Thursday, July 19, 2007




The Hartford Courant




TRAGEDI adalah komedi sejati. Saya setuju dengan kalimat yang pernah diulang oleh Mahbub Djunaidi, seorang pengarang bergaya jenaka, ini. Pasalnya, seorang pebisnis—yang biasa necis—tampak terperangah lugu dengan penampilannya sendiri hari itu. Debu tebal menyelimuti dirinya. Rambut yang bersibak rapi menjadi awut-awutan, wajahnya seperti mengenakan topeng, dan kemeja putihnya pun centang-prenang dengan warna yang berubah menjadi abu-abu kotor. Begitu pula tas yang dijinjing serta jas ditentengannya: tampak seperti sudah lama tidak dibersihkan dari lumpur debu…

Gerr…saya geli mengamati foto itu. Derai senyum juga pecah dari bibir beberapa orang teman yang ikut menyimak fenomena kontras di dalam buku The Best of Newspaper Design—yang khusus menampilkan desain terbaik suratkabar berbagai negara—tersebut. Halaman bisnis The Hartford Courant membuat buku keluaran Society for News Design itu terasa segar. Koran ini berhasil menampilkan angle yang unik dalam desain halamannya, padahal peristiwa yang disiarkan adalah tragedi mengharukan dunia, yaitu serangan 11 September 2001 di New York. Foto pebisnis dalam keadaan linglung— setelah lolos dari tragedi tersebut—terpampang vertikal hampir memenuhi halaman suratkabar.

Yang lebih menggelitik, wajah lusuh si pebisnis persis menoleh ke arah setiap orang yang memperhatikannya. Disampingnya ada berita satu kolom yang memanjang hingga ke dasar halaman. Suratkabar itu cukup jeli menerapkan editorial design. Desainnya seolah-olah langsung bercerita kepada para pembacanya. Peristiwa tragedi pun jadi terasa menggelikan di koran ini.

Sudah nonton Ocean’s Eleven? Film ini juga menyuguhkan tragedi, yaitu ketika Rusty harus memecat Ocean, padahal dia-lah yang menghimpun mereka dalam satu gang selama ini. Apa boleh buat, soalnya Ocean tidak konsisten dengan niat mereka untuk merampok kasino milik Willy Bank. Target sesungguhnya ternyata bukanlah uang, melainkan balas dendam terhadap Bank sebab telah mengambil Tess dari pelukan Ocean. Semua sedih mesti menghukumnya.

Namun siapa sangka jika tragedi itu sengaja dirancang. Buktinya sewaktu perampokan berlangsung justru Ocean muncul menyelamatkan rekan-rekannya yang kebingungan terperangkap di dalam lift. Ocean yang semula telah tertangkap oleh Willy Bank bersekongkol dengan tukang pukul suruhannya supaya tetap berpura-pura memukuli dirinya di dalam ruangan tertutup—mumpung tak terlihat, jadi yang terdengar cuma suara bak…buk…bak!—sementara dia keluar lewat lobang angin untuk melakukan aksi perampokan setelah menyelamatkan rekan-rekannya. Bank tentu saja tertipu, tapi penonton tertawa.

Selain Bank, ulah Rusty dan Ocean juga membuat teman-teman mereka tertipu. Namun mereka bukan main gembira sesudah itu. Rupanya dulu Rusty dan Ocean cuma bersandiwara. Penonton juga senyum sumringah mendapat selipan komedi di film itu.

Komedi juga muncul dalam film nasional, semacam Naga Bonar. Film ini sebenarnya merupakan tragedi di masa perjuangan, yang kala itu sangat membutuhkan anak bangsa untuk tampil sebagai pejuang membela ibu pertiwi. Eh, bisa-bisanya yang terpanggil berjuang adalah seorang pencopet, bukan orang mapan yang sesungguhnya tidak kurang jumlahnya ketika itu. Anehnya Naga Bonar, pencopet yang menjadi pejuang tersebut, kemudian menjadi jenderal pula. Film ini benar-benar didesain sebagai tontonan komedi. Para penonton dibuat tergelak-gelak dari scene ke scene sehingga nyaris lupa kalau film itu sesungguhnya menceritakan tragedi di masa perjuangan dulu.

Tragedi memang jadi menarik jika dikemas dari sisi komedi. Semua orang bisa mencernanya, apalagi jika alurnya tetap logis, sebagaimana cerita di dalam film Ocean Eleven dan Naga Bonar. Sutradara berhasil menjaga mood penonton untuk menikmati film tersebut hingga akhir cerita.

Demikian pula tragedi 11 September 2001 yang disajikan oleh The Hartford Courant. Desainer berhasil mengkombinasikan foto dan berita teks sehingga memudahkan pembaca mencerna peristiwa—apalagi ada unsur komedi menyelimuti peristiwa tragedi itu. Saya ingat Tatang R. Bouqiue, seorang desainer grafis di Jakarta. Dia pernah mengajarkan editorial design di kelas yang saya ikuti, katanya, desain akan membantu orang mencerna peristiwa jika mampu mengaplikasikan hukum perspektif mata dengan keunikan berita supaya tetap terlihat logis, khususnya di suratkabar. Soalnya, media berita melaporkan fakta, bukan fiksi, tetapi mesti fleksibel supaya orang terbantu mencerna, bahkan sebisa mungkin dapat menikmatinya. Maka untuk menghidangkannya editor dan desainer boleh saja meramu materi—dari peristiwa tragedi yang haru-biru sekalipun—dengan gaya komedi, sebagaimana sajian The Hartford Courant tadi.

So, tidak salah ucapan Mahbub Djunaidi lagi: cara kita menyampaikan bisa membuat tragedi tidak mesti selalu ditangisi, sesekali boleh juga bikin geli.--nt


Wednesday, July 18, 2007

Heran...Metropolitan Kok, Gelap
Oleh Nurhalim Tanjung




INI kado istimewa buat ulang tahun Kota Medan: musim gelap datang lagi. Pasalnya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) kembali memberlakukan pemadaman bergilir—kondisi ini sudah berlangsung sejak lebih tiga tahun terakhir. “Target pertumbuhan ekonomi kota ini pasti terganggu,” kata seorang pengusaha. Sialnya, karena Medan merupakan pusat perekonomian Sumatera Utara maka otomatis target pertumbuhan ekonomi provinsi ini—yang ditetapkan sebesar 7 persen tahun ini—pun diyakini tidak akan tercapai. “Saya tidak yakin pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen kalau listrik terus-menerus padam,” kata Drs. Hasrul Azwar, seorang anggota legislatif di Senayan yang berasal dari Medan.

PLN memang sedang “kambuh” memadamkan listrik sejak satu bulan terakhir. Mereka sudah memberitahukan melalui release berita di berbagai media massa. Pemadaman berlangsung sejak Juni hingga awal Agustus mendatang, dimana akan dilakuan secara bergilir selama 4 jam sehari—sesekali delapan jam di kawasan tertentu. Alasannya mesin pembangkit over-haul, jadi selama perbaikan berlangsung mereka ingin membangkitkan “maaf” dari masyarakat kota ini.

Tapi rupanya PLN tidak konsisten. Pemadaman ternyata mencapai 12 jam sehari, bahkan kadangkala lebih lama lagi. Eh, untuk ini PLN merasa tidak perlu mengumumkannya. Masyarakat pun jadi tidak mengetahui jadwal pemadaman sama sekali, sebaliknya di pihak PLN ada kecenderungan untuk memadamkan listrik sesuka-hati tanpa perlu meminta maaf lagi.

Akibatnya tentu sudah bisa diperkirakan: Medan menjadi gelap di kala malam, sedangkan siang hari kemacetan lalulintas semakin menjadi-jadi di tengah kota karena banyak traffic light tidak berfungsi. Yang memprihatinkan roda perekonomian jadi susah bergerak, baik yang dikelola pengusaha kecil maupun pengusaha besar. Parlindungan Purba, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, mengemukakan para pengusaha dalam asosiasinya mengalami rugi hingga Rp180 miliar per bulan sejak pemadaman berlangsung.

Purba mengatakan kerugian yang lebih besar masih mungkin terjadi apabila pemadaman semakin berlarut-larut, apalagi kalau para pengusaha menghentikan operasi industrinya di daerah ini akibat kurangnya suplai listrik. Jika ini terjadi tentu angka pengangguran meningkat, pendapatan pajak dari sektor industri menurun, dan efek selanjutnya investor bakal sungkan berinvestasi di Medan.

Dunia pariwisata juga mandeg, kata seorang pengusaha, karena turis sungkan datang. “Ada rombongan turis yang berjanji mau berwisata kemari terpaksa membatalkan kunjungannya,” katanya. Mereka kuatir gelap mengganggu wisata yang mereka rencanakan di kota ini, tapi mereka juga sempat terheran-heran kenapa kota metropolitan seperti Medan mengalami pemadaman listrik, padahal di Penang maupun Dhaka (Bangladesh) saja tak terjadi pemadaman listrik. Pengusaha ini mengemukakan para turis tersebut mengetahui pemadaman listrik terjadi di Medan melalui berbagai saluran media massa. Kalau terus-menerus turis batal berkunjung, menurutnya, tentu memberi dampak juga kepada sektor ekonomi yang lain, seperti hotel, biro perjalanan, toko souvenir maupun rumah makan.

“Perekonomian Kota Medan sudah pasti terganggu,” kata Vincent Widjaja, seorang pengusaha. Dia setuju dengan perkiraan Hasrul Azwar, demikian pula dampak pemadaman listrik terhadap investor sebagaimana dikemukakan oleh Parlindungan Purba.”Banyak perusahaan terganggu beroperasi, begitupula usaha kecil yang cukup banyak jumlahnya di kota ini,” ungkapnya.

Dia mengemukakan Pemerintah Kotamadya Medan perlu segera mencari solusi untuk mengatasi dampak pemadaman listrik terhadap dunia usaha, khususnya usaha kecil. Caranya, kata Vincent, dengan mengalihkan dana Pajak Penerangan Jalan Umum yang dibayar oleh warga kota ini sekaligus dengan rekening listrik pada setiap bulannya. “Kalau dana itu pajak maka sewajarnyalah masyarakat mendapat pelayanan yang maksimal,” jelasnya, “tetapi bila retribusi tentu kita perlu mempertanyakan mana re-distribusinya kepada masyarakat?”

Dana PPJU dari Kota Medan mencapai Rp100 miliar setiap tahun, yang dibagikan ke berbagai institusi termasuk PLN. “Dana itu tak perlu dibagikan lagi kepada PLN, tapi sebaiknya digunakan untuk membeli mensit genset bagi usaha kecil dan masyarakat kota ini,” katanya.

Menurutnya, dengan dana sebesar Rp100 miliar tentu Pemerintah Kota Medan dapat membeli lebih 50 ribu unit mesin genset berkapasitas 1000 watt. Itu kalau mesin genset seharga Rp2 juta per unit, tetapi jika harganya ternyata cuma Rp1 juta per unit maka dapat dibeli sekitar 100 ribu unit genset. “Bayangkan berapa banyak usaha kecil dan masyarakat bisa terbantu dengan dana itu,” jelas Vincent.

Selain itu, dia menambahkan, yang terpenting perekonomian Kota Medan bisa bergerak kembali karena para pengusaha kecil terbantu mengoperasikan usahanya kembali. Tetapi kalau pemerintah Kota Medan ternyata “cukup puas” dengan kado istimewa berupa “gelap” dari PLN mungkin perekonomian kelak bukan hanya terganggu, melainkan terjerumus ke dalam kantong defisit akibat minimnya sektor penerimaan. Metropolitan ini akan menjadi kota yang dijauhi oleh pengusaha atau investor karena tak mampu memberi energi dan penerangan untuk menghidupi dirinya sendiri, bahkan di saat hari ulang tahunnya yang ke 417 pada 1 Juli 2007 lalu.

Heran, heran...metropolitan kok, gelap!

Wednesday, July 4, 2007


Inner Culture


“GILA, aku nggak jadi pinjam mobil deh,” kata tante saya dengan nada tinggi, “masa’ lampu merah diterobos saja di sini, syukur cuma macet. Bagaimana kalau sampai tabrakan? Pasti beruntun…” Saya senyum mesem saja sambil terus menyimak ekspresi adik ibu saya itu, yang baru sehari tiba di Medan bersama putri sulungnya dari Jakarta.

Sepekan sebelum tiba di Medan ia sudah menelepon untuk meminjam mobil saya selama berada di kota ini. Saya menyanggupinya. Tapi baru beberapa jam setelah menginjakkan kaki di Bandara Polonia, tanpa menunggu tante mengajak putrinya dan seorang saudara perempuan saya jalan-jalan dengan taksi ke plaza. Lalu mereka mampir ke restoran fast food di plaza simpang Masjid Raya itu. Saat makan ia mengamati persimpangan jalan di depan restoran melalui dinding kaca. Kendaraan berseliweran di sana. Semenit kemudian ia kaget, malah shock melihat berbagai kendaraan dari arah berlawanan saling berusaha memotong jalan. Tante saya berteriak memprotes pemandangan itu sambil menunjuk-nunjuk ke jalanan sehingga putrinya dan sebagian pengunjung restoran ikut melirik keluar. Traffic light yang masih berfungsi baik tak digubris ada di situ. Setiap pengendara berusaha memotong dan mendahului pengendara lain, padahal arah mereka saling berlawanan. “Ngeri aku bawa mobil di sini…nggak disiplin, main terobos aja!” ulang tante saya sekira awal tahun lalu.

Sekarang, sejak beberapa bulan terakhir, berbagai persimpangan jalan di Medan tak cukup hanya dijaga traffic light tapi sudah dilapis dengan polisi dan petugas dari Dinas Perhubungan. Otomatis aksi terobos lampu merah mulai jarang kelihatan karena ada yang mengawasi. Namun di beberapa lokasi dan jam-jam tertentu tetap saja ada pengendara yang bandel, mereka memanfaatkan kelengahan petugas untuk tancap gas menerobos lampu merah.

Aneh. Perasaan ini juga dialami seorang pengusaha. Dia sudah acap berkunjung ke berbagai negara di dunia. Pengalamannya saat berjalan kaki di kota-kota negara asing itu setiap menginjak aspal untuk menyeberangi jalan maka semua kendaraan sejak dari jarak yang jauh sudah mengurangi kecepatan, lalu berhenti, memberikan kesempatan melintas kepada para pejalan kaki. “Tak usah jauh-jauh, di Penang [Malaysia] pun para pejalan kaki tetap dihormati para pengemudi kendaraan ketika ingin menyeberang jalan,” ungkapnya. Sebaliknya di Medan setiap pejalan kaki bersiap-siap mau menyeberangi jalan maka para pengendara—apakah sepedamotor, becak maupun mobil—malah tancap gas menambah kecepatan, tak peduli ada zebra cross di depannya. Mereka tak mau terhambat para pejalan kaki. Kota ini memang aneh.

Ada orang yang meyakini bahwa “prilaku di jalan raya cermin budaya kota tersebut.” Apa betul? Saya tak percaya. Disiplin, prilaku saling menghargai dan menghormati orang lain adalah budaya universal. Semua orang, apakah dia warga kota ini atau kota-kota lain di Indonesia maupun negara-negara di dunia, sangat mendambakan kedisiplinan. Mereka sangat menghargai prilaku tersebut. Soalnya secara hakekat disiplin merupakan cermin kualitas moral dan mental. Disiplin juga wujud pengakuan terhadap hak dan keinginan orang lain, karena itu dapat mendorong siapa pun untuk mau ikut memikul tanggungjawab sosial.

Sayang budaya disiplin itu sempat tergerus dari kota ini. Tapi percaya lah itu tak lama. Kini semua orang mendambakannya kembali. Kalau saatnya tiba maka tante saya tak perlu lagi membatalkan rencana meminjam mobil jika berkunjung ke Medan. Ia aman berkeliling kota, tak perlu kuatir terhadap penerobos lampu merah. Saya yakin ia pun dengan senang hati akan menghormati para pejalan kaki, apalagi jika mereka sedang bersiap-siap hendak menyeberang jalan. Tante saya pasti menghentikan mobil hingga para pejalan kaki itu sampai di trotoar seberang jalan.

Saya merindukan saat itu. Bila waktunya tiba saya akan menelepon ke Jakarta. Saya akan bilang, “…datanglah ke Medan, disiplin lalulintasnya sudah oke. Tak ada lagi penerobos lampu merah, semua pengemudi mobil sudah mengenakan seat belt dan pejalan kaki aman melintasi badan jalan.”

Mungkin bukan hanya saya, melainkan semua warga di sini juga akan mengabari siapa pun orang-orang yang ingin bertamu ke kota ini dengan pesan senada. Kapan? Ya, ketika disiplin benar-benar sudah menjadi inner-culture, budaya yang lekat mentradisi di kota ini.—nt

Monday, July 2, 2007


Metropolitan,
Kota Dunia



SEORANG teman mem-posting email. Dia menganjurkan untuk membaca weblog-nya. Saya mengikutinya, di situ ada tulisan S. Prawiro yang bekerja di Singapura menceritakan pengalamannya menumpang taksi dari Science Park menuju Starling Road. Sopir melintasi rute yang tidak biasa, bahkan masuk ke jalan one-way sehingga terpaksa memutar karena keterusan. Kontan saja perjalanan menjadi lebih lama. Iseng-iseng Prawiro bertanya, “Apakah jalan ini sudah benar?” Sopir mengaku dia keliru mengambil jalan. Memang akhirnya taksi sampai juga ke tujuan. Prawiro pun membayar ongkos sesuai angka di argometer, tentu menjadi lebih mahal. Tapi sopir tiba-tiba bilang, “Tunggu, berapa biasanya anda bayar bila ke sini?” Rupanya dia tak mau menerima kelebihan ongkos, dan ngotot hanya mau dibayar seperti biasanya tanpa melihat argo.

Prawiro bengong. Apalagi sopir taksi itu mohon maaf karena perjalanan menjadi lebih lama. Dia mengakuinya sebagai kesalahannya serta berterimakasih tak mendapatkan komplain atas kejadian tersebut. “Ah, mungkinkah kita bisa menemukan sopir taksi seperti itu di Jakarta—dan Medan?” ungkap Prawiro.

Email plus blog tersebut mengingatkan saya dengan pengalaman hampir serupa di sana . Saat itu saya tak sabar menunggu shuttle bus dari Le Meridien untuk menuju Bandara Changi. Saya kuatir ketinggalan pesawat terbang ke Jakarta, maka memutuskan untuk menggunakan taksi saja. Saya pun menumpang Mercedes Benz yang dikelola sebagai taksi. Sopir menyapa ramah, bicaranya familiar: “Bukankah ada shuttle bus, mengapa anda naik taksi?” Heran, pikir saya, semestinya dia senang ada yang menumpang taksinya, tapi kok malah bertanya dengan nada ingin meyakinkan saya apakah benar-benar tidak ingin naik shuttle bus. “Tak mengapa, saya kuatir ketinggalan pesawat,” jawab saya ringkas.

Dia meyakinkan lagi kalau masih cukup waktu ke Changi. Mobil melaju. Saya pun merasa tenang. Kala tiba di Changi, saya melebihkan ongkos dari yang tertera di argometer—sebagai tips. Lho, dia mengembalikannya lagi. “Anda bayar saja sesuai argo,” ungkapnya. Aneh…seperti Prawiro saya juga bengong.

Don’t judge a book by its cover.” Analogi itu tentu tidak pas ditujukan kepada Singapura. Soalnya, performa ‘kota dunia’ yang modern tak hanya terlihat di pusat kota yang memiliki gedung-gedung pencakar langit dan akses jalan protokol, melainkan juga memancar dari sikap masyarakatnya. Mental mereka benar-benar siap menerima modernisasi, karena itu sangat menjaga tata krama supaya setiap orang—dari penjuru dunia manapun—merasa nyaman berada di kotanya, sebagaimana para sopir taksi di sana. Sebaliknya kota-kota di dalam negeri, seperti Medan mungkin ya, analogi tadi masih ada benarnya. Alasannya, seringkali penampilan modernisasi itu cuma di jalan protokol yang penuh gedung megah, tetapi sikap warga yang menghuninya ternyata tidak cukup ramah. Malah bertolak belakang dengan mental masyarakat modern—yang biasanya santun. Ibarat buku, sampul muka tidak selalu menjamin kualitas cerita di dalamnya, begitu pula kota ini.

Jakarta saja, kata Ali Sadikin dalam suatu wawancara, belum bisa disejajarkan dengan kota-kota modern dunia. Bukan hanya karena masih banyak perkampungan kumuh mengepung di sekitarnya, ungkap mantan gubernur DKI Jakarta itu, tetapi terutama mengingat mental masyarakat yang masih belum modern. Buktinya, dia menyuruh melihat ke jalan raya, halte, dan lokasi-lokasi fasilitas umum: orang lebih senang menunggu bus atau angkot di piggir jalan daripada di shelter. Sialnya, sopir pun tak keberatan, malah saling menepi memperebutkan penumpang di sana. Karuan saja jalanan menjadi macet, kota pun terasa sumpek.

Fenomena itu tentu lebih memekakkan lagi di Medan. Di kota ini sopir taksi dan angkot tidak ragu menurunkan penumpang di sembarang tempat. Kadang di traffic light, bahkan tak jarang di tengah jalan saja. Orang pun tak sungkan menunggu angkutan umum di tempat-tempat tersebut, lalu saling berebut ketika taksi atau angkot datang. Kontras sekali dengan pengalaman lain yang diceritakan Prawiro lagi dari Singapura lewat blog yang sama. Katanya, kalau Sabtu malam tiba dia sering menonton live music di kawasan Singapore River dekat Esplanade Park. Saat pertunjukan usai, setiap orang yang keluar dari sana harus antri taksi. Semua taat, disiplin, saling menghargai, dan tidak mengganggu orang lain. “Ini budaya Singapura yang paling saya sukai,” ungkapnya.

Sekali lagi: bagaimana dengan Medan? “Orang bilang sudah jadi kota metropolitan,” tanya seorang teman lagi, “apa iya?” Saya mengernyitkan dahi, lalu segera menjawab sekenanya: “Kota metropolitan biasanya modern, tak pernah tidur, tapi santun dan beradab.” Ya, macam ‘kota dunia’ seperti Singapura itu.—nt

Sunday, June 24, 2007


Wawancara dan
Menembus Sumber Berita

Oleh Nurhalim Tanjung


“Apakah yang anda rasakan saat banjir terjadi di tempat anda?”




PERTANYAAN itu disampaikan oleh presenter televisi swasta kepada seorang korban banjir di Jakarta ketika melakukan wawancara via telefon secara live. Apakah pertanyaan itu memancing rasa ingin tahu? Mungkin ya, tapi mungkin pula tidak sama sekali. Siapapun—para pemirsa televisi serta publik media berita—sudah mengerti dan dapat merasakan bagaimana perasaan para korban banjir di Jakarta baru-baru ini, apalagi media terus memberitakan dengan gencar dari berbagai sisi tentang bencana tersebut. Pertanyaan itu terdengar menjadi kurang cerdas. Mungkin lebih baik jika presenter televisi itu mengajukan pertanyaan: “Bagaimana anda menyelamatkan diri dan keluarga dari banjir?”

Wawancara merupakan salah satu alat reportase yang penting dalam jurnalisme, selain observasi serta pengumpulan data dan fakta melalui referensi. Kualitas pertanyaan seorang wartawan sangat menentukan seberapa bagus informasi dari sumber berita yang akan diperolehnya. Seorang wartawan yang memperhatikan mutu wawancara biasanya melakukan persiapan terlebih dulu sebelum menemui sumber berita untuk mengajukan pertanyaan. Sebaliknya, wartawan yang tak memiliki persiapan sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan buruk ketika melakukan wawancara. Hasilnya? Berita yang sampai ke publik seringkali dangkal, biasa saja, dan kadang membuat sumber berita jera untuk diwawancarai lagi.

Bukan tidak mungkin pula jika wartawan tanpa persiapan kerap terjadi salah kutip dan tidak akurat dalam memberitakan hasil wawancara. Padahal, menurut Dja’far Assegaff, seorang wartawan senior, salah kutip dan tidak akurat sering menyebabkan sumber berita enggan untuk menghadapi wartawan karena mudah merusakkan reputasi atau menimbulkan kekeliruan. Bagi wartawan sendiri kesalahan atau ketidakakuratan dalam pemberitaan tentu akan mempengaruhi kredibilitasnya serta media massa-nya di mata sumber berita.

Persoalan-persoalan itu mungkin bisa tidak terjadi apabila wartawan memiliki persiapan ketika akan melakukan wawancara. Persiapan diri dapat pula membantu wartawan untuk menembus sumber berita guna melakukan wawancara. Ini karena persiapan diri membuat wartawan lebih dapat menjaga mutu wawancara dan kualitas pemberitaan sehingga sumber berita lebih welcome. Mudah-mudahan tidak ada pertanyaan buruk, salah kutip, masalah akurasi, dan berbagai kekeliruan lain.

Tujuan Wawancara
Sebelum mempersiapkan diri seorang wartawan perlu mengetahui tujuan wawancara yang akan dilakukannya. Ada lima (lima) tujuan wawancara yang biasa dilakukan oleh wartawan, yaitu:

* Wawancara menggali informasi (information interview). Wartawan melakukan wawancara ini untuk mencari keterangan dari orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi sebagai sumber berita karena profesi atau pekerjaannya, dia melihat, mengalami sendiri maupun terlibat langsung di dalam peristiwa.
* Wawancara meminta konfirmasi (confirmation interview). Wartawan melakukan wawancara untuk mendapat konfirmasi atau penegasan dari sumber berita tentang sesuatu peristiwa atau keterangan yang sudah diketahuinya.
* Wawancara meminta pendapat (opinion interview). Wawancara ini dilakukan untuk meminta pendapat dari orang yang dianggap mengetahui karena kemahiran atau keahliannya tentang suatu persoalan yang sedang memperoleh perhatian masyarakat (aktual).
* Wawancara untuk membuat cerita (feature interview). Ini adalah wawancara untuk membuat cerita tentang kehidupan masyarakat atau pribadi orang yang diwawancarai karena dianggap dapat menarik hati orang banyak. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sumber berita yang bersifat human interest. Karena itu wawancara ini tidak hanya dapat dilakukan pada orang besar, melainkan juga terhadap masyarakat kebanyakan.
* Wawancara biografi (biographical interview). Wawancara ini umumnya dilakukan untuk menyusun sejarah hidup narasumber, baik menyangkut pengalaman atau fakta hidup pribadi yang menarik hati maupun hal-hal kecil lainnya—seperti reputasi yang diperoleh, sifat sampai falsafah hidup orang yang diwawancarai.

Tujuan wawancara perlu diketahui supaya wartawan dapat menentukan informasi atau keterangan yang dibutuhkannya dari sumber berita. Wawancara itu sendiri bisa dilakukannya secara langsung atau berperantara. Wawancara langsung berarti wartawan bertatapan muka (face-to-face) dengan sumber berita, sedangkan dalam wawancara berperantara dilakukan dengan bantuan sarana komunikasi seperti telefon, surat, email dsb.

Persiapan dan Teknik Wawancara
Dalam wawancara langsung wartawan perlu membuat persiapan terlebih dulu, mencakup pengenalan tentang sumber berita, menentukan fokus permasalahan, dan menyusun daftar pertanyaan—lebih baik lagi jika ada outline atau kerangka wawancara. Persiapan ini juga diperlukan dalam wawancara berperantara tetapi mungkin tidak perlu seketat wawancara langsung. Sebab dalam wawancara langsung seorang wartawan mesti face-to-face dengan sumber berita sehingga menutut ketrampilan berbicara, memahami psikologi sumber berita, serta dapat menjaga suasana dan etika selama wawancara berlangsung.

Biasanya wartawan sudah mempunyai ide apa yang ingin diliput atau ditulisnya sebelum memulai wawancara. Dari ide inilah dia membuat beberapa persiapan wawancara. Secara lugas dapat dikemukakan beberapa persiapan wawancara sbb.


* Tentukan tujuan wawancara dan informasi yang ingin diperoleh.
* Tentukan arah permasalahan yang ingin digali dengan menyusun outline atau kerangka wawancara—untuk ini wartawan mesti memiliki informasi latarbelakang melalui berbagai acuan atau referensi.
* Tetapkan sumber berita—perhatikan kompetensi, relevansi, otoritas atau jabatannya.
* Kenali latarbelakang dan sifat-sifat sumber berita.
* Hubungi orang yang sudah ditetapkan sebagai sumber berita, buatlah janji untuk wawancara.
* Siapkanlah segala perlengkapan wawancara, seperti buku catatan, pena, dan tape recorder.
* Datanglah lebih awal dari janji waktu wawancara—jangan membuat sumber berita menunggu karena mungkin saja waktunya tidak banyak, padahal sebagai wartawan kita membutuhkan keterangan darinya.

Persiapan-persiapan itu sangat penting diperhatikan supaya wartawan tidak hanya menjadi pendengar atau sekadar mencatat apa yang dikemukakan oleh sumber berita, melainkan dapat berlaku sebagai lawan bicara yang kritis tetapi tetap dapat menjaga etika dan sopan santun wawancara. Misalnya, seorang wartawan yang akan melakukan wawancara tentang banjir kepada seorang pakar lingkungan, maka dia mesti mengetahui seluk-beluk permasalahan lingkungan terlebih dulu. Demikian pula jika wartawan akan melakukan wawancara mengenai poligami kepada seorang ulama atau pelaku poligami, maka sebaiknya dia sudah memahami sejarah dan hukum poligami terlebih dulu. Tetapi jika tanpa pengetahuan dan pemahaman yang cukup seringkali wartawan hanya menjadi pencatat dan pendengar saja sehingga wawancara ‘tidak hidup’, jadi percakapan berkepanjangan, lari dari permasalahan pokok, dan akhirnya si wartawan bakal kesulitan menuangkannya ke dalam laporan berita.

Contoh berikut adalah proses wawancara yang dilakukan dengan penuh persiapan, dimana wartawan sudah memiliki informasi latarbelakang dari berbagai sumber atau bacaan yang diperolehnya. Maaf, wawancara ini bukan mengenai banjir atau poligami, melainkan tentang teroris yang menembak seorang senator di suatu hotel California, Amerika Serikat hampir tiga puluh tahun lalu. Wawancara dilakukan oleh Jack Perkins, seorang wartawan televisi di negeri itu, dengan Sirhan Sirhan, si tertuduh penembak Senator Robert F. Kennedy. Perkins memulai wawancara dengan memberi informasi kepada khalayak dan membangun suasana wawancara yang baik dengan sumber berita. Tapi di tengah-tengah wawancara, pertanyaannya semakin tajam dan kritis. Simak wawancara berikut [dari Herbert Strentz: Reporter dan Sumber Berita]:

“RFK Harus Mati”

PERKINS: Sirhan.., apakah anda pergi ke Hotel Ambassador pada hari Minggu untuk mengamati tempat itu, lalu merencanakan, merancang, dan mencari tempat terbaik di mana anda dapat menembaknya?

SIRHAN: Pak, saya tahu ini kedengarannya tak bisa dipercaya, tetapi saya pergi ke sana hanya untuk menemui Senator Kennedy.

PERKINS: Baiklah Sirhan, sekarang tentang malam pembunuhan itu, anda pergi ke Hotel Ambassador, minum-minum sedikit dan kemudian anda katakan anda mabuk berat sehingga tidak bisa mengemudikan mobil untuk pulang, betulkah?

SIRHAN: Ya Pak, betul!

Wawancara terus mengalir membicarakan seputar pembunuhan tersebut, lalu di tengah perbincangan Sirhan mengatakan dia tidak ingat apa-apa sampai dia berada di kantor polisi

PERKINS: Anda di tahan di tengah malam di sebuah kantor polisi dan banyak petugas polisi mengelilingi anda, dan anda diborgol, semua itu tentu memaksa anda untuk bertanya: mengapa saya di sini?

SIRHAN: Sebenarnya saya ingin bertanya demikian.

PERKINS: Tetapi anda tidak menanyakannya, bukan? Ini tentu saja membuat seolah-olah anda tahu mengapa anda ada di sana. ( Lalu Perkins menyebut buku catatan Sirhan, di mana sebelum pembunuhan tersebut, Sirhan beberapa kali menulis, “RFK harus mati.”)

PERKINS: Apakah anda menuliskan kata-kata itu hanya ketika anda sedang marah besar?

SIRHAN: Mestinya begitu Pak, mestinya begitu. Itu tulisan seorang maniak

PERKINS: Itulah tulisan Sirhan.


Wawancara berakhir dengan tangisan Sirhan setelah dia mengungkapkan harapannya supaya Senator Kennedy mampu bertahan hidup dan supaya ada perdamaian di Timur Tengah. Saat itu Perkins kembali memainkan peran bersimpati setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keluarga Sirhan.

Jacks Perkins selaku wartawan tampil cukup cerdas selama wawancara itu berlangsung. Dia memperlihatkan teknik wawancara yang menarik. Dia menguasai permasalahan, karena itu bisa kritis dengan jawaban-jawaban Sirhan, tapi pertanyaannya tidak bersifat menghakimi. Perkins menyerahkan penilaian akhir kepada publik

Semestinya wawancara memang begitu karena, menurut James Gordon Benneth dari The New York Herald, “seorang wartawan adalah separoh diplomat dan separoh detektif.” Ini berarti sebagai orang yang sedang berupaya mendapatkan keterangan, maka wartawan harus dapat melakukan wawancara dengan gaya komunikasi yang bersahabat tetapi tetap objektif. Dia tidak boleh terjebak ke dalam situasi perdebatan dengan sumber berita, dan jangan pula sampai memasuki diskusi yang berkepanjangan atau bertindak berlebihan sampai menujurus ke arah interogasi, apalagi menghakimi. Dia tetap harus objektif menilai keterangan sumber berita sebab bertanggungjawab kepada masyarakat atas kebenaran keterangan yang diperolehnya.

Wawancara Perkins dengan Sirhan itu juga menunjukkan bahwa selama pelaksanaan wawancara, seorang wartawan mesti dapat menjaga suasana, bersikap wajar, memelihara situasi, tangkas menarik kesimpulan, menjaga pokok persoalan, kritis, tetapi—sekali lagi—tetap bersopan-santun.

Sumber Berita Menolak Wawancara
Bagaimana jika sumber berita menolak permintaan wawancara? Wartawan memang seringkali mendapatkan sumber berita begini. Mereka suka menghindar dengan beberapa cara, seperti tidak menjawab telefon atau meminta staf-nya untuk mengatakan, “Bapak tidak di tempat” atau “Bapak sedang tidak bisa diganggu.”

Sumber berita demikian mungkin sungkan diwawancarai karena alasan-alasan yang dikemukakan oleh Dja’far Assegaff—takut salah kutip dan pemberitaan tidak akurat. Satrio Arismunandar dari Trans TV menjabarkan alasan-alasan keengganan sumber berita untuk memberikan wawancara tersebut sbb.

* Waktu. Sumber berita yang mengatakan “Saya tak punya waktu” sebenarnya ingin memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang lain ketimbang diwawancarai oleh wartawan. Mereka memperkirakan lama waktu untuk wawancara, dan menghitung manfaat wawancara itu dibandingkan dengan jika waktunya dipakai untuk kepentingan lain. * Rasa bersalah. Sumber berita mungkin takut kelepasan bicara, mengakui telah melakukan suatu kesalahan, atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin diungkapkannya. * Kecemasan. Sumber berita mungkin mempunyai pengalaman tak menyenangkan ketika diwawancarai oleh wartawan sehingga takut terulang lagi. Mereka cenderung menolak risiko setelah wawancara. * Perlindungan. Sumber berita menolak wawancara karena ingin melindungi keluarga, teman, atau orang lain yang dicintai, atau orang lain yang diketahui melakukan perbuatan salah. Calon pemberi wawancara mungkin juga takut dikaitkan dengan pernyataan atau komentar yang bisa mempermalukan atau mengecam pihak lain. * Ketidaktahuan. Sumber berita bisa jadi menolak wawancara karena tidak mengetahui apa-apa atau hanya tahu sedikit sekali tentang masalah yang ingin diketahui oleh wartawan. * Mempermalukan. Sumber berita menolak wawancara karena masalah yang mau dipertanyakan itu membuat dirinya merasa malu, risih, atau dianggap terlalu bersifat pribadi. * Tragedi. Sumber berita yang baru mengalami musibah berat mungkin tidak ingin mengungkapkan masalahnya itu kepada umum, sedangkan wartawan mewawancarainya untuk membuat berita sehingga dapat mengubah masalah yang bersifat pribadi menjadi konsumsi publik dan terbuka.

Wartawan yang menghadapi alasan-alasan tersebut dapat meyakinkan sumber berita dengan mengemukakan betapa pentingnya wawancara itu bagi publik serta manfaat atau dampaknya bagi sumber berita tersebut. Tentu saja usaha ini juga tergantung kepada kredibilitas si wartawan dan media massa-nya. Apabila wartawan dan medianya dikenal sering melanggar etika pemberitaan boleh jadi orang yang ingin dijadikan sumber berita tetap tak ingin memberikan wawancara.

Begitupun bila sumber berita sangat penting bagi peliputan, maka wartawan mempunyai tiga cara untuk menembusnya: Pertama, hubungi sumber berita dan jelaskan maksud wawancara. Jika dia menolak, maka cara kedua adalah dengan berusaha menggunakan orang terdekatnya atau orang yang mengenalnya cukup baik supaya dapat memberikan wawancara. Cara ini dapat membuat sumber berita menganggap si wartawan bukan orang lain jadi bisa dipercaya. Ketiga, memperkenalkan diri secara langsung dalam pertemuan yang dihadirinya, lalu mengajukan pertanyaan yang sudah anda siapkan. Ini mungkin akan membuat sumber berita terkejut tetapi wartawan harus dapat bersikap wajar dan menjaga suasana.



Tetapi bila sumber berita langsung welcome terhadap permintaan wawancara tentu saja si wartawan pasti senang. Kalau ini terjadi—alhamdulillah—maka galilah informasi dari sumber berita dengan teknik dan persiapan-persiapan yang sudah dibuat agar tujuan wawancara tercapai.***




Fashion Cafe


“HALO, lagi dimana ?”
“Hai, aku di Fashion CafĂ©, kemarilah…”
“Wah, kebetulan…sebentar lagi aku datang.”
“Cari aku di lantai dua, menghadap stage.”

Pucuk dicinta ulam tiba. Sepekan menginap di hotel—untuk suatu program—di Jakarta pasti sanggup membuat siapapun menjadi jenuh. Maka saya pun segera meletakan telepon, lalu bergegas meninggalkan hotel yang terletak dekat Sarinah untuk menemui Hary, seorang teman dari Medan yang sudah pindah menetap di ibukota. Tidak susah mencapai cafĂ© di Jalan Jend. Sudirman itu. Sekira 25 menit kemudian saya sudah berada di ruang gelap yang hingar-bingar dengan musik. Sinar lampu yang berwarna-warni sesekali menyiram wajah ketika saya berjalan menjauhi pintu masuk.

Hary duduk sendirian di meja tepi lantai dua—yang menyerupai balkon—tanpa pembatas dinding kecuali pipa-pipa stainless steel setinggi dada. Saya menghampirinya, “Hai apakabar, sendirian saja?” Dia menoleh. “Eh, akhirnya datang juga…tadi ada teman tapi sudah keluar,” katanya, “aku menunggumu. Ayo, duduk.” Sebatang rokok terselip di jari-jarinya, sedangkan di meja tampak satu botol minuman ringan yang sudah dituangkan ke gelas. Hary memanggil waitress, kemudian memesan minuman lagi. Kami pun tenggelam dalam suasana santai, berbicara nostalgia tentang berbagai hal saat bekerjasama di Medan.

Dari posisi meja itu kami bebas memandang ke stage yang bergaya catwalk di lantai bawah. Ricky Johannes menjadi master of ceremony di sana. Dia memandu beberapa model wanita yang berjalan melenggang-lenggok secara bergantian di atas stage tersebut. Tapi suasana segera berubah menjadi riuh. Oh, rupanya ada konser malam itu, soalnya setelah aksi para model tampil diva Ruth Sahanaya disusul Titi DJ. Mereka memukau pengunjung. Lampu sorot menerangi panggung sehingga ratusan pasang mata dari sudut-sudut gelap di sekitarnya tak mau melepaskan mereka . “Aku dengar mereka tampil di sini, makanya sepulang kerja langsung kemari,” ungkap Hary, “yah…sambil santai saja.” Saya memang mengenal Hary sebagai sosok yang penuh apresiasi terhadap kegiatan berkesenian. Konon pula jika ada model dan penyanyi cantik yang penuh talenta—ehm… Dia sanggup menghabiskan waktu untuk mengapresiasi mereka.

Saya senang berteman dengan orang seperti Hary. Dia menikmati seni sebagai menu jiwa. Setiap bertemu, saya serasa menerima transfer tentang seni dari pengetahuan, persepsi, talenta, dan pengalaman berkeseniannya. Apalagi jika di kala bertemu kami bisa sembari menikmati live performance para pekerja seni seperti di Fashion Café malam itu. Selain Hary, beberapa teman seniman juga memberi kontribusi kepada saya untuk mengasah kepekaan lewat seni. Mereka suka mengajak saya nimbrung sebagai observer dalam aksi baca puisi, baca cerpen, berteater atau bermusik ke berbagai tempat. Ada kenikmatan kala bersama mereka.

“Tanpa seni, hidup terasa kering dan gersang,” kata seorang penulis senior. Ya, tanpa seni— yang kreatif dan ekspresif—dunia seolah-olah cuma panggung hitam-putih saja. Tidak ada bianglala karena sinar matahari tak menerpa titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Saya menganalogikan titik-titik hujan itu ibarat orang yang tak mampu menyerap seni sebagai matahari bagi jiwa. Memang, kadangkala bukan titik hujan itu yang salah melainkan gumpalan awan kelam yang menghalangi sinar matahari. Contohnya, di masa lalu orang Medan pernah berbondong-bondong terpikat untuk menonton pementasan Sampek Engtay yang akan dipagelarkan Teater Koma, tapi tiba-tiba terjadi breidel hanya beberapa jam sebelum pertunjukan. Alasannya politis: teater asuhan Nano Riantiarno itu dianggap terlalu sering mengekspresikan kritik. Pementasan batal, apreasiasi terhadap seni terkooptasi, awan hitam menyelimuti dunia seni. Bianglala pun lama tak muncul dalam dunia teater.

Sesungguhnya, kata Nano Riantiarno, orang berkesenian cuma untuk memberi cermin agar semua pihak bisa lebih peka dan menjadi sensitif. Namun, lucunya, spirit berkesenian itu di-syak-wasangka secara berlebihan. Iklim sengaja dibuat gerah sehingga apresiasi terhadap dunia seni sulit tumbuh subur, padahal atensi cukup besar. Akibatnya sensititivitas tak terasah tajam, banyak orang cuek dengan kepedihan orang lain, dan budaya yang tumbuh cenderung kasar, tidak santun.

Tetapi belakangan ini bianglala itu sudah berpendar kembali. Berbagai pementasan dan konser membuat seni berdenyut lagi. Apresiasi yang muncul menanamkan kepekaan, selain membuang jenuh serta membuat hidup semakin penuh warna. Karena itu kadangkala malam pun serasa tak pernah mati, sebagaimana Hary, saya, dan orang-orang di Fashion Café ketika itu: kami larut hingga dini hari.--nt

Sunday, June 10, 2007



Menunggu Sun Rise
di Puncak Sibayak
Oleh Nurhalim Tanjung





EUREKA! Seruan Archimedes, penemu di bidang fisika jaman Yunani, itu tertulis menyolok di sisi pintu tenda yang kami pakai untuk berkemah di puncak Gunung Sibayak, Tanah Karo. Langit masih gelap, angin bertiup kencang menjelang subuh di akhir pekan pertengahan Mei lalu. Tenda yang didirikan tak cukup kuat menahan tiupan angin, tapi segera seorang teman mengeluarkan tenda pelapis untuk menahan badai. “Kita berkemah di sini saja, lokasinya cukup terbuka serta tak berbatu,” kata Sofyan, anggota tim.

Kami lega. Setelah semalaman berjalan, akhirnya sampai juga di puncak Gunung Sibayak. Dua kali gagal menemukan “pintu rimba” untuk naik ke gunung ini, tapi yang ketiga kami berhasil. Eureka!

Dataran sempit yang menjadi base camp persis berada di bibir anak sungai yang mengalirkan air beraroma belerang dari kawah gunung. Gemericik air-nya membuat setiap anggota tim tetap terjaga pada subuh itu. Semua menunggu kemunculan matahari dengan harap-harap cemas supaya dapat merekam panorama di ketinggian puncak gunung di kala sun rise dengan kamera digital. Tapi subuh terasa lama sekali beranjak menjadi terang, apalagi awan mendung tampak terus menutupi cahaya bulan. Di kejauhan, dari arah bawah, tampak sederetan cahaya senter memanjang, pertanda serombongan pendaki sedang merayap naik.

Dalam perjalanan di kaki gunung kami sempat bertemu dengan rombongan pendaki itu, karena sama-sama memulai pendakian lewat jalur wisata dari Kota Brastagi. Di kalangan pendaki sebenarnya jalur ini adalah rute yang paling mudah ditempuh karena jalannya beraspal hingga ke kawasan pertambangan milik Pertamina walaupun seringkali harus menghadapi tikungan tajam serta jalan mendaki yang curam. Namun tetap bisa ditempuh dengan mobil, sebagaimana yang kami lakukan. Cuma, malam membuat perjalanan di atas aspal yang membelah hutan kawasan Gunung Sibayak terasa lebih menantang, buktinya beberapa kali kami kehilangan arah.

Bayangkan, mobil sudah mulai beranjak dari Brastagi sejak pukul 1.30 dini hari tetapi baru sekitar dua jam kemudian kami sampai di titik pendakian setelah beberapa kali salah arah. Maklum gelap, apalagi hujan terus mengguyur kota sejuk ini. Sofyan yang dikenal sebagai anggota SAR (search and rescue) pun kewalahan menghadapi malam gelap yang ditingkahi hujan terus menerus. Malah sebelumnya beberapa kali hujan deras memaksa kami menghabiskan waktu di Brastagi. “Semestinya, kalau cuaca tak begini, paling lama setengah jam kita sudah sampai di lokasi tambang Pertamina sebab jaraknya dari Berastagi sekitar 2-3 kilometer saja,” kata Sofyan di dalam mobil.



Saat bermobil, membelah malam, itulah kami melintasi rombongan para pendaki tersebut sebab mereka berjalan kaki dari Berastagi menuju “pintu rimba” di kawasan pertambangan Pertamina itu. Dari sini jalan mendaki ke puncak Sibayak dapat ditempuh selama 30-45 menit lagi. Tapi mobil yang kami kendarai gagal mencapai ujung aspal karena tanah longsor menimbun badan jalan menjelang 500 meter dari sana. Apa boleh buat, kami harus memarkirkan dua mobil yang dikendarai di areal pinggir hutan di dekat longsoran itu. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, melintasi tanah longsor yang tebal dan becek, lalu mencari “pintu rimba” setelah menjejak kawasan pertambangan milik Pertamina di ujung jalan beraspal. “Pintu rimba” adalah istilah yang dipakai para pecinta alam untuk menyebutkan jalan masuk ke belantara alam, seperti puncak Gunung Sibayak.

Kawasan pertambangan milik Pertamina itu berbatasan langsung dengan hutan dan dinding alam yang mencuram dari puncang Gunung Sibayak. Bekas tambang sangat kentara di sini karena berada di lokasi yang terbuka, beberapa lubang besar dibiarkan menganga tanpa penjagaan. Kami mengamati kawasan ini dengan cukup jelas karena hujan sudah reda, dan bulan mulai terang. Begitupun, kami juga harus menggunakan senter untuk mengelakkan langkah, menjauh dari lubang menganga di lokasi yang agak remang-remang.

Beberapa kali kami berputar-putar di kawasan pertambangan itu untuk menentukan “pintu rimba” ke puncak Sibayak. Sekali kami sempat mengira jalan setapak di antara semak-belukar di depan badan jalan adalah “pintu rimba” yang dicari, lalu kami berusaha menempuhnya. Tetapi setelah semakin ke dalam ternyata semak belukar itu semakin rapat, sehingga kami memutuskan berbalik arah.

Kami kembali ke kawasan pertambangan itu. Mengaso sejenak. Sebenarnya lokasi tambang ini berada di ketinggian lebih satu kilometer dari permukaan laut. Berarti, dari sini perjalanan ke puncak Sibayak tak lama lagi—mungkin sekitar 30-45 menit saja— karena gunung ini memiliki ketinggian sekira 2.212 meter dari permukaan laut. Gunung ini juga masih aktif. Kawahnya terus mengeluarkan asap dengan suara menderu-deru. Syukurlah air di dalam kawah itu tidak menggelegak, tidak seperti Gunung Merapi di Jogyakarta yang sedang mengamuk saat ini. Bahkan di Sibayak para pendaki yang berkemah disekitarnya berani turun memasuki kawah untuk merangkai batu-batu dengan nama mereka didasarnya yang digenangi air hangat sedalam 20-50 centimeter.

Saat yang lain mengaso, Sofyan terus mengitari lokasi pertambangan itu. “Woi, di sini “pintu rimba”-nya,” katanya tak lama kemudian. Dia memberi aba-aba dengan senter, tim pun bergerak mengikutinya. Kami meniti tangga dari semen buatan Pertamina untuk mencapai jalan setapak yang tertutup semak belukar di lokasi yang lebih tinggi. Kali ini pasti tak salah lagi. Jalan setapak itu terus mendaki. Tak sulit menapakinya, apalagi telah dilapisi semen kasar yang mengikuti tekstur tanah. Pendakian yang lumayan gampang. Jangan heran sebab rute yang kami tempuh adalah jalur wisata, bukan jalur pecinta alam yang natural dan membutuhkan waktu berjam-jam—bahkan sehari-dua hari—untuk sampai puncak Gunung Sibayak.



Air dari sisa-sisa hujan terus mengalir dari hulu jalan setapak yang ditempuh, bahkan di tempat-tempat yang datar air menggenang hingga merusak semen dan menyebabkan becek. Semua harus hati-hati, siap-siap dengan senter di tangan karena jalanan menjadi licin. Beberapa orang terpeleset, tapi yang lain segera menolong. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Soalnya di sisi kiri sepanjang jalan mendaki itu adalah jurang, sedangkan di sisi kanan berdiri kokoh tebing semak-belukar.

Semakin tinggi berjalan, semakin dingin udara. Hembusan angin membuat udara bertambah dingin. Tapi udara dingin itu tidak begitu terasa karena tubuh kami panas dan terus berkeringat. Malah jaket yang dikenakan sejak dari Berastagi sudah dilepas, masuk ke ransel atau diikatkan ke pinggang. Kami memang memilih terus berjalan untuk mengatasi cuaca dingin. Sesekali saja beristirahat, itupun sebentar, hanya 5-10 menit.

Subuh, kurang dari pukul lima dini hari, akhirnya kami tiba di puncak Sibayak. Langit masih gelap karena awan menutupi bulan. Kami membangun tenda di dataran yang dipilih sebagai base camp. Angin bertiup kencang. Cuaca dingin mulai terasa menggigit. Semua masuk ke dalam tenda, menghangatkan tubuh dengan duduk rapat. Sofyan meletakkan kompor mini di tengah-tengah tenda, lalu menyalakannya untuk memasak air. Cuaca dingin di luar tenda mulai teratasi, apalagi setelah air yang dimasak mendidih. Kami sarapan roti dengan susu sachet yang diaduk dengan air hangat itu.

Serombongan pendaki yang sempat bersirobok dengan kami di bawah tadi juga sudah sampai di puncak gunung. Mereka dipandu oleh Dedi, seorang pemandu lokal yang tinggal di kaki Gunung Sibayak dekat Berastagi. Rombongan ini beristirahat di dataran sekitar base camp kami. “Kalian yang tadi melintasi kami dengan mobil?” tanya Dedi.

Menurutnya, kami terlalu berani mendekati kawasan tambang Pertamina dengan mengendarai mobil. “Soalnya kalau musim hujan sering terjadi longsor, lihat saja longsoran di bawah itu tadi,” katanya. Karena itu dia memilih membawa rombongan yang dipandunya berjalan kaki dari Berastagi. Berapa tarif pemandu lokal ke Gunung Sibayak? “Biasanya 150-200 ribu rupiah, tapi kalau kali ini aku dibayar Rp150 ribu,” kata Dedi.

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Tapi matahari belum juga muncul. “Seharusnya langit sudah terang,” kata Sofyan. Awan tebal tampak masih menggantung di langit. Matahari tak mampu menyingkapnya. Sun rise di puncak gunung ini menjadi tak sesemarak biasanya. Beberapa momen alam yang sempat diabadikan dengan kamera digital tampak diselimuti kabut tipis. Hasilnya tak begitu sempurna, padahal panorama Sibayak saat itu cukup menakjubkan dinikmati dengan mata telanjang.

Begitupun tak ada kekecewaan. Semua puas bisa mencapai puncak Gunung Sibayak dalam perjalanan malam yang berhujan dan tanah longsor. Rasa puas semakin tergambar kala matahari berhasil menyapu gumpalan awan sehingga permukaan puncak Sibayak tampak lebih mengesankan. Kami buru-buru mendaki dataran tertinggi untuk mendekat ke matahari yang semakin tinggi. Pemukiman dan dataran hijau di desa-desa nun jauh di kaki gunung tampak jelas dari sini. Sinar matahari pagi membantu kami untuk menikmatinya, mengobati rasa lelah yang kehilangan sun rise.***

Monday, May 28, 2007



Simpati,
Solidaritas,
Charity



HUJAN menyiram Yogyakarta. Cuaca memang sedang tidak ramah sore itu meskipun langit cukup terang. Banyak orang menepi untuk berteduh. Pedesterian di sepanjang Malioboro menjadi penuh sesak. Turis, mahasiswa, pedagang, seniman jalanan, dan pengemis bergabung di emperan pertokoan jalan ternama itu. Mereka sabar menunggu air yang dicurahkan dari langit reda.

Belakangan ini pengalaman berada di Yogyakarta muncul kembali. Kala itu saya dan beberapa orang teman menjejakkan kaki di sana setelah melakukan perjalanan dengan bus dari Malang. Kami disambut hujan di Malioboro. Tapi pertemuan dengan orang-orang Yogya—aktivis pers mahasiswa dan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, rektor Universitas Gajah Mada masa itu— justru membuat suasana menjadi hangat. Mereka menyambut seakan-akan bertemu teman lama. Yogyakarta memang selalu menebarkan kehangatan, sekalipun di tengah guyuran hujan.

Kenangan itu nyaris buyar, tapi gempa yang meluluhlantakkan daerah-daerah sekitar Yogyakarta mengembalikannya lagi. Apalagi seorang kawan berpamitan untuk berangkat ke sana. Dia ingin menjadi relawan guna meringankan beban para korban bencana tersebut. Keramahan Yogyakarta pun terbayang kembali. Kota ini memang acap membekaskan kenangan di hati orang-orang yang pernah menyinggahinya.

Ebiet G. Ade, dalam lirik satu lagunya, mengakui Yogyakarta menyimpan jejak langkah dan desah nafasnya. Dia melantunkan lagu itu lagi ketika ber-telewicara dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang disapanya ngarso dalem. “Kami,” kata Ebiet menyebutkan para artis, seniman serta semua pekerja seni disekitarnya, “prihatin dan ingin berbuat dengan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu saudara-saudara di sana.” Mereka bersimpati.

Kata orang bijak, “…even a sympathy can be a charity…” Simpati memang bisa menjadi amal yang meringankan beban ahli musibah. Dan simpati pasti semakin sempurna jika diekspresikan dengan perbuatan, termasuk “berbuat dengan apapun yang dapat dilakukan” sebagaimana dikemukakan Ebiet G. Ade. Para artis dan seniman itupun menggelar kegiatan amal. Mereka membangun simpati untuk menggalang solidaritas bagi Yogyakarta. Aneh, simpati sering membangkitkan tenaga untuk membantu sesama, bahkan kadang-kadang kita pun bisa lupa dengan keadaan sendiri.

Sejarah musibah kemanusiaan menjadi bukti. Misalnya saat tsunami menghantam Aceh, seorang relawan asal Bali terpaksa harus mengamputasi tangannya karena tercemar racun yang berasal dari mayat busuk. Lain waktu dr. Adi, seorang dokter muda di Yogyakarta, tak tahan melihat musibah itu, lalu memutuskan berangkat dengan biaya sendiri ke tengah-tengah korban bencana dahsyat di penghujung Desember dua tahun lalu. Namun kemudian dia terkatung-katung karena tidak punya ongkos untuk pulang. Atau lihat pengalaman Alfian Hamzah, seorang wartawan dari Jakarta, yang rela berjalan kaki berhari-hari untuk melaporkan keadaan di pedalaman Aceh yang meluluhlantakkan rasa kemanusiaan itu. Simpati membuat mereka tulus berkorban.

Begitu pula dengan teman yang berpamitan kepada saya untuk menjadi relawan di Yogyakarta itu. Dia bukanlah orang yang memiliki segalanya. Sebaliknya dia harus bekerja “berdarah-darah” untuk menyelesaikan kuliah dan menghidupi diri dan keluarganya. Namun dia memiliki simpati yang menjadi kekuatan yang mendorong-dorongnya segera berangkat ke Yogyakarta, bukan untuk menikmati keramahan—sebagaimana Yogyakarta di saat normal— melainkan demi menghapus duka dan melipur lara. Saya terkesima menerima salam pamitnya. Ada keharuan sekaligus perasaan bangga.

Selang sepekan, saya membaca berita di email: “Seorang relawan tewas saat evakuasi korban gempa.” Saya terperanjat. Siapa gerangan relawan itu? Mengapa simpati harus dibayar begitu mahal? Saya terus menduga-duga. Tapi tak lama. Saya lega, ternyata teman yang menjadi relawan itu masih sehat walafiat. Begitupun tetap saja peristiwa itu membangkitkan simpati, bahkan lebih besar lagi. Saya simpati terhadap para korban gempa sekaligus relawan-relawan di sana. Mereka tulus bersolidaritas bagi Yogya dan daerah sekitarnya. Teman saya dan para relawan itu sanggup melupakan ego masing-masing. Mereka tak surut walaupun menolong orang lain ternyata juga bisa membawa petaka bagi diri sendiri.

Homo homini socius, manusia adalah sahabat sesamanya. Musibah kemanusiaan seringkali membangkitkan rasa persahabatan itu kembali. Artis, pengusaha, seniman, relawan dan orang-orang lain yang bersolidaritas adalah sahabat-sahabat yang melipur lara, menghapus duka, dan mengajak orang-orang yang berbelasungkawa untuk merenda hari esok mulai hari ini. Solidaritas mereka akan membangunkan kembali Yogyakarta—seperti dulu— supaya di saat hujan pun tetap terasa keramahan dan kehangatannya.--nt

Friday, May 25, 2007



Legalisasi Hak Publik
& Kebebasan Informasi
Oleh Nurhalim Tanjung


MASYARAKAT sipil di negeri ini bakal semakin kuat jika Rencana Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik bisa menjadi undang-undang. Ini adalah perangkat hukum yang sudah lama ditunggu-tunggu karena memberi ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengawasi penyelenggaraan negara.

Selama 60 tahun merdeka, publik di negara ini hampir tak mempunyai legalisasi hukum untuk mendapatkan informasi yang menjadi hak mereka. Berbagai informasi tentang penyelenggaraan negara dominan mereka terima dari saluran formal karena ‘kebaikan hati’ pemerintah, bukan karena keinginan pemerintah melaksanakan kewajibannya memenuhi hak masyarakat sebagaimana pokok pemikiran RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Media massa yang menjadi harapan utama sebagai sumber informasi juga tak maksimal melakukan tugas pengawasan akibat aneka hambatan hukum dan penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah, terutama di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Masa reformasi kebekuan itu mulai mencair, kebutuhan akan jaminan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara mewacana sejak masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Wacana ini semakin menguat di masa Megawati Soekarnoputri menjadi kepala negara, dan mudah-mudahan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini publik benar-benar bisa mendapatkan jaminan hukum untuk mendapatkan hak tersebut. Apalagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) sudah menyetujui RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik itu, dan siap pula untuk membahasnya dengan pemerintah supaya menjadi undang-undang [dalam tahun 2007 ini].

Hak setiap orang
Dalam sistem demokrasi setiap orang mempunyai hak untuk mencari, mendapatkan dan memberikan informasi, serta berhak pula menyatakan opini atau pendapatnya. Selama ini wartawan dan media massa yang melaksanakannya untuk melakukan pekerjaan mereka guna memenuhi hak publik untuk tahu sebagai inti dari kebebasan pers. Tetapi mereka sangat mudah terkena hambatan penguasa dengan berbagai intervensi dan ancaman, mulai dari sensor, tuntutan hukum yang membangkrutkan perusahaan pers hingga pembreidelan.

Ancaman-ancaman seperti itu senantiasa tak kuasa dihadapi media massa, apalagi di negara-negara yang belum sepenuhnya menganut sistem pemerintahan demokrasi. Pemerintahan dengan sistem ini biasanya juga memiliki kecenderungan untuk menahan informasi dengan alasan “rahasia negara”, “kepentingan umum”, “keselamatan nasional”, atau “kepentingan keamanan nasional.” Padahal tidak jarang alasan-alasan tersebut dipakai untuk menutup inefisiensi, korupsi, penyimpangan hukum atau kelemahan lainnya di tubuh pemerintah.

Beberapa presiden Amerika Serikat saja, negara kampiun demokrasi di dunia, masih menggunakan berbagai alasan itu untuk menutupi kelemahan dan kebusukan pemerintahannya. Misalnya, kasus Pentagon Papers yang mengungkapkan ketidakjujuran dan kecurangan pemerintah AS yang menutup-nutupi informasi tentang Perang Vietnam. Sekalipun rakyat negara adidaya ini memiliki hak kebebasan memperoleh informasi yang dijamin undang-undang, namun pemerintahnya melakukan manipulasi dengan membuat dokumen ganda tentang perang itu. Dokumen pertama yang berisi informasi sesungguhnya khusus untuk presiden, sedangkan satunya lagi untuk rakyat namun informasinya sudah penuh rekayasa.

Saat ada usaha untuk meminta kejujuran pemerintah mengungkapkan peristiwa sesungguhnya, tentu saja tidak mudah karena dokumen asli itu sudah masuk kategori “sangat rahasia” (classified top secret). Tapi untung masih ada “orang dalam” mau bekerjasama membocorkannya. Informasi dari dokumen ini kemudian membuka mata publik lewat kolom suratkabar Washington Post dan New York Times, dan terkenal sebagai skandal Pentagon Papers karena dokumen itu dicuri dari gedung pertahanan simbol mesin perang AS: Pentagon.

Pemerintah AS tentu saja berang. Presiden Richard Nixon, yang berkuasa saat itu, mengeluarkan surat perintah pengadilan untuk menghentikan publikasinya, namun New York Times dan Washington Post melawan. Manajemen kedua suratkabar ini membawa kasus pelarangan itu ke Mahkamah Agung. Hasilnya?

Mahkamah Agung dapat menerima pertimbangan kedua suratkabar bahwa publikasi dokumen Pentagon Papers tidak membahayakan pasukan AS sebab merupakan catatan sejarah, karena itu rakyat sebagai pembayar pajak yang membiayai perang berhak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Pemerintah AS kalah, Mahkamah Agung tak bisa menerima alasan bahwa pengungkapan dokumen itu bisa membahayakan posisi pasukan mereka di Vietnam.

Akhirnya siapapun tahu Perang Vietnam telah menewaskan 58.148 prajurit AS serta lebih dua juta warga Vietnam, walaupun semua menyesali informasi itu terlambat diketahui orang banyak. Apabila publik mengetahuinya lebih awal tentu korban tak akan sebanyak itu karena mereka akan mengawasinya, bahkan menolak jika tahu pajak yang mereka bayar digunakan untuk membiayai perang tersebut.

Celah hukum
Setiap hukum atau produk perundang-undangan umumnya mempunyai celah untuk dimanfaatkan pemerintah atau kelompok tertentu demi menyelamatkan kepentingannya, sebagaimana skandal Pentagon Papers, tak terkecuali RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Indonesia jika nanti menjadi undang-undang. Apalagi kalau kemudian pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang tentang Rahasia Negara, seperti dilakukan berbagai negara di dunia, maka perlu ada penegasan bahwa “kepentingan umum” merupakan kriteria penting yang harus dijaga dan dilindungi bersama sebagai jaminan bagi hak-hak publik.

Beberapa negara demokrasi di dalam undang-undangnya juga sudah menentukan suatu informasi tak boleh diungkapkan karena alasan “kepentingan umum” atau “kepentingan nasional” dengan beberapa syarat, antara lain untuk menjaga keamanan nasional. Begitupun sesuatu informasi yang tak boleh diungkapkan karena alasan-alasan itu harus langsung disampaikan oleh pejabat tinggi negara beserta pertimbangannya. Amerika Serikat misalnya, menetapkan jenderal berbintang empat sebagai juru bicara yang dapat menyampaikan bahwa suatu informasi tak boleh diungkapkan karena pertimbangan “kepentingan keamanan nasional.”
Tetapi, bukan berarti masyarakat tak dapat mempersoalkannya apabila tak puas atau tak bisa menerima pernyataan pejabat negara yang menutup akses mereka terhadap informasi tersebut. Prof. Davis dari Freedom of Information, lembaga yang melestarikan dan mengawasi kebebasan informasi di AS, mengemukakan masyarakat bisa saja menggugat ke pengadilan untuk menguji pernyataan itu secara hukum. Maka pengadilan lah yang kemudian memutuskan apakah informasi itu “tertutup” untuk umum atau sama sekali tak boleh “ditutup.”

Seandainya informasi itu memang harus “tertutup”, toh tetap ada expired atau masa kadaluwarsanya, biasanya 25 tahun, kata Davis. Artinya setelah masa 25 tahun informasi itu sudah boleh diungkapkan kepada publik. Saya bertemu Prof. Davis di Missouri empat tahun lalu saat berkunjung ke AS bersama beberapa wartawan Indonesia lainnya. Di negara ini ada beberapa lembaga independen semacam LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang mengawasi dan membela hak kebebasan informasi bagi publik, seperti Freedom of Information di Missouri atau First Amandement Project di San Fransisco.

Lembaga-lembaga itu [bersama media massa] memperkuat masyarakat sipil untuk memperoleh haknya sekaligus memperkecil niat penguasa memanfaatkan celah hukum untuk memanipulasi hak tersebut. Di Indonesia pola serupa sudah tampak pula karena demokrasi di negeri ini terus membentuk, terbukti dengan kemunculan berbagai infrastrukturnya seperti RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang tentu akan diikuti perangkat formal dan informal semacam LSM serta media-massa yang kritis, berani dan tajam.

Namun, yang terpenting bukanlah gesekan antara penguasa dan berbagai perangkat masyarakat sipil itu, melainkan adanya kesadaran tanggungjawab untuk memenuhi hak publik terhadap informasi tentang penyelenggaraan negara. Hak ini seharusnya dilengkapi rasa tanggungjawab dari pemberi informasi, seperti juru bicara pemerintah, untuk memberikan kebenaran kepada publik, bukan memanipulasi atau menyelewengkannya karena ongkos untuk meluruskannya kembali pasti terlalu mahal, sebagaimana pengalaman Paman Sam saat skandal Pentagon Papers mengemuka ke publik.

Selamat datang RUU baru, semoga bisa menjadi UU yang menjamin akses publik terhadap informasi yang menjadi hak mereka.***

Tuesday, May 22, 2007


No Free Press,
No Democracy

Don't walk behind me,
I may not lead
Don't walk in front of me,
I may not follow
Just walk beside me and be my friend




EGALITER, simpul saya merespon kalimat Albert Camus itu. Seandainya semua orang berpikir
demikian tentu dunia tampak lebih berwarna. Boleh jadi yang di depan tidak terus berlari kencang dan meninggikan diri, sedangkan yang di belakang pun tak sungkan mengiringinya. Ini akan membuat pemimpin tidak menjadi abai apalagi lupa diri. Saling mengiringi pasti indah, malah dapat membuat orang menjadi saling mengerti, bukan sebaliknya—saling menjauh.

No free press, no democracy, tulis para awak media di Bangkok, Thailand. Mereka menggoreskan kalimat penuh makna itu di atas spanduk yang diusung sepanjang jalan. Aksi ini merupakan bentuk protes kepada konglomerasi yang ingin membeli Bangkok Post dan satu koran lainnya. Koran berpengaruh ini dikenal kritis, apalagi terhadap pemerintah. Saat itu Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengelola negeri Gajah Putih dengan gaya “tak ingin didikte”—seolah-olah dia bisa memimpin tanpa sedikitpun cela. Thaksin kerap uring-uringan dibuat Bangkok Post, karena itu berniat mengbungkamnya dengan menggunakan tangan konglomerasi yang berada di bawah kendali kelompok usaha sahabat karibnya. Namun para awak media menolak, mereka tak sudi mengekor Thaksin dari belakang melainkan tetap ingin dalam poisisi di sampingnya.

Thaksin cuma segelintir contoh. Selain dia, tidak sedikit figur lain yang alergi dikte di berbagai negeri. Bahkan di negara demokrasi semacam Indonesia lumayan banyak orang gamang menerima dikte yang kritis.

“Wartawan itu ibarat tsunami,” kata seorang awak media di Perbaungan, Serdang Bedagai, dalam suatu pertemuan dengan saya. Kok begitu? Dia menceritakan pengalamannya saat berniat melakukan konfirmasi berita kepada pejabat. “Kita masuk dari pintu depan, pejabat itu keluar dari pintu belakang.” Mereka, menurutnya, masih alergi terhadap wartawan. Maunya pemberitaan media cuma untuk ‘mengangkat-angkat’ saja, tetapi ketika ada isu kritis yang hendak dikonfirmasikan mereka tak mau bertemu. Para pejabat itu menganggap pemberitaan yang mengkritik hanya akan memukul posisi mereka. “Itulah makanya pejabat di sini menganggap wartawan seperti tsunami, karena dapat ‘menghancurkan’ kedudukannya.”

Ah, saya teringat Samsudin Harahap, seorang wartawan di Pematangsiantar. Dia pernah ingin menelusuri kebenaran berita yang diperolehnya, lalu menunggu waktu konfirmasi dengan tekun. Tapi niat itu malah dibalas dengan memenjarakannya. Aneh—mungkin berita yang diperolehnya dianggap bakal mengusik status-quo.

Saya tercenung. Memang tidak jarang orang meletakkan media dalam posisi adversary. Sidney Jones, aktivis hak asasi manusia, pernah mengingatkan saya tentang itu. Waktu itu—ketika bertemu dengannya—saya tertarik dengan informasi dan pendapatnya mengenai penegakan hak asasi manusia serta demokrasi di Indonesia. Sidney mengungkapkan sikap Indonesia yang “setengah hati” dengan berani dan—sebagaimana biasa—kritis. Dia pun menunjuk contoh beberapa kasus di Nanggroe Aceh Darussalam. “I get the scoop,” teriak saya dalam hati kala itu.

Namun setelah pendapatnya keluar menjadi konsumsi publik, Sidney menegur saya. Mengapa? Sebenarnya, “tak mengapa,” kata Sidney via email, “tetapi lain kali mesti berhati-hati.” Saya berpikir lama mencerna nasehatnya. Ooh…saya maklum kemudian. Sidney tak ingin media dan sikap kritis yang diekspresikannya disangka sebagai bentuk adversary oleh penguasa, apalagi sekitar enam tahun lalu demokrasi terhitung masih prematur di negeri ini.

Sungguh, memang tak mudah meminta orang mempersilakan kita berjalan beriringan di sampingnya. Banyak orang tak siap melihat bayangan hitam dirinya sendiri. Bagi saya sendiri, aktivis semacam Sidney, komunitas media di Bangkok, Perbaungan, Pematangsiantar—atau dimana saja pun—sebenarnya adalah sisi-sisi yang ingin berjalan sambil saling mengingatkan dengan figur-figur yang terlanjur menganggap diri berada di posisi depan dan tinggi. Sayangnya figur-figur itu seringkali tidak sependapat dengan Albert Camus. Mereka bersikukuh untuk berjalan sendiri. Mereka bukan main pede, padahal kadang juga bukan main paranoid.

Syukurlah sosok-sosok yang sependapat dengan Camus juga tidak sedikit. Komunitas ini terus mengemuka. Mereka tahu untuk itu pasti ada konsekuensi atau risiko yang mungkin datang, tapi mereka tak surut: Let’s walk beside you and be your friend, not just your adversary.--nt

Monday, May 21, 2007

Take it For Granted



PERGILAH ke luar Tata Surya. Untuk apa? Bumi cuma satu, kata Stephen Hawking, ahli kosmologi dunia, jadi kita mesti menemukan planet lain untuk hidup. Bumi, menurutnya, sudah semakin berat mendukung kehidupan, maka manusia harus mempersiapkan diri untuk koloni antariksa. Bah...!

Dulu, ketika masih mahasiswa, saya memang merasakan bumi sudah semakin runyam, sebagaimana sinyal deklarasi One Earth di Stockholm sejak jauh-jauh hari lalu. Kawan-kawan dari non-government organization (NGO) sering menggelar diskusi maupun aksi bertema bumi dan lingkungan. Berbagai luka bola dunia ini terungkap, tentu saja plus cara mengobat dan merawatnya. Saya suka nimbrung dengan mereka. Tapi itu belum seberapa, soalnya ketika mulai menjadi reporter saya memiliki akses yang semakin terbuka dengan kondisi bumi. Saya rajin mengikuti diskusi, lalu melakukan observasi ke sungai, danau, laut, hutan, dan gunung untuk keperluan reporting. Ada rasa miris mendapati alam sedang dalam proses rusak, padahal siapapun pasti senang berada di tengah-tengahnya.

“Take it for granted,” kata seorang pakar dalam lokakarya lingkungan di Desa Mukomuko yang terletak di bibir Danau Maninjau, Sumatera Barat. Saya ada di sana bersama puluhan wartawan se-Sumatera. Quotation pakar itu menyindir para pembalak alam yang terus menggerogoti bumi seakan-akan apa yang mereka ambil pasti bakal tergantikan dengan sendirinya. Tidak pernah ada mekanisme tebang pilih, yang ada hanyalah gaya mengeksploitasi alam secara terus-menerus. Akibatnya, curah hujan terus berkurang, suhu bertambah panas, dan permukaan air di berbagai sungai dan danau terus menyusut. Permukaan air Danau Maninjau ketika itu pun tak mampu mengalirkan air ke sungai-sungai di hilirnya. Hanya batu-batu besar dan kerikil yang tersisa di dasar sungai-sungai di sana. Bagaimana dengan Danau Toba? Tidak jauh beda, sebab kondisi Danau Maninjau adalah cermin yang bagus untuk melihat persoalan danau-danau lain di berbagai tempat di muka bumi pertiwi saat itu. Buktinya—selain tak dapat mengairi sungai—Danau Maninjau dan Danau Toba pun sama-sama tak mampu mensuplai tenaga air untuk menggerakkan turbin penghasil listrik pada proyek-proyek skala besar di sekitarnya.

Fenomena itu memang terjadi beberapa tahun lalu, tapi hari-hari belakangan ini alam pun kembali mendera penghuni bumi dengan gejala yang tidak biasa. Misalnya, seisi kota tiba-tiba merasa gerah dan dahaga selama berhari-hari. “Lihatlah suhu sudah mencapai 41 derajat celcius,” kata Putra di Medan sambil melongok alat pencatat suhu yang terpasang tinggi di atas jalanan kota. “Ohh…pantas lah!” ungkapnya kemudian. Keesokan harinya foto yang merekam tingkat suhu udara itu terpampang di koran-koran. Banyak orang kaget, memang tidak sedikit pula yang meragukan akurasi alat tersebut. Tetapi setidaknya itu pertanda bahwa bumi memang sudah mulai penat. Saya membayangkan—melalui mitologi klasik Yunani Kuno—mungkin Atlas, sang titan yang perkasa, saat ini dalam posisi semakin terbungkuk rendah karena bola dunia yang dipanggulnya sudah memberat. Apabila lebih rendah lagi, bisa-bisa bumi menggelinding, melayang-layang di tata surya tanpa keseimbangan. Kalau ya, bukan tak mungkin bumi bakal sering terguncang, lalu gempa dan tsunami akan terus mendera kita.

Maka tak salah jika Stephen Hawking menganjurkan untuk melakukan koloni antariksa. Atlas mungkin memang mulai tak sanggup memanggul bola bumi yang semakin berat mendukung kehidupan di dalamnya. Selain Hawking, sesungguhnya film-film fiksi ilmiah—seperti Star Troopers, Red Planet, Star Wars hingga Ridick—secara berani sudah pula menggambarkan penjelajahan ke planet-planet di luar tata surya. Boleh jadi Einstein masa kini itu terinspirasi oleh film-film tersebut—iya atau tidak pun, tetap saja anjurannya merupakan alternatif untuk meringankan beban bumi yang semakin berat. Kelak, saat koloni antariksa itu memang mesti dilakukan, mungkin banyak orang segera menyesali prilaku take it for granted yang terlanjur mereka praktekkan.

Soalnya, bagaimanapun, bumi terlalu indah untuk ditinggalkan. Bumi adalah rumah bersama yang menyenangkan. Pasti banyak orang tak sanggup meninggalkannya untuk pindah ke planet lain. Kalau itu tetap terjadi semua penghuninya pasti menyesal karena tak mampu memberi apresiasi kepada bola dunia yang hijau kebiru-biruan ini. Sayangnya—seperti kata pameo—penyesalan seringkali mampir cuma untuk melipur lara, bukan untuk memutar waktu supaya orang tak melakukan kesalahan yang telah dibuat.—nt

Friday, April 20, 2007


Media, Pornografi, Pornoaksi
Oleh Nurhalim Tanjung



GENDERANG perang terhadap pornografi sedang ditabuh. Semenjak awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengekplisitkan kegerahannya terhadap gambar-gambar syur alias porno di media massa, demikian pula terhadap pornoaksi yang muncul di panggung masyarakat. Saking gerahnya pemerintah bersama Dewan Pewakilan Rakyat RI pun menyiapkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Tapi ini memang bukan perang pertama.

Beberapa pemerintahan sebelumnya juga sudah menabuh genderang serupa karena rasa gerah yang sama. Bahkan sekira Oktober 1967 pemerintah mengambil tindakan keras: memberangus sembilan media cetak karena menyebarluaskan pornografi. Apakah kemudian pornografi berhenti? Tidak, buktinya periode 1970-1972 ternyata dikenal sebagai “masa puncak” pornografi di Indonesia karena banyak media cetak memuat cerita pendek maupun cerita bersambung yang penuh adegan erotis, selain gambar-gambar dan foto-foto syur dan lher [karena menerbitkan liur hidung-belang]. Apalagi film, video, dan kini televisi juga semakin berani menjadi media bagi aksi yang “melanggar rasa kesusilaan dan kesopanan” ini.

Ibarat kebakaran memang pornografi selalu mengundang aksi untuk memadamkannya sebagaimana terjadi tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan sekarang tahun 2000-an. Demikian pula tahun-tahun sebelumnya, bahkan di zaman Belanda sekalipun, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan pemerintah kolonial yang masih kita pakai saat ini secara eksplisit sudah mengaturnya sebagai delik hukum.

Mengapa pornografi tetap saja muncul? Para pengelola media-massa percaya bahwa publik menggandrungi berita, cerita dan foto-foto berbau seks, crime (kriminal) dan violence (kekerasan). Artinya, pornografi adalah bisnis [baca: profit]! Banyak pengelola media massa sering tergoda untuk mengkatrol tiras dengan menyajikan pornografi, dan anehnya, mereka berhasil pula. Lihat saja Monitor, tabloid yang pernah dikelola Arswendo Atmowiloto berhasil mencapai tiras hampir 600 ribu eksemplar karena menggunakan konsep “jurnalisme lher”, yaitu jurnalisme yang memancing selera rendah (low-taste) masyarakat. Kini pun konsep jurnalisme ini sedang marak dipakai beberapa media massa, buktinya gampang sekali menemukan tabloid, majalah atau bahkan siaran televisi yang memajang gambar dan foto-foto seronok.

Fenomena Sosial


Pornografi sesungguhnya merupakan fenomena sosial yang senantiasa muncul di masyarakat, malah kini sudah pula dibarengi pornoaksi yang sering terlihat di panggung-panggung live maupun layar televisi. Fenomena ini kerap tampil di media massa lainnya sehingga terlihat seperti mengundang selera rendah (low-taste) masyarakat pula.

Mungkin karena itu pemerintah gerah, lalu berinisiatif meredam penyebarluasan pornografi [dan pornoaksi], terutama di media massa, dengan mengencangkan aturan hukumnya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sedang disiapkan oleh pemerintah bersama DPR RI secara tegas mengisyaratkan bahwa substansi media [massa] atau alat komunikasi tak boleh mempublikasikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasinya. Jadi unsur publikasi merupakan syarat pornografi menurut RUU ini, sedangkan pornoaksi disebutkan sebagai perbuatan sengaja untuk mempertontonkan eksploitasi seksualitas, kecabulan, dan/atau erotika.

Namun pengelola media berargumentasi bahwa mereka hanya berusaha merekonstruksi realitas sosial, bukan mengeksploitasi seks untuk memancing selera rendah masyarakat dengan
publikasi atau siaran tersebut. Mereka hanya mempublikasikan fakta sosial yang “kebetulan” berbau seks. Apabila mereka salah, bukankah sudah ada undang-undang khusus yang mengatur prilaku media massa, seperti UU Nomor 31/2002 tentang Penyiaran yang juga melarang media penyiaran menonjolkan unsur kekerasan, cabul dsb. Kalau dilanggar maka ada sanksi pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp1 miliar untuk penyiaran radio dan denda Rp10 miliar bagi penyiaran televisi.

Selain itu UU Nomor 40/1999 tentang Pers dalam Pasal 5 ayat 1 juga menyebutkan, “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Media yang melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda hingga Rp500 juta.

Pemerintah berlebihan
Mengapa pemerintah tak memberdayakan kedua UU itu saja untuk mengatur prilaku media massa? Lagipula, bukankah dengan membuat undang-undang baru cenderung memperlihatkan pemerintah berlebihan merespon isu pornografi dan pornoaksi. Apalagi di luar kalangan media massa, ternyata banyak kalangan lain di masyarakat bereaksi pula terhadap RUU itu. Misalnya, kelompok-kelompok perempuan yang tergabung dalam Jaringan Prolegnas Pro Perempuan menilai RUU justru berpotensi melahirkan kekerasan baru, menempatkan korban menjadi pelaku—terutama korban perempuan dan anak—melanggar kebebasan berekspresi dan membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok saja.

Kelompok perempuan itu mengemukakan kasus yang terungkap di media massa justru menunjukkan perempuan dan anak sebenarnya adalah korban walaupun mereka tampil dalam materi pornografi. Contohnya, kasus beberapa artis di Jakarta yang diambil gambarnya dari pantulan cermin saat mereka di dalam kamar ganti pakaian dan kasus VCD porno Lombok Membara yang gambarnya diambil secara mencuri-curi dari balik pohon. Mereka [para artis serta sepasang remaja di VCD Lombok Membara] sebenarnya adalah korban tetapi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bisa menjadikan mereka sebagai pelaku karena mempertunjukkan unsur seksualitas. Begitu pula dengan para korban asusila lainnya jika media massa tak pandai-pandai mempublikasikan realitas ini.

Kalangan media massa agaknya perlu bijak merespon realitas tersebut supaya tetap dapat menjalankan fungsi edukasi daripada sekadar ingin memberi informasi, karena apa yang disampaikannya juga akan mempengaruhi publik. Praktek jurnalisme lher patut dikesampingkan dahulu supaya korban asusila—seperti kasus di atas— tak menjadi korban media pula karena muncul seronok untuk dikonsumsi masyarakat padahal mereka pasti tak menginginkannya, disamping bisa saja memancing prilaku kejahatan seksual baru akibat ingin meniru tayangan media.

Sikap bijak tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian kode etik media massa di negeri ini untuk menjaga sekaligus membangun etika masyarakat. Tetapi kalau media massa pun melanggar etikanya sendiri, tentu saja bisa berimplikasi hukum sebagaimana isyarat UU Penyiaran dan UU Pers plus KUHP.

Karena itu, seandainya semua ketentuan-ketentuan hukum tersebut diberdayakan maka genderang perang terhadap pornografi dan pornoaksi tak perlu ditabuh keras-keras dengan RUU baru. Kalau dipaksakan juga, siapa bisa menjamin bahwa beberapa tahun nanti genderang perang serupa tidak akan ditabuh kembali?

Thursday, April 19, 2007


Ah, Playboy...


APA beda culture dengan lifestyle? Amir, teman saya, menganggap culture atau kultur adalah tradisi budaya yang permanen, sedangkan lifestyle atau gaya hidup lebih bersifat fashion alias musiman. Misalnya, “sejak dulu kita tahu bahwa pornografi bukan kultur Indonesia maka tak pantas rasanya membawa Playboy pulang ke Yogya,” ungkap Amir ketika kami transit bermalam di Singapura dalam perjalanan pulang dari luar negeri. Saat itu menjelang fajar subuh, saya berbicara dengannya di kamar hotel bintang empat Negara Singa itu sambil berkemas untuk berangkat ke Bandara Changi mengejar pesawat yang terbang pagi ke Jakarta. Selama di luar negeri kami membeli beberapa majalah lifestyle pornografi, termasuk Playboy, Penthouse dan Hustler. Tapi di Singapura Amir berubah pikiran, dia meninggalkan semua majalah itu di kamar hotel. Kenapa?

“Majalah-majalah ini lifetstyle saja, kiita mengalami shock-culture ketika melihatnya beredar bebas di negaranya sehingga rame-rame memborongnya,” ungkap Amir dengan senyum tipis, “tapi setelah itu kita kembali kepada kesadaran budaya sendiri.” Saya paham, dia cuma mau menegaskan, bahwa pornografi adalah lifestyle orang-orang di dunia Barat jadi tak cocok dibawa ke Timur. Bahkan—saking biasanya—pornografi terkesan sudah merupakan bagian budaya Barat, padahal banyak juga keluarga baik-baik di sana menolaknya. Begitupun saya tetap membawanya pulang, kan lumayan…setidaknya buat media-comparative dengan banyak majalah dan tabloid lokal yang coba-coba menirunya.

Amir adalah orang Riau yang sudah menjadi penduduk Yogyakarta. Dia sekolah dan menamatkan pendidikan sarjana di sana, dan kini bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang banyak menerbitkan buku-buku kritis yang ditulis para aktivis di Kota Gudeg itu. Beberapa waktu lalu dia mengirim email ke saya sehingga kembali menyegarkan kenangan kala kami mengobrol menjelang subuh tiba di Singapura itu. Konon pula belakangan ini orang-orang di seantero negeri sedang ramai membahas Playboy edisi Indonesia.

Semula saya tak mengira ada orang yang berani membeli hak franchise majalah itu dari Hugh Hefner, pemiliknya, untuk dibawa ke Indonesia. Soalnya, seperti kata Amir, pornografi bukan kultur nenek-moyang kita. Makanya saya “harap-harap cemas” juga dengan penerbitan perdananya. Saya khawatir dengan ekspansi majalah itu namun tetap mau tahu batang-muka-nya. Akhirnya semua perasaan itu terbayar sewaktu Playboy jadi juga terbit dari Jakarta.

Banyak orang menolak majalah itu, termasuk orang-orang yang mengetahui karakter sejatinya di negara asalnya. Mereka menilai Playboy edisi Indonesia ambigui, mendua hati. Satu sisi ingin membawa karakter asli sebagaimana di negara asalnya, namun di sisi lain tak kuasa mengoyak filter budaya lokal. Gambar-gambar yang dipampanngkannya tak seberani Playboy edisi negara-nagara Barat. Hanya nama, font dan formatnya yang sama.

Toh, tetap saja orang-orang mempersoalkannya. Namannya saja Playboy. Itu artinya majalah ini sudah di-setting untuk kaum pria yang menggandrungi para wanita. “Si doli par-jalang,” kata orang Batak. Suatu sebutan mencitrakan lelaki hidung belang atau petualang cinta. Sebutan yang pasti dapat menghancurkan lelaki yang ingin melamar wanita dari keluarga baik-baik di etnis ini. Siapa yang mau? Tidak perlu menunggu ada orang mengacungkan tangan, pasti tak ada yang mau. Ah, Playboy

Amir memang hampir tak meleset. Majalah lifestyle bermuatan pornografi bukanlah pola gaya hidup yang bisa dibawa melenggang ke Indonesia, apalagi jika ingin disusupkan menjadi kultur baru pula. “Kita sudah punya tradisi budaya sendiri,” katanya. Sekali lagi, saya memahami maksud Amir. Dia mau mengemukakan bahwa pornografi mungkin merupakan tradisi yang membudaya di Barat tapi tak seharusnya dipaksakan menjadi budaya-global karena orang-orang di Timur sudah mempunyai kultur sendiri. Kata Rudyard Kipling, “West is west, east is east.” Ya, memang sulit mempertemukan dua mata angin yang berbeda, lagipula keduanya berada di titik yang berlawanan. West isn’t east.

Saya tak tahu pasti apakah Amir tersentak oleh Rudyard Kipling sehingga tiba-tiba memutuskan meninggalkan majalah-majalah yang dibelinya dengan dolar itu di kamar hotel Singapura. Padahal Jakarta, gerbang Indonesia, hanya sepelemparan batu saja dari sana. Amir juga tak mengungkapkannya di email terakhir yang dikirimkannya kepada saya dari Yogyakarta, mungkin dia memang sudah kembali kepada “kesadaran budaya kita sendiri.”--nt

Monday, April 2, 2007



Piccadilly


SALJU menyelimuti malam di Piccadilly. Namun pusat keramaian yang menjadi landmark London itu tetap semarak. Toko, café, dan restauran membuka pintunya lebar-lebar, mumpung pengunjung sirkus dan teater semakin ramai. Mereka terus berdatangan bak kunang-kunang terpikat cahaya lampu. Seorang wartawan dari Jakarta tampak di antara mereka. Dia menghabiskan malam di Piccadilly.

Umar Nur Zain, wartawan itu, menulis pengalamannya menyusuri Piccadilly selama belajar jurnalistik di London dalam buku bergaya novel. Dia memasang judul yang sama di cover: Piccadilly. Saya meminjam buku itu dari perpustakaan sewaktu di bangku sekolah menengah atas. Sampai kini isinya serasa masih fresh di benak karena Piccadilly merupakan jendela pertama saya untuk melihat dunia jurnalisme. Rasanya, kok indah sekali; dinamis, terbuka dan penuh idealisme. Sayang buku-novel itu tak pernah kelihatan lagi sekalipun saya sudah keluar-masuk perpustakaan dan toko buku.

“Bang, cuma orang bodoh mau meminjamkan bukunya, tapi lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikan buku yang sudah dipinjamnya,” kata seorang wartawan muda, dengan nada berkelakar. Saya terdiam, ungkapan bernada guyon ini kerap menggema di kalangan orang-orang yang terkena syndrom buku mania. Saya juga sering mendengarnya. Apakah karena ungkapan itu pula banyak buku hilang dari perpustakaan, termasuk Piccadilly? Beberapa judul buku lain yang pernah saya gandrungi, seperti Menulis Dalam Air dan Reporter on Social Responsibility, juga tak dapat ditemukan lagi, sekalipun saya sudah membongkar seluruh rak buku di perpustakaan.

Tiba-tiba, sejenak saya merasa benar-benar menjadi orang bodoh. Mengapa buku-buku penting, yang mengajak saya melihat dunia, saya kembalikan ke perpustakaan? Toh, akhirnya buku-buku itu hilang juga dari sana. Saya juga menyesal kenapa mau meminjamkan buku kepada orang lain, termasuk kepada wartawan muda yang mengelakari saya itu. Pantas dia tak mau mengembalikan buku saya yang pernah dipinjamnya. Saya memang tak sendiri. Tokoh sekaliber HB Jassin, paus sastra Indonesia, juga sering tak menerima kembali bukunya yang dipinjam oleh Chairil Anwar, si penyair “Binatang Jalang”.

Saya berharap buku itu tetap disimpan wartawan muda tersebut supaya dia tak pernah kehilangan daun jendela untuk melihat dunia profesinya. Saya tak ingin kehilangan yang sama—sebagaimana pernah saya alami— terjadi pula kepadanya. Mungkin filosofi itu pula yang menyebabkan perpustakaan tetap sudi meminjamkan buku, sampai kapan pun, supaya orang selalu dapat memperkaya diri dengan ilmu dari buku-buku yang mereka pinjam dan baca.

Siapapun dapat juga merasakan filosofi perpustakaan itu jika mampir ke beberapa toko buku di mancanegara. Toko buku di sana mirip perpustakaan, apalagi Barnes & Noble yang mempunyai jaringan di banyak negara, termasuk Singapura. Semua orang bebas membaca buku atau mencatat isinya, tapi jangan mem-foto copy. Beberapa toko buku malah menyediakan meja dan kursi, layaknya perpustakaan. Kalau pun tak ada meja dan kursi, toko buku-toko buku itu, sebagaimana di Jepang mengizinkan orang melakukan tachiyomi, yaitu membaca sambil berdiri walaupun belum tentu membeli.

“Apa betul toleransi toko buku di mancanegara setinggi itu?” tanya seorang mahasiswa di Medan suatu kali. Dia seperti tak percaya. Masa itu memang jarang sekali menemukan toko buku yang membiarkan orang bebas ber-tachiyomi di kota ini, apalagi sampai menyediakan meja dan kursi. Tapi itu dulu. Sekarang dia melihat sendiri toleransi itu mulai menular ke toko buku di sini. Orang bebas membaca, boleh berdiri atau duduk di kursi bertopang meja. Toko-buku bak perpustakaan. Mahasiswa itu pun acap terlihat di sana, kadang-kadang sampai malam. Dia telah terkena syndrom buku mania. “Sekarang tak perlu ke Barnes & Noble untuk sekadar membaca buku-buku baru,” katanya.

Dia beruntung. Bila nanti menemukan buku yang mengesankannya, dia pasti dapat membelinya. Apalagi dia menemukannya di toko buku, yang selalu siap menjual setiap buku.Dia dapat menyimpan dan menjadikannya referensi favorit. Tidak seperti saya—yang semasa sekolah dulu hanya mampu meminjam dari perpustakaan—akhirnya harus kehilangan Piccadilly. Untung buku-novel itu sangat mengesankan sehingga saya selalu mampu membayangkan salju yang menyelimuti malam di Piccadilly.

Buku memang bisa membangkitkan imajinasi, bahkan menggugah kreativitas. Setiap orang pasti pernah merasakannya, tergantung buku apa yang menjadi jendela dunia mereka. Kalau buat saya, sungguh, Piccadilly adalah jendela yang berukiran indah.--nt