Monday, March 26, 2007


Gomo: the Ancient Site Region



DARIMANA asal nama Gomo? Pastor Johannes, seorang peneliti Nias, mengemukakan dulu ada dua orang China, masing-masing bermarga Go (Gho) dan Motse terdampar ke Pulau Nias. Kala tiba di pertengahan pulau lalu mereka menggabungkan awalan marga mereka untuk menamakan daerah itu sehingga melekat nama go-mo (sekarang Gomo).

Peristiwa itu sudah lama sekali, tetapi agaknya sebelum mereka datang sudah ada peradaban di Nias. Soalnya, Gomo dianggap sebagai daerah asal muasal seluruh orang Nias.

Gomo berada 80 kilometer dari Gunungsitoli, sedangkan dari Teluk Dalam berjarak 30 kilometer. Kecamatan ini terkenal sebagai lokasi the ancient site region. Berbagai situs kuno berpencar di beberapa lokasi megalitikum dan menhir berusia ribuan tahun di sini. Misalnya, di dusun Tundrumbano, Lahusa Satua, Tetegowo, dan Tuhegewo. Masing-masing situs berjarak dua-tiga kilometer satu dengan lainnya.Selain itu, masih ada lagi Boronadu, yaitu situs paling kuno di lokasi sejauh 8 kilometer dari pusat Kecamatan Gomo. Sedangkan untuk mencapai pusat kecamatan ini mesti menempuh perjalanan bukit-bukit berbatu dengan sepedamotor sejauh 17 kilometer dari jalan lintas Nias.

Boronadu berada jauh di perbukitan terpencil. Lokasinya dipercaya sebagai tempat orang Nias pertama diturunkan dari langit, kemudian turun lagi ke daerah-daerah lain di sekitar Gomo, dan terus menyebar ke seluruh Pulau Nias. Siapapun tak sanggup mencapai Boronadu dengan sepedamotor, apalagi bermobil karena jalannya berbukit-bukit tanpa aspal. Orang mesti berjalan kaki sejauh 5-6 kilometer lagi untuk mencapainya. Ada apa di Boronadu? “Batu megalitikum dan menhir sudah tak banyak lagi, sudah berhilangan, tetapi ada satu pohon besar yang diyakini dapat menentukan nasib orang Nias di sana,” kata Atoli Telaumbanua, salah seorang kepala desa di Gomo.

Siang mulai redup. Kami kuatir waktu tidak cukup untuk ke Boronadu, akhirnya diputuskan untuk mengunjungi situs megalitikum dan menhir di Dusun Tundrumbano di Desa Lahusa Idano Tae. Lokasinya berada di atas bukit sekira 2-3 kilometer lagi dari pusat kecamatan Gomo, tetapi sepedamotor harus ikut menyeberangi sungai, kemudian menyusuri perbukitan plus jalan kaki sejauh satu kilometer. Setengah jam setelah itu, kami pun sudah berada di pintu masuk situs megalitikum dan menhir berukuran lebih 3000 meter persegi. Batu-batu purba berbentuk tiang, meja, tempat duduk, bak untuk mencuci pedang, serta patung-patung harimau terhampar di sana. “Situs ini berumur 800 tahun, tetapi para antropolog yang pernah meneliti kemari mengatakan usianya 3000 tahun,” kata Atoli Telaumbanua lagi. Batu-batu di situs ini berdenting seperti besi saat diketuk, tidak seperti batu biasanya.

Lokasi situs itu dibangun oleh raja Tambalingautu Telaumbanua. “Saya adalah generasi ke-14 dari Tambalingautu,” ungkap Atoli. Ada lima tiang batu bersegi di lokasi ini, dua-tiga tiang diantaranya sudah miring ke tanah. Tiang batu ini disebut behu. Semua tiang behu ini memiliki lubang sebesar kepala manusia di puncaknya. “Lima tiang batu ini menandakan Tondrumbano pernah memiliki lima raja, dan setiap raja yang meninggal maka kepalanya diletakkan di lubang behu ini,” jelas Atoli lagi. Kini kepala para raja Tundrumbano itu tentu sudah tak lagi ada di puncak behu tersebut.

Banyak peneliti pernah datang kemari, malah situs inipun pernah dipugar tetapi Tondrumbano tetap diselimuti tetumbuhan belukar seperti tak terawat. Beberapa megalit dan menhir pun sudah hilang dari sini. Kenapa hilang? “Kami juga tidak tahu, tapi pasti ada yang mengambilnya,” kata Atoli Telaumbanua. Namun dua hari sebelumnya, Solistis Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, saat bertemu kami di Teluk Dalam berjanji segera memugar situs megalitikum dan menhir di Gomo dalam tahun ini untuk mencegah kerusakan dan kehilangan. “Kami sudah menyiapkan anggaran Rp3 miliar untuk memugar situs-situs di sana, termasuk dua situs megalitikum dan menhir lagi [di kecamatan Lolowau],” katanya waktu itu.

Hari semakin sore, kami pun meninggalkan Tondrumbano menuju pusat kecamatan Gomo, lalu melintasi jalan berbatu sejauh 17 kilometer lagi ke jalan lintas Nias. Setibanya di sana, mobil—yang sudah menunggu kami sejak pagi hari—pun kembali membelah jalan menuju Gunungsitoli. Satu surga lagi sudah kami rasakan di Nias…wisata penuh adventure!--nt

No comments: