Sunday, June 24, 2007
Fashion Cafe
“HALO, lagi dimana ?”
“Hai, aku di Fashion Café, kemarilah…”
“Wah, kebetulan…sebentar lagi aku datang.”
“Cari aku di lantai dua, menghadap stage.”
Pucuk dicinta ulam tiba. Sepekan menginap di hotel—untuk suatu program—di Jakarta pasti sanggup membuat siapapun menjadi jenuh. Maka saya pun segera meletakan telepon, lalu bergegas meninggalkan hotel yang terletak dekat Sarinah untuk menemui Hary, seorang teman dari Medan yang sudah pindah menetap di ibukota. Tidak susah mencapai café di Jalan Jend. Sudirman itu. Sekira 25 menit kemudian saya sudah berada di ruang gelap yang hingar-bingar dengan musik. Sinar lampu yang berwarna-warni sesekali menyiram wajah ketika saya berjalan menjauhi pintu masuk.
Hary duduk sendirian di meja tepi lantai dua—yang menyerupai balkon—tanpa pembatas dinding kecuali pipa-pipa stainless steel setinggi dada. Saya menghampirinya, “Hai apakabar, sendirian saja?” Dia menoleh. “Eh, akhirnya datang juga…tadi ada teman tapi sudah keluar,” katanya, “aku menunggumu. Ayo, duduk.” Sebatang rokok terselip di jari-jarinya, sedangkan di meja tampak satu botol minuman ringan yang sudah dituangkan ke gelas. Hary memanggil waitress, kemudian memesan minuman lagi. Kami pun tenggelam dalam suasana santai, berbicara nostalgia tentang berbagai hal saat bekerjasama di Medan.
Dari posisi meja itu kami bebas memandang ke stage yang bergaya catwalk di lantai bawah. Ricky Johannes menjadi master of ceremony di sana. Dia memandu beberapa model wanita yang berjalan melenggang-lenggok secara bergantian di atas stage tersebut. Tapi suasana segera berubah menjadi riuh. Oh, rupanya ada konser malam itu, soalnya setelah aksi para model tampil diva Ruth Sahanaya disusul Titi DJ. Mereka memukau pengunjung. Lampu sorot menerangi panggung sehingga ratusan pasang mata dari sudut-sudut gelap di sekitarnya tak mau melepaskan mereka . “Aku dengar mereka tampil di sini, makanya sepulang kerja langsung kemari,” ungkap Hary, “yah…sambil santai saja.” Saya memang mengenal Hary sebagai sosok yang penuh apresiasi terhadap kegiatan berkesenian. Konon pula jika ada model dan penyanyi cantik yang penuh talenta—ehm… Dia sanggup menghabiskan waktu untuk mengapresiasi mereka.
Saya senang berteman dengan orang seperti Hary. Dia menikmati seni sebagai menu jiwa. Setiap bertemu, saya serasa menerima transfer tentang seni dari pengetahuan, persepsi, talenta, dan pengalaman berkeseniannya. Apalagi jika di kala bertemu kami bisa sembari menikmati live performance para pekerja seni seperti di Fashion Café malam itu. Selain Hary, beberapa teman seniman juga memberi kontribusi kepada saya untuk mengasah kepekaan lewat seni. Mereka suka mengajak saya nimbrung sebagai observer dalam aksi baca puisi, baca cerpen, berteater atau bermusik ke berbagai tempat. Ada kenikmatan kala bersama mereka.
“Tanpa seni, hidup terasa kering dan gersang,” kata seorang penulis senior. Ya, tanpa seni— yang kreatif dan ekspresif—dunia seolah-olah cuma panggung hitam-putih saja. Tidak ada bianglala karena sinar matahari tak menerpa titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Saya menganalogikan titik-titik hujan itu ibarat orang yang tak mampu menyerap seni sebagai matahari bagi jiwa. Memang, kadangkala bukan titik hujan itu yang salah melainkan gumpalan awan kelam yang menghalangi sinar matahari. Contohnya, di masa lalu orang Medan pernah berbondong-bondong terpikat untuk menonton pementasan Sampek Engtay yang akan dipagelarkan Teater Koma, tapi tiba-tiba terjadi breidel hanya beberapa jam sebelum pertunjukan. Alasannya politis: teater asuhan Nano Riantiarno itu dianggap terlalu sering mengekspresikan kritik. Pementasan batal, apreasiasi terhadap seni terkooptasi, awan hitam menyelimuti dunia seni. Bianglala pun lama tak muncul dalam dunia teater.
Sesungguhnya, kata Nano Riantiarno, orang berkesenian cuma untuk memberi cermin agar semua pihak bisa lebih peka dan menjadi sensitif. Namun, lucunya, spirit berkesenian itu di-syak-wasangka secara berlebihan. Iklim sengaja dibuat gerah sehingga apresiasi terhadap dunia seni sulit tumbuh subur, padahal atensi cukup besar. Akibatnya sensititivitas tak terasah tajam, banyak orang cuek dengan kepedihan orang lain, dan budaya yang tumbuh cenderung kasar, tidak santun.
Tetapi belakangan ini bianglala itu sudah berpendar kembali. Berbagai pementasan dan konser membuat seni berdenyut lagi. Apresiasi yang muncul menanamkan kepekaan, selain membuang jenuh serta membuat hidup semakin penuh warna. Karena itu kadangkala malam pun serasa tak pernah mati, sebagaimana Hary, saya, dan orang-orang di Fashion Café ketika itu: kami larut hingga dini hari.--nt
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
yah, nikmati seni sebagai menu jiwa
yah, tanpa seni hidup gersang
Post a Comment