Monday, May 28, 2007



Simpati,
Solidaritas,
Charity



HUJAN menyiram Yogyakarta. Cuaca memang sedang tidak ramah sore itu meskipun langit cukup terang. Banyak orang menepi untuk berteduh. Pedesterian di sepanjang Malioboro menjadi penuh sesak. Turis, mahasiswa, pedagang, seniman jalanan, dan pengemis bergabung di emperan pertokoan jalan ternama itu. Mereka sabar menunggu air yang dicurahkan dari langit reda.

Belakangan ini pengalaman berada di Yogyakarta muncul kembali. Kala itu saya dan beberapa orang teman menjejakkan kaki di sana setelah melakukan perjalanan dengan bus dari Malang. Kami disambut hujan di Malioboro. Tapi pertemuan dengan orang-orang Yogya—aktivis pers mahasiswa dan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, rektor Universitas Gajah Mada masa itu— justru membuat suasana menjadi hangat. Mereka menyambut seakan-akan bertemu teman lama. Yogyakarta memang selalu menebarkan kehangatan, sekalipun di tengah guyuran hujan.

Kenangan itu nyaris buyar, tapi gempa yang meluluhlantakkan daerah-daerah sekitar Yogyakarta mengembalikannya lagi. Apalagi seorang kawan berpamitan untuk berangkat ke sana. Dia ingin menjadi relawan guna meringankan beban para korban bencana tersebut. Keramahan Yogyakarta pun terbayang kembali. Kota ini memang acap membekaskan kenangan di hati orang-orang yang pernah menyinggahinya.

Ebiet G. Ade, dalam lirik satu lagunya, mengakui Yogyakarta menyimpan jejak langkah dan desah nafasnya. Dia melantunkan lagu itu lagi ketika ber-telewicara dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang disapanya ngarso dalem. “Kami,” kata Ebiet menyebutkan para artis, seniman serta semua pekerja seni disekitarnya, “prihatin dan ingin berbuat dengan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu saudara-saudara di sana.” Mereka bersimpati.

Kata orang bijak, “…even a sympathy can be a charity…” Simpati memang bisa menjadi amal yang meringankan beban ahli musibah. Dan simpati pasti semakin sempurna jika diekspresikan dengan perbuatan, termasuk “berbuat dengan apapun yang dapat dilakukan” sebagaimana dikemukakan Ebiet G. Ade. Para artis dan seniman itupun menggelar kegiatan amal. Mereka membangun simpati untuk menggalang solidaritas bagi Yogyakarta. Aneh, simpati sering membangkitkan tenaga untuk membantu sesama, bahkan kadang-kadang kita pun bisa lupa dengan keadaan sendiri.

Sejarah musibah kemanusiaan menjadi bukti. Misalnya saat tsunami menghantam Aceh, seorang relawan asal Bali terpaksa harus mengamputasi tangannya karena tercemar racun yang berasal dari mayat busuk. Lain waktu dr. Adi, seorang dokter muda di Yogyakarta, tak tahan melihat musibah itu, lalu memutuskan berangkat dengan biaya sendiri ke tengah-tengah korban bencana dahsyat di penghujung Desember dua tahun lalu. Namun kemudian dia terkatung-katung karena tidak punya ongkos untuk pulang. Atau lihat pengalaman Alfian Hamzah, seorang wartawan dari Jakarta, yang rela berjalan kaki berhari-hari untuk melaporkan keadaan di pedalaman Aceh yang meluluhlantakkan rasa kemanusiaan itu. Simpati membuat mereka tulus berkorban.

Begitu pula dengan teman yang berpamitan kepada saya untuk menjadi relawan di Yogyakarta itu. Dia bukanlah orang yang memiliki segalanya. Sebaliknya dia harus bekerja “berdarah-darah” untuk menyelesaikan kuliah dan menghidupi diri dan keluarganya. Namun dia memiliki simpati yang menjadi kekuatan yang mendorong-dorongnya segera berangkat ke Yogyakarta, bukan untuk menikmati keramahan—sebagaimana Yogyakarta di saat normal— melainkan demi menghapus duka dan melipur lara. Saya terkesima menerima salam pamitnya. Ada keharuan sekaligus perasaan bangga.

Selang sepekan, saya membaca berita di email: “Seorang relawan tewas saat evakuasi korban gempa.” Saya terperanjat. Siapa gerangan relawan itu? Mengapa simpati harus dibayar begitu mahal? Saya terus menduga-duga. Tapi tak lama. Saya lega, ternyata teman yang menjadi relawan itu masih sehat walafiat. Begitupun tetap saja peristiwa itu membangkitkan simpati, bahkan lebih besar lagi. Saya simpati terhadap para korban gempa sekaligus relawan-relawan di sana. Mereka tulus bersolidaritas bagi Yogya dan daerah sekitarnya. Teman saya dan para relawan itu sanggup melupakan ego masing-masing. Mereka tak surut walaupun menolong orang lain ternyata juga bisa membawa petaka bagi diri sendiri.

Homo homini socius, manusia adalah sahabat sesamanya. Musibah kemanusiaan seringkali membangkitkan rasa persahabatan itu kembali. Artis, pengusaha, seniman, relawan dan orang-orang lain yang bersolidaritas adalah sahabat-sahabat yang melipur lara, menghapus duka, dan mengajak orang-orang yang berbelasungkawa untuk merenda hari esok mulai hari ini. Solidaritas mereka akan membangunkan kembali Yogyakarta—seperti dulu— supaya di saat hujan pun tetap terasa keramahan dan kehangatannya.--nt

Friday, May 25, 2007



Legalisasi Hak Publik
& Kebebasan Informasi
Oleh Nurhalim Tanjung


MASYARAKAT sipil di negeri ini bakal semakin kuat jika Rencana Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik bisa menjadi undang-undang. Ini adalah perangkat hukum yang sudah lama ditunggu-tunggu karena memberi ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengawasi penyelenggaraan negara.

Selama 60 tahun merdeka, publik di negara ini hampir tak mempunyai legalisasi hukum untuk mendapatkan informasi yang menjadi hak mereka. Berbagai informasi tentang penyelenggaraan negara dominan mereka terima dari saluran formal karena ‘kebaikan hati’ pemerintah, bukan karena keinginan pemerintah melaksanakan kewajibannya memenuhi hak masyarakat sebagaimana pokok pemikiran RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Media massa yang menjadi harapan utama sebagai sumber informasi juga tak maksimal melakukan tugas pengawasan akibat aneka hambatan hukum dan penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah, terutama di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Masa reformasi kebekuan itu mulai mencair, kebutuhan akan jaminan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara mewacana sejak masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Wacana ini semakin menguat di masa Megawati Soekarnoputri menjadi kepala negara, dan mudah-mudahan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini publik benar-benar bisa mendapatkan jaminan hukum untuk mendapatkan hak tersebut. Apalagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) sudah menyetujui RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik itu, dan siap pula untuk membahasnya dengan pemerintah supaya menjadi undang-undang [dalam tahun 2007 ini].

Hak setiap orang
Dalam sistem demokrasi setiap orang mempunyai hak untuk mencari, mendapatkan dan memberikan informasi, serta berhak pula menyatakan opini atau pendapatnya. Selama ini wartawan dan media massa yang melaksanakannya untuk melakukan pekerjaan mereka guna memenuhi hak publik untuk tahu sebagai inti dari kebebasan pers. Tetapi mereka sangat mudah terkena hambatan penguasa dengan berbagai intervensi dan ancaman, mulai dari sensor, tuntutan hukum yang membangkrutkan perusahaan pers hingga pembreidelan.

Ancaman-ancaman seperti itu senantiasa tak kuasa dihadapi media massa, apalagi di negara-negara yang belum sepenuhnya menganut sistem pemerintahan demokrasi. Pemerintahan dengan sistem ini biasanya juga memiliki kecenderungan untuk menahan informasi dengan alasan “rahasia negara”, “kepentingan umum”, “keselamatan nasional”, atau “kepentingan keamanan nasional.” Padahal tidak jarang alasan-alasan tersebut dipakai untuk menutup inefisiensi, korupsi, penyimpangan hukum atau kelemahan lainnya di tubuh pemerintah.

Beberapa presiden Amerika Serikat saja, negara kampiun demokrasi di dunia, masih menggunakan berbagai alasan itu untuk menutupi kelemahan dan kebusukan pemerintahannya. Misalnya, kasus Pentagon Papers yang mengungkapkan ketidakjujuran dan kecurangan pemerintah AS yang menutup-nutupi informasi tentang Perang Vietnam. Sekalipun rakyat negara adidaya ini memiliki hak kebebasan memperoleh informasi yang dijamin undang-undang, namun pemerintahnya melakukan manipulasi dengan membuat dokumen ganda tentang perang itu. Dokumen pertama yang berisi informasi sesungguhnya khusus untuk presiden, sedangkan satunya lagi untuk rakyat namun informasinya sudah penuh rekayasa.

Saat ada usaha untuk meminta kejujuran pemerintah mengungkapkan peristiwa sesungguhnya, tentu saja tidak mudah karena dokumen asli itu sudah masuk kategori “sangat rahasia” (classified top secret). Tapi untung masih ada “orang dalam” mau bekerjasama membocorkannya. Informasi dari dokumen ini kemudian membuka mata publik lewat kolom suratkabar Washington Post dan New York Times, dan terkenal sebagai skandal Pentagon Papers karena dokumen itu dicuri dari gedung pertahanan simbol mesin perang AS: Pentagon.

Pemerintah AS tentu saja berang. Presiden Richard Nixon, yang berkuasa saat itu, mengeluarkan surat perintah pengadilan untuk menghentikan publikasinya, namun New York Times dan Washington Post melawan. Manajemen kedua suratkabar ini membawa kasus pelarangan itu ke Mahkamah Agung. Hasilnya?

Mahkamah Agung dapat menerima pertimbangan kedua suratkabar bahwa publikasi dokumen Pentagon Papers tidak membahayakan pasukan AS sebab merupakan catatan sejarah, karena itu rakyat sebagai pembayar pajak yang membiayai perang berhak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Pemerintah AS kalah, Mahkamah Agung tak bisa menerima alasan bahwa pengungkapan dokumen itu bisa membahayakan posisi pasukan mereka di Vietnam.

Akhirnya siapapun tahu Perang Vietnam telah menewaskan 58.148 prajurit AS serta lebih dua juta warga Vietnam, walaupun semua menyesali informasi itu terlambat diketahui orang banyak. Apabila publik mengetahuinya lebih awal tentu korban tak akan sebanyak itu karena mereka akan mengawasinya, bahkan menolak jika tahu pajak yang mereka bayar digunakan untuk membiayai perang tersebut.

Celah hukum
Setiap hukum atau produk perundang-undangan umumnya mempunyai celah untuk dimanfaatkan pemerintah atau kelompok tertentu demi menyelamatkan kepentingannya, sebagaimana skandal Pentagon Papers, tak terkecuali RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Indonesia jika nanti menjadi undang-undang. Apalagi kalau kemudian pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang tentang Rahasia Negara, seperti dilakukan berbagai negara di dunia, maka perlu ada penegasan bahwa “kepentingan umum” merupakan kriteria penting yang harus dijaga dan dilindungi bersama sebagai jaminan bagi hak-hak publik.

Beberapa negara demokrasi di dalam undang-undangnya juga sudah menentukan suatu informasi tak boleh diungkapkan karena alasan “kepentingan umum” atau “kepentingan nasional” dengan beberapa syarat, antara lain untuk menjaga keamanan nasional. Begitupun sesuatu informasi yang tak boleh diungkapkan karena alasan-alasan itu harus langsung disampaikan oleh pejabat tinggi negara beserta pertimbangannya. Amerika Serikat misalnya, menetapkan jenderal berbintang empat sebagai juru bicara yang dapat menyampaikan bahwa suatu informasi tak boleh diungkapkan karena pertimbangan “kepentingan keamanan nasional.”
Tetapi, bukan berarti masyarakat tak dapat mempersoalkannya apabila tak puas atau tak bisa menerima pernyataan pejabat negara yang menutup akses mereka terhadap informasi tersebut. Prof. Davis dari Freedom of Information, lembaga yang melestarikan dan mengawasi kebebasan informasi di AS, mengemukakan masyarakat bisa saja menggugat ke pengadilan untuk menguji pernyataan itu secara hukum. Maka pengadilan lah yang kemudian memutuskan apakah informasi itu “tertutup” untuk umum atau sama sekali tak boleh “ditutup.”

Seandainya informasi itu memang harus “tertutup”, toh tetap ada expired atau masa kadaluwarsanya, biasanya 25 tahun, kata Davis. Artinya setelah masa 25 tahun informasi itu sudah boleh diungkapkan kepada publik. Saya bertemu Prof. Davis di Missouri empat tahun lalu saat berkunjung ke AS bersama beberapa wartawan Indonesia lainnya. Di negara ini ada beberapa lembaga independen semacam LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang mengawasi dan membela hak kebebasan informasi bagi publik, seperti Freedom of Information di Missouri atau First Amandement Project di San Fransisco.

Lembaga-lembaga itu [bersama media massa] memperkuat masyarakat sipil untuk memperoleh haknya sekaligus memperkecil niat penguasa memanfaatkan celah hukum untuk memanipulasi hak tersebut. Di Indonesia pola serupa sudah tampak pula karena demokrasi di negeri ini terus membentuk, terbukti dengan kemunculan berbagai infrastrukturnya seperti RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang tentu akan diikuti perangkat formal dan informal semacam LSM serta media-massa yang kritis, berani dan tajam.

Namun, yang terpenting bukanlah gesekan antara penguasa dan berbagai perangkat masyarakat sipil itu, melainkan adanya kesadaran tanggungjawab untuk memenuhi hak publik terhadap informasi tentang penyelenggaraan negara. Hak ini seharusnya dilengkapi rasa tanggungjawab dari pemberi informasi, seperti juru bicara pemerintah, untuk memberikan kebenaran kepada publik, bukan memanipulasi atau menyelewengkannya karena ongkos untuk meluruskannya kembali pasti terlalu mahal, sebagaimana pengalaman Paman Sam saat skandal Pentagon Papers mengemuka ke publik.

Selamat datang RUU baru, semoga bisa menjadi UU yang menjamin akses publik terhadap informasi yang menjadi hak mereka.***

Tuesday, May 22, 2007


No Free Press,
No Democracy

Don't walk behind me,
I may not lead
Don't walk in front of me,
I may not follow
Just walk beside me and be my friend




EGALITER, simpul saya merespon kalimat Albert Camus itu. Seandainya semua orang berpikir
demikian tentu dunia tampak lebih berwarna. Boleh jadi yang di depan tidak terus berlari kencang dan meninggikan diri, sedangkan yang di belakang pun tak sungkan mengiringinya. Ini akan membuat pemimpin tidak menjadi abai apalagi lupa diri. Saling mengiringi pasti indah, malah dapat membuat orang menjadi saling mengerti, bukan sebaliknya—saling menjauh.

No free press, no democracy, tulis para awak media di Bangkok, Thailand. Mereka menggoreskan kalimat penuh makna itu di atas spanduk yang diusung sepanjang jalan. Aksi ini merupakan bentuk protes kepada konglomerasi yang ingin membeli Bangkok Post dan satu koran lainnya. Koran berpengaruh ini dikenal kritis, apalagi terhadap pemerintah. Saat itu Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengelola negeri Gajah Putih dengan gaya “tak ingin didikte”—seolah-olah dia bisa memimpin tanpa sedikitpun cela. Thaksin kerap uring-uringan dibuat Bangkok Post, karena itu berniat mengbungkamnya dengan menggunakan tangan konglomerasi yang berada di bawah kendali kelompok usaha sahabat karibnya. Namun para awak media menolak, mereka tak sudi mengekor Thaksin dari belakang melainkan tetap ingin dalam poisisi di sampingnya.

Thaksin cuma segelintir contoh. Selain dia, tidak sedikit figur lain yang alergi dikte di berbagai negeri. Bahkan di negara demokrasi semacam Indonesia lumayan banyak orang gamang menerima dikte yang kritis.

“Wartawan itu ibarat tsunami,” kata seorang awak media di Perbaungan, Serdang Bedagai, dalam suatu pertemuan dengan saya. Kok begitu? Dia menceritakan pengalamannya saat berniat melakukan konfirmasi berita kepada pejabat. “Kita masuk dari pintu depan, pejabat itu keluar dari pintu belakang.” Mereka, menurutnya, masih alergi terhadap wartawan. Maunya pemberitaan media cuma untuk ‘mengangkat-angkat’ saja, tetapi ketika ada isu kritis yang hendak dikonfirmasikan mereka tak mau bertemu. Para pejabat itu menganggap pemberitaan yang mengkritik hanya akan memukul posisi mereka. “Itulah makanya pejabat di sini menganggap wartawan seperti tsunami, karena dapat ‘menghancurkan’ kedudukannya.”

Ah, saya teringat Samsudin Harahap, seorang wartawan di Pematangsiantar. Dia pernah ingin menelusuri kebenaran berita yang diperolehnya, lalu menunggu waktu konfirmasi dengan tekun. Tapi niat itu malah dibalas dengan memenjarakannya. Aneh—mungkin berita yang diperolehnya dianggap bakal mengusik status-quo.

Saya tercenung. Memang tidak jarang orang meletakkan media dalam posisi adversary. Sidney Jones, aktivis hak asasi manusia, pernah mengingatkan saya tentang itu. Waktu itu—ketika bertemu dengannya—saya tertarik dengan informasi dan pendapatnya mengenai penegakan hak asasi manusia serta demokrasi di Indonesia. Sidney mengungkapkan sikap Indonesia yang “setengah hati” dengan berani dan—sebagaimana biasa—kritis. Dia pun menunjuk contoh beberapa kasus di Nanggroe Aceh Darussalam. “I get the scoop,” teriak saya dalam hati kala itu.

Namun setelah pendapatnya keluar menjadi konsumsi publik, Sidney menegur saya. Mengapa? Sebenarnya, “tak mengapa,” kata Sidney via email, “tetapi lain kali mesti berhati-hati.” Saya berpikir lama mencerna nasehatnya. Ooh…saya maklum kemudian. Sidney tak ingin media dan sikap kritis yang diekspresikannya disangka sebagai bentuk adversary oleh penguasa, apalagi sekitar enam tahun lalu demokrasi terhitung masih prematur di negeri ini.

Sungguh, memang tak mudah meminta orang mempersilakan kita berjalan beriringan di sampingnya. Banyak orang tak siap melihat bayangan hitam dirinya sendiri. Bagi saya sendiri, aktivis semacam Sidney, komunitas media di Bangkok, Perbaungan, Pematangsiantar—atau dimana saja pun—sebenarnya adalah sisi-sisi yang ingin berjalan sambil saling mengingatkan dengan figur-figur yang terlanjur menganggap diri berada di posisi depan dan tinggi. Sayangnya figur-figur itu seringkali tidak sependapat dengan Albert Camus. Mereka bersikukuh untuk berjalan sendiri. Mereka bukan main pede, padahal kadang juga bukan main paranoid.

Syukurlah sosok-sosok yang sependapat dengan Camus juga tidak sedikit. Komunitas ini terus mengemuka. Mereka tahu untuk itu pasti ada konsekuensi atau risiko yang mungkin datang, tapi mereka tak surut: Let’s walk beside you and be your friend, not just your adversary.--nt

Monday, May 21, 2007

Take it For Granted



PERGILAH ke luar Tata Surya. Untuk apa? Bumi cuma satu, kata Stephen Hawking, ahli kosmologi dunia, jadi kita mesti menemukan planet lain untuk hidup. Bumi, menurutnya, sudah semakin berat mendukung kehidupan, maka manusia harus mempersiapkan diri untuk koloni antariksa. Bah...!

Dulu, ketika masih mahasiswa, saya memang merasakan bumi sudah semakin runyam, sebagaimana sinyal deklarasi One Earth di Stockholm sejak jauh-jauh hari lalu. Kawan-kawan dari non-government organization (NGO) sering menggelar diskusi maupun aksi bertema bumi dan lingkungan. Berbagai luka bola dunia ini terungkap, tentu saja plus cara mengobat dan merawatnya. Saya suka nimbrung dengan mereka. Tapi itu belum seberapa, soalnya ketika mulai menjadi reporter saya memiliki akses yang semakin terbuka dengan kondisi bumi. Saya rajin mengikuti diskusi, lalu melakukan observasi ke sungai, danau, laut, hutan, dan gunung untuk keperluan reporting. Ada rasa miris mendapati alam sedang dalam proses rusak, padahal siapapun pasti senang berada di tengah-tengahnya.

“Take it for granted,” kata seorang pakar dalam lokakarya lingkungan di Desa Mukomuko yang terletak di bibir Danau Maninjau, Sumatera Barat. Saya ada di sana bersama puluhan wartawan se-Sumatera. Quotation pakar itu menyindir para pembalak alam yang terus menggerogoti bumi seakan-akan apa yang mereka ambil pasti bakal tergantikan dengan sendirinya. Tidak pernah ada mekanisme tebang pilih, yang ada hanyalah gaya mengeksploitasi alam secara terus-menerus. Akibatnya, curah hujan terus berkurang, suhu bertambah panas, dan permukaan air di berbagai sungai dan danau terus menyusut. Permukaan air Danau Maninjau ketika itu pun tak mampu mengalirkan air ke sungai-sungai di hilirnya. Hanya batu-batu besar dan kerikil yang tersisa di dasar sungai-sungai di sana. Bagaimana dengan Danau Toba? Tidak jauh beda, sebab kondisi Danau Maninjau adalah cermin yang bagus untuk melihat persoalan danau-danau lain di berbagai tempat di muka bumi pertiwi saat itu. Buktinya—selain tak dapat mengairi sungai—Danau Maninjau dan Danau Toba pun sama-sama tak mampu mensuplai tenaga air untuk menggerakkan turbin penghasil listrik pada proyek-proyek skala besar di sekitarnya.

Fenomena itu memang terjadi beberapa tahun lalu, tapi hari-hari belakangan ini alam pun kembali mendera penghuni bumi dengan gejala yang tidak biasa. Misalnya, seisi kota tiba-tiba merasa gerah dan dahaga selama berhari-hari. “Lihatlah suhu sudah mencapai 41 derajat celcius,” kata Putra di Medan sambil melongok alat pencatat suhu yang terpasang tinggi di atas jalanan kota. “Ohh…pantas lah!” ungkapnya kemudian. Keesokan harinya foto yang merekam tingkat suhu udara itu terpampang di koran-koran. Banyak orang kaget, memang tidak sedikit pula yang meragukan akurasi alat tersebut. Tetapi setidaknya itu pertanda bahwa bumi memang sudah mulai penat. Saya membayangkan—melalui mitologi klasik Yunani Kuno—mungkin Atlas, sang titan yang perkasa, saat ini dalam posisi semakin terbungkuk rendah karena bola dunia yang dipanggulnya sudah memberat. Apabila lebih rendah lagi, bisa-bisa bumi menggelinding, melayang-layang di tata surya tanpa keseimbangan. Kalau ya, bukan tak mungkin bumi bakal sering terguncang, lalu gempa dan tsunami akan terus mendera kita.

Maka tak salah jika Stephen Hawking menganjurkan untuk melakukan koloni antariksa. Atlas mungkin memang mulai tak sanggup memanggul bola bumi yang semakin berat mendukung kehidupan di dalamnya. Selain Hawking, sesungguhnya film-film fiksi ilmiah—seperti Star Troopers, Red Planet, Star Wars hingga Ridick—secara berani sudah pula menggambarkan penjelajahan ke planet-planet di luar tata surya. Boleh jadi Einstein masa kini itu terinspirasi oleh film-film tersebut—iya atau tidak pun, tetap saja anjurannya merupakan alternatif untuk meringankan beban bumi yang semakin berat. Kelak, saat koloni antariksa itu memang mesti dilakukan, mungkin banyak orang segera menyesali prilaku take it for granted yang terlanjur mereka praktekkan.

Soalnya, bagaimanapun, bumi terlalu indah untuk ditinggalkan. Bumi adalah rumah bersama yang menyenangkan. Pasti banyak orang tak sanggup meninggalkannya untuk pindah ke planet lain. Kalau itu tetap terjadi semua penghuninya pasti menyesal karena tak mampu memberi apresiasi kepada bola dunia yang hijau kebiru-biruan ini. Sayangnya—seperti kata pameo—penyesalan seringkali mampir cuma untuk melipur lara, bukan untuk memutar waktu supaya orang tak melakukan kesalahan yang telah dibuat.—nt