Wednesday, March 21, 2007

History in Hurry


MENGAPA orang mesti menulis? Pramoedya Ananta Toer memberikan alasan tajam untuk pertanyaan itu. Begini, katanya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang…dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Apa iya?

Mungkin ya, setidaknya begitulah menurut Pram. Tetapi buat praktisi jurnalisme tentu menulis saja tidak cukup, dia juga harus meliput lalu menyiarkan hasil liputannya, apakah melalui media cetak, media elektronik atau media online. Media-media itu selalu berlomba dengan waktu untuk menyiarkan tulisan atau gambar bernilai berita. Ini membuat laporan wartawan menjadi “history in hurry” atau sejarah yang ditulis dengan terburu-buru. Pasti ada celah atau kekurangannya.

Seorang profesor asing pernah kegirangan kala meneliti media massa Indonesia yang terbit lebih 35 tahun lalu. Girang karena berhasil mendapatkan berbagai kliping berita yang ingin ditelitinya di masa itu. “Saya senang berbagai peristiwa yang menjadi sejarah terekam dalam berita suratkabar di sini,” katanya. Sampai di sini Pramoedya Ananta Toer memang benar. Namun profesor asing itu ternyata juga jengkel sebab banyak spelling tidak akurat, penggunaan kata tidak tepat, serta penulisan akronim tanpa menguraikan kepanjangannya. Apalagi ada pula akronim yang diambil dari nama suatu lembaga yang kini sudah tidak ada lagi, kontan saja dia uring-uringan karena kehilangan satu mata rantai sejarah. Maklum di negeri ini nama departemen, instansi, lembaga pemerintah dsb. sering gonta-ganti, lalu raib selamanya.

Saya mendapatkan cerita itu dari Atmakusumah Astraatmadja, tokoh pers negeri ini, semasa belajar jurnalistik di Jakarta. “Kesalahan dalam penulisan sedapat mungkin mesti dihindari, soalnya tulisan kita mungkin saja masih diperlukan orang sepuluh, duapuluh, bahkan seratus tahun lagi,” katanya. Dia ingin menegaskan bahwa tulisan adalah rekaman sejarah jadi semestinya press claar atau bersih dari berbagai kesalahan, baik kesalahan bahasa maupun penggambaran fakta, yang bisa mengaburkan alur peristiwa. “Tulisan di media pers jangan membuat orang menjadi bingung,” tegas Atmakusumah.

Saya setuju, meskipun tetap sadar bahwa “berita pers adalah sejarah yang ditulis dalam keterburu-buruan.” Konon pula jika berita itu ditulis untuk televisi, radio, media online, bahkan suratkabar harian, tentu saat menuliskannya lebih terburu-buru lagi sebab tekanan deadline terus menghimpit. Ini sering membuat artikel pers menjadi bias—kadang-kadang juga tidak akurat. Seorang peneliti media pernah menemukan ternyata “berita bias dan tidak akurat adalah sesuatu yang sering terjadi dalam media pers.” Saking seringnya, dia berbicara dengan nada pasrah campur jengkel, menjadi suatu kesalahan yang lumrah, meskipun membingungkan. Aneh, kan? Padahal tulisan yang berhasil mesti mampu memberikan gambaran akurat di kepala orang yang membaca atau mendengarkannya.

Tiga-empat tahun lalu saya pernah mendengar pujian dari Hishamuddin Aun, petinggi pers di Malaysia saat berkunjung ke kantornya di Kualalumpur. Dia bangga media pers di Indonesia cukup berani menulis dan menyiarkan dengan kritis, termasuk berita tentang berbagai peristiwa sensitif di negeri jiran itu. “Indonesia lebih bebas, jadi banyak berita bagus bisa kami kutip untuk diberitakan kembali di sini,” ungkapnya. Namun, dia mengemukakan, sering pula mengalami kesulitan menemukan makna peristiwa yang diberitakan pers Indonesia karena terlalu kerap menggunakan singkatan [baca: akronim]. Misalnya, mereka pernah menemukan akronim “Anantakupa” di headline suratkabar mainstream negeri ini. “Kami cari-cari artinya di kamus Indonesia, tak ada. Bahkan di kamus Melayu juga tidak ada,” ungkapnya. Memang, akhirnya mereka menemukan padanannya yang ternyata adalah “api nan tak kunjung padam.” Tetapi, kata Hishamuddin Aun, “payah la…kami dibuatnya.”

Media di Malaysia memang tidak sembarangan boleh membuat akronim. Ada aturannya sehingga sajian media di negeri ini lebih tertata. Indonesia? “Semua boleh disingkat, tak macam kami di sini hanya nama pertubuhan (baca:lembaga) yang boleh disingkatkan,” kata Hishamuddin Aun lagi.

Memang, melalui media berbagai peristiwa—yang kemudian menjadi sejarah—bisa cepat diterima oleh publik. Media bekerja untuk keabadian, namun sejarah yang direkamnya tidak boleh kabur. Soalnya, pencapaian pekerjaan menulis plus menyiarkan—seperti kata Pramoedya—adalah untuk mengabadikan bukan membuat orang menjadi bingung. Karena itu, produk history in hurry sekalipun semestinya tetap press claar. Kalau tidak, seringkali tulisan-tulisan itu malah mengaburkan peristiwa, bahkan menghilangkan sejarah itu sendiri.--nt

No comments: