praktek itu terlanjur cukup kuat di beberapa negara di Asia dan kawasan Asia Tenggara, seperti RR China, Singapura dan Malaysia, demikian pula di Indonesia di masa rezim Soeharto. Hanya Philipina yang dikenal memiliki kebebasan pers cukup bagus di kawasan belahan benua di sebelah timur bola dunia ini.

Tetapi kebebasan pers di Philipina itu, akhir-akhir ini, juga mulai menjadi sorotan karena tak memberi kontribusi signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Kebebasan pers malah menyuburkan 'jurnalisme amplop' disana sejak beberapa tahun lalu. Pers tak jarang ketahuan memanipulasi aspirasi, harapan dan keluhan masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri. Ini adalah sisi negatif yang bisa merusak image publik terhadap pers bebas. Kalau berlarut-larut—seperti dikatakan Prof Stuart Loory—maka masyarakat bisa setuju saja dengan pemerintah apabila ingin menerapkan praktek menekan kebebasan pers asalkan dapat membuat mereka lebih sejahtera, seperti terjadi di China, Singapura atau Malaysia.

Kebebasan Cuma Sarana
Pekerja pers di Indonesia tentu tak menginginkan kebebasannya terenggut. Kebebasan yang ada sekarang merupakan hasil perjuangan panjang para pelaku pers setelah melewati berbagai aksi represif, seperti teror hingga pembreidelan sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru. Karena itu sudah pantas jika pers menunjukkan bahwa kebebasannya bermanfaat untuk membangun masyarakat transparan (well-informed), berpengetahuan (well-knowledge) dan akhirnya, tentu saja, sejahtera.

Pengalaman selama empat dasawarsa sudah cukup pahit bagi pengelola pers di negeri ini karena mereka tak dapat menjalankan fungsi secara baik sebagai pengawas yang melindungi hak-hak masyarakat. Keadaan tersebut dimanfaatkan para penguasa saat itu untuk mengutamakan kebutuhan dan kepentingan mereka saja, maka tumbuh suburlah aksi manipulasi, korupsi, kolusi dan semacamnya. Saat kondisi itu menimbulkan masalah berbelit dan pemerintah tak mampu menahan krisis ekonomi yang terjadi, ketika itulah semua sadar bahwa Indonesia butuh pers bebas, bukan pers banci yang mengetahui ada keganjilan dan penyimpangan selama ini tapi tak bisa berbuat apa-apa. Semua tersentak ternyata angka-angka kemajuan semasa Orde Baru cuma semu. Pers mengetahuinya tapi tak berani mengungkapkan karena tak punya kebebasan.

Pers di Indonesia baru memperoleh kebebasan seiring keberanian masyarakat melakukan kebebasan berekspresi untuk menjatuhkan Orde Baru. Sejak itu kebebasan pers di sini sempat menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, walaupun kemudian mulai merosot lagi karena orientasi dan kontribusi yang tak signifikan terhadap masyarakat.

Perjalanan mencapai kebebasan pers itu sangat berat, walaupun akhirnya bisa didapat juga. Tapi pers tak mendapatkannya sendirian, melainkan berkat dukungan dan keberanian masyarakat mengekspresikan perubahan dan reformasi di negeri ini. Maka wajar bila masyarakat berharap pers bisa membantu merealisasikan keinginan dan kepentingan mereka supaya bisa menikmati hidup yang lebih baik.

Masyarakat juga wajar kecewa atau cemburu kalau ternyata pers tak cukup peka karena—di tengah angka kemiskinan sangat tinggi dan orang susah bertambah akibat tsunami—masih sempat merayakan Hari Pers Nasional (HPN) secara gegap-gempita. Memang, tentu saja, tak semua pengelola pers begitu, masih banyak kalangan media yang simpati dan berempati dengan kesulitan masyarakat merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka.

Mudah-mudahan kalangan pers memahami bahwa ruang kebebasan dalam profesi mereka pernah menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Mereka perlu menjaga dan memeliharanya dengan baik untuk membela dan memperjuangkan public interest.Mudah-mudahan pula HPN bisa menjadi momentum introspeksi bagi semua awak pers di negeri ini bahwa kebebasan pers bukanlah tujuan, melainkan cuma sarana supaya masyarakat bisa hidup sejahtera.***

No comments: