Sunday, June 10, 2007



Menunggu Sun Rise
di Puncak Sibayak
Oleh Nurhalim Tanjung





EUREKA! Seruan Archimedes, penemu di bidang fisika jaman Yunani, itu tertulis menyolok di sisi pintu tenda yang kami pakai untuk berkemah di puncak Gunung Sibayak, Tanah Karo. Langit masih gelap, angin bertiup kencang menjelang subuh di akhir pekan pertengahan Mei lalu. Tenda yang didirikan tak cukup kuat menahan tiupan angin, tapi segera seorang teman mengeluarkan tenda pelapis untuk menahan badai. “Kita berkemah di sini saja, lokasinya cukup terbuka serta tak berbatu,” kata Sofyan, anggota tim.

Kami lega. Setelah semalaman berjalan, akhirnya sampai juga di puncak Gunung Sibayak. Dua kali gagal menemukan “pintu rimba” untuk naik ke gunung ini, tapi yang ketiga kami berhasil. Eureka!

Dataran sempit yang menjadi base camp persis berada di bibir anak sungai yang mengalirkan air beraroma belerang dari kawah gunung. Gemericik air-nya membuat setiap anggota tim tetap terjaga pada subuh itu. Semua menunggu kemunculan matahari dengan harap-harap cemas supaya dapat merekam panorama di ketinggian puncak gunung di kala sun rise dengan kamera digital. Tapi subuh terasa lama sekali beranjak menjadi terang, apalagi awan mendung tampak terus menutupi cahaya bulan. Di kejauhan, dari arah bawah, tampak sederetan cahaya senter memanjang, pertanda serombongan pendaki sedang merayap naik.

Dalam perjalanan di kaki gunung kami sempat bertemu dengan rombongan pendaki itu, karena sama-sama memulai pendakian lewat jalur wisata dari Kota Brastagi. Di kalangan pendaki sebenarnya jalur ini adalah rute yang paling mudah ditempuh karena jalannya beraspal hingga ke kawasan pertambangan milik Pertamina walaupun seringkali harus menghadapi tikungan tajam serta jalan mendaki yang curam. Namun tetap bisa ditempuh dengan mobil, sebagaimana yang kami lakukan. Cuma, malam membuat perjalanan di atas aspal yang membelah hutan kawasan Gunung Sibayak terasa lebih menantang, buktinya beberapa kali kami kehilangan arah.

Bayangkan, mobil sudah mulai beranjak dari Brastagi sejak pukul 1.30 dini hari tetapi baru sekitar dua jam kemudian kami sampai di titik pendakian setelah beberapa kali salah arah. Maklum gelap, apalagi hujan terus mengguyur kota sejuk ini. Sofyan yang dikenal sebagai anggota SAR (search and rescue) pun kewalahan menghadapi malam gelap yang ditingkahi hujan terus menerus. Malah sebelumnya beberapa kali hujan deras memaksa kami menghabiskan waktu di Brastagi. “Semestinya, kalau cuaca tak begini, paling lama setengah jam kita sudah sampai di lokasi tambang Pertamina sebab jaraknya dari Berastagi sekitar 2-3 kilometer saja,” kata Sofyan di dalam mobil.



Saat bermobil, membelah malam, itulah kami melintasi rombongan para pendaki tersebut sebab mereka berjalan kaki dari Berastagi menuju “pintu rimba” di kawasan pertambangan Pertamina itu. Dari sini jalan mendaki ke puncak Sibayak dapat ditempuh selama 30-45 menit lagi. Tapi mobil yang kami kendarai gagal mencapai ujung aspal karena tanah longsor menimbun badan jalan menjelang 500 meter dari sana. Apa boleh buat, kami harus memarkirkan dua mobil yang dikendarai di areal pinggir hutan di dekat longsoran itu. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, melintasi tanah longsor yang tebal dan becek, lalu mencari “pintu rimba” setelah menjejak kawasan pertambangan milik Pertamina di ujung jalan beraspal. “Pintu rimba” adalah istilah yang dipakai para pecinta alam untuk menyebutkan jalan masuk ke belantara alam, seperti puncak Gunung Sibayak.

Kawasan pertambangan milik Pertamina itu berbatasan langsung dengan hutan dan dinding alam yang mencuram dari puncang Gunung Sibayak. Bekas tambang sangat kentara di sini karena berada di lokasi yang terbuka, beberapa lubang besar dibiarkan menganga tanpa penjagaan. Kami mengamati kawasan ini dengan cukup jelas karena hujan sudah reda, dan bulan mulai terang. Begitupun, kami juga harus menggunakan senter untuk mengelakkan langkah, menjauh dari lubang menganga di lokasi yang agak remang-remang.

Beberapa kali kami berputar-putar di kawasan pertambangan itu untuk menentukan “pintu rimba” ke puncak Sibayak. Sekali kami sempat mengira jalan setapak di antara semak-belukar di depan badan jalan adalah “pintu rimba” yang dicari, lalu kami berusaha menempuhnya. Tetapi setelah semakin ke dalam ternyata semak belukar itu semakin rapat, sehingga kami memutuskan berbalik arah.

Kami kembali ke kawasan pertambangan itu. Mengaso sejenak. Sebenarnya lokasi tambang ini berada di ketinggian lebih satu kilometer dari permukaan laut. Berarti, dari sini perjalanan ke puncak Sibayak tak lama lagi—mungkin sekitar 30-45 menit saja— karena gunung ini memiliki ketinggian sekira 2.212 meter dari permukaan laut. Gunung ini juga masih aktif. Kawahnya terus mengeluarkan asap dengan suara menderu-deru. Syukurlah air di dalam kawah itu tidak menggelegak, tidak seperti Gunung Merapi di Jogyakarta yang sedang mengamuk saat ini. Bahkan di Sibayak para pendaki yang berkemah disekitarnya berani turun memasuki kawah untuk merangkai batu-batu dengan nama mereka didasarnya yang digenangi air hangat sedalam 20-50 centimeter.

Saat yang lain mengaso, Sofyan terus mengitari lokasi pertambangan itu. “Woi, di sini “pintu rimba”-nya,” katanya tak lama kemudian. Dia memberi aba-aba dengan senter, tim pun bergerak mengikutinya. Kami meniti tangga dari semen buatan Pertamina untuk mencapai jalan setapak yang tertutup semak belukar di lokasi yang lebih tinggi. Kali ini pasti tak salah lagi. Jalan setapak itu terus mendaki. Tak sulit menapakinya, apalagi telah dilapisi semen kasar yang mengikuti tekstur tanah. Pendakian yang lumayan gampang. Jangan heran sebab rute yang kami tempuh adalah jalur wisata, bukan jalur pecinta alam yang natural dan membutuhkan waktu berjam-jam—bahkan sehari-dua hari—untuk sampai puncak Gunung Sibayak.



Air dari sisa-sisa hujan terus mengalir dari hulu jalan setapak yang ditempuh, bahkan di tempat-tempat yang datar air menggenang hingga merusak semen dan menyebabkan becek. Semua harus hati-hati, siap-siap dengan senter di tangan karena jalanan menjadi licin. Beberapa orang terpeleset, tapi yang lain segera menolong. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Soalnya di sisi kiri sepanjang jalan mendaki itu adalah jurang, sedangkan di sisi kanan berdiri kokoh tebing semak-belukar.

Semakin tinggi berjalan, semakin dingin udara. Hembusan angin membuat udara bertambah dingin. Tapi udara dingin itu tidak begitu terasa karena tubuh kami panas dan terus berkeringat. Malah jaket yang dikenakan sejak dari Berastagi sudah dilepas, masuk ke ransel atau diikatkan ke pinggang. Kami memang memilih terus berjalan untuk mengatasi cuaca dingin. Sesekali saja beristirahat, itupun sebentar, hanya 5-10 menit.

Subuh, kurang dari pukul lima dini hari, akhirnya kami tiba di puncak Sibayak. Langit masih gelap karena awan menutupi bulan. Kami membangun tenda di dataran yang dipilih sebagai base camp. Angin bertiup kencang. Cuaca dingin mulai terasa menggigit. Semua masuk ke dalam tenda, menghangatkan tubuh dengan duduk rapat. Sofyan meletakkan kompor mini di tengah-tengah tenda, lalu menyalakannya untuk memasak air. Cuaca dingin di luar tenda mulai teratasi, apalagi setelah air yang dimasak mendidih. Kami sarapan roti dengan susu sachet yang diaduk dengan air hangat itu.

Serombongan pendaki yang sempat bersirobok dengan kami di bawah tadi juga sudah sampai di puncak gunung. Mereka dipandu oleh Dedi, seorang pemandu lokal yang tinggal di kaki Gunung Sibayak dekat Berastagi. Rombongan ini beristirahat di dataran sekitar base camp kami. “Kalian yang tadi melintasi kami dengan mobil?” tanya Dedi.

Menurutnya, kami terlalu berani mendekati kawasan tambang Pertamina dengan mengendarai mobil. “Soalnya kalau musim hujan sering terjadi longsor, lihat saja longsoran di bawah itu tadi,” katanya. Karena itu dia memilih membawa rombongan yang dipandunya berjalan kaki dari Berastagi. Berapa tarif pemandu lokal ke Gunung Sibayak? “Biasanya 150-200 ribu rupiah, tapi kalau kali ini aku dibayar Rp150 ribu,” kata Dedi.

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Tapi matahari belum juga muncul. “Seharusnya langit sudah terang,” kata Sofyan. Awan tebal tampak masih menggantung di langit. Matahari tak mampu menyingkapnya. Sun rise di puncak gunung ini menjadi tak sesemarak biasanya. Beberapa momen alam yang sempat diabadikan dengan kamera digital tampak diselimuti kabut tipis. Hasilnya tak begitu sempurna, padahal panorama Sibayak saat itu cukup menakjubkan dinikmati dengan mata telanjang.

Begitupun tak ada kekecewaan. Semua puas bisa mencapai puncak Gunung Sibayak dalam perjalanan malam yang berhujan dan tanah longsor. Rasa puas semakin tergambar kala matahari berhasil menyapu gumpalan awan sehingga permukaan puncak Sibayak tampak lebih mengesankan. Kami buru-buru mendaki dataran tertinggi untuk mendekat ke matahari yang semakin tinggi. Pemukiman dan dataran hijau di desa-desa nun jauh di kaki gunung tampak jelas dari sini. Sinar matahari pagi membantu kami untuk menikmatinya, mengobati rasa lelah yang kehilangan sun rise.***

No comments: