Tuesday, March 20, 2007

Sandwich Crab

MATAHARI sudah turun dari titik kulminasi. Banyak mobil parkir di sekitar restauran dan kafe kawasan Fisherman’s Wharf. Para pengendaranya menikmati makan siang sambil memandang camar yang terbang saling menyusul di atas ombak. Sekitar satu setengah mil dari pantai tampak penjara Alcatraz Island berdiri angker di tengah laut. Kawasan pantai di pinggiran San Francisco ini memang menawarkan daya tarik makan siang yang susah dilupakan, yaitu menu laut dengan suasana yang menggairahkan.

“Sudah lapar, ya? Sabar, kita makan siang di restoran sebelah sana,” kata Christian Lentz, seorang konsultan yang meng-guide enam jurnalis dari Indonesia, termasuk saya di awal musim gugur—sekitar tiga hari pasca peristiwa 11 September yang mengguncang Amerika Serikat. Dia mengetahui lapar mulai mendera kami, plus rasa jenuh karena hampir tiga jam duduk di kabin mobil made in Korea yang dikemudikannya. Mobil terus berjalan. Kala mendekati restauran berlantai tinggi yang menjorok ke laut Lentz memutar stiur ke areal parkir, “Nah, ini tempatnya, kita makan siang di sini.” Semua pun merasa lega, lalu bergegas turun dari mobil. Angin laut menerpa wajah kami. Segar dan leluasa sekali…

“Aku mau makan siang dengan menu ini,” kata Amiruddin, teman asal Sleman, Yogyakarta, ketika kami sudah duduk di meja restauran itu. Dia menunjuk cheese sandwich with crab. Waitress mencatat lunch order-nya, begitu juga dengan pesanan dari kami--saya sendiri memesan salmon steak dengan french fries. Saat menunggu pesanan, kami membahas Alcatraz sambil menikmati panorama laut. Tanpa terasa makan siang pun datang. “Here are your lunch,” kata sang waitress, lalu berbasa-basi menanyakan kemungkinan ada pesanan lain. Tapi tak ada pesanan apapun lagi, dia pun melenggang meninggalkan meja kami.

“Lho, ini to sandwich, mana kepitingnya?” ungkap Amiruddin saat kami sedang siap-siap menyantap hidangan. Menu yang di-order-nya memang tidak menampilkan wujud kepiting bercangkang, melainkan dua lembar roti dengan keju dan adonan spesial di tengah lapisannya. Kami menoleh ke arahnya. “Eh, bukankah kamu tadi pesan sandwich…ya itu, kepitingnya sudah digiling jadi adonan didalamnya,” kata Ahmad Sahal, editor dari Jakarta. Amiruddin tercenung menatap makan siangnya, “Waduh, salah pilih aku…” Rasa geli pun menggelitik kami, tapi tak lama karena semua langsung tenggelam melahap makan siang masing-masing.

“Makanya, kalau biasa makan nasi dan gudeg jangan pesan roti,” kata Sahal lagi seusai makan siang. Amiruddin masih bersungut-sungut. Kenapa? Selain tak merasa menyantap kepiting, ternyata harga makan siangnya juga paling mahal: US$35. Hampir Rp350 ribu! Apa boleh buat, namun sekejap kemudian dia lebur dalam suasana perjalanan menyusuri Fisherman’s Wharf. Filosofi “makan tak makan, pokoknya kumpul” mengembalikan kegembiraannya dari gundah dan sesal akibat salah memilih menu makan siang. Kami lega. Apalagi Christian Lentz menghibur Amiruddin, katanya, “Lebih bagus bisa mencoba semua menu di sini supaya bisa merasakan makanan kami, soalnya kalau mau makan nasi, kan sudah biasa di Indonesia.” Iya pula, pikir saya.

Tetapi saat tiba di hotel Sahal kembali mengingatkan Amiruddin supaya lain kali meminta rekomendasi teman kala memilih menu di restauran atau café selama di negeri Paman Sam itu. “Kalau aku, suka mengikuti menu yang dipilih orang Medan ini,” kata Sahal sambil menunjuk saya. Mengapa? tanya Amiruddin. “Seleranya standar, dia tak pernah salah pilih menu.” Bah! Saya salah tingkah, merasa tersanjung sekaligus takut mengecewakan mereka kala makan siang berikutnya. “Aku memilih menu berdasarkan feeling, sekadar mau coba-coba saja,” kata saya berkilah. Tapi mereka tak mempedulikan explanation saya.

Untunglah, kekhawatiran saya tak terjadi karena mereka segera bisa menyesuaikan selera makan. Mereka mulai menggunakan feeling saat membaca daftar menu dari waitress, tidak sekadar menerjemahkan secara literal sebagaimana pernah dilakukan Amiruddin.
Alhamdulillah…sejak itu sarapan, makan siang, makan malam, hingga memilih snack saat ngopi di Starbuck tak pernah lagi ada yang menggerutu kecewa. Bahkan, pelan-pelan kami sudah bisa menyesuaikan selera dengan menu di berbagai restauran dan café di sana. Kami serasa punya filosofi baru setiap jam makan-minum tiba: “apapun menunya, pokoknya kita makan bersama.”

Buat saya sendiri filosofi itu semakin meneguhkan kebenaran pameo bahwa “orang bisa saling mengenal lebih dekat kala sedang di meja makan.” Buktinya, saat lunch di Fisherman’s Wharf itu saya baru tahu kalau Amiruddin suka makan kepiting yang masih bercangkang, bukan gilingan dagingnya meskipun sangat spesial dan mahal seperti sandwich crab.--nt

No comments: