Friday, April 20, 2007


Media, Pornografi, Pornoaksi
Oleh Nurhalim Tanjung



GENDERANG perang terhadap pornografi sedang ditabuh. Semenjak awal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengekplisitkan kegerahannya terhadap gambar-gambar syur alias porno di media massa, demikian pula terhadap pornoaksi yang muncul di panggung masyarakat. Saking gerahnya pemerintah bersama Dewan Pewakilan Rakyat RI pun menyiapkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Tapi ini memang bukan perang pertama.

Beberapa pemerintahan sebelumnya juga sudah menabuh genderang serupa karena rasa gerah yang sama. Bahkan sekira Oktober 1967 pemerintah mengambil tindakan keras: memberangus sembilan media cetak karena menyebarluaskan pornografi. Apakah kemudian pornografi berhenti? Tidak, buktinya periode 1970-1972 ternyata dikenal sebagai “masa puncak” pornografi di Indonesia karena banyak media cetak memuat cerita pendek maupun cerita bersambung yang penuh adegan erotis, selain gambar-gambar dan foto-foto syur dan lher [karena menerbitkan liur hidung-belang]. Apalagi film, video, dan kini televisi juga semakin berani menjadi media bagi aksi yang “melanggar rasa kesusilaan dan kesopanan” ini.

Ibarat kebakaran memang pornografi selalu mengundang aksi untuk memadamkannya sebagaimana terjadi tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan sekarang tahun 2000-an. Demikian pula tahun-tahun sebelumnya, bahkan di zaman Belanda sekalipun, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan pemerintah kolonial yang masih kita pakai saat ini secara eksplisit sudah mengaturnya sebagai delik hukum.

Mengapa pornografi tetap saja muncul? Para pengelola media-massa percaya bahwa publik menggandrungi berita, cerita dan foto-foto berbau seks, crime (kriminal) dan violence (kekerasan). Artinya, pornografi adalah bisnis [baca: profit]! Banyak pengelola media massa sering tergoda untuk mengkatrol tiras dengan menyajikan pornografi, dan anehnya, mereka berhasil pula. Lihat saja Monitor, tabloid yang pernah dikelola Arswendo Atmowiloto berhasil mencapai tiras hampir 600 ribu eksemplar karena menggunakan konsep “jurnalisme lher”, yaitu jurnalisme yang memancing selera rendah (low-taste) masyarakat. Kini pun konsep jurnalisme ini sedang marak dipakai beberapa media massa, buktinya gampang sekali menemukan tabloid, majalah atau bahkan siaran televisi yang memajang gambar dan foto-foto seronok.

Fenomena Sosial


Pornografi sesungguhnya merupakan fenomena sosial yang senantiasa muncul di masyarakat, malah kini sudah pula dibarengi pornoaksi yang sering terlihat di panggung-panggung live maupun layar televisi. Fenomena ini kerap tampil di media massa lainnya sehingga terlihat seperti mengundang selera rendah (low-taste) masyarakat pula.

Mungkin karena itu pemerintah gerah, lalu berinisiatif meredam penyebarluasan pornografi [dan pornoaksi], terutama di media massa, dengan mengencangkan aturan hukumnya. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sedang disiapkan oleh pemerintah bersama DPR RI secara tegas mengisyaratkan bahwa substansi media [massa] atau alat komunikasi tak boleh mempublikasikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasinya. Jadi unsur publikasi merupakan syarat pornografi menurut RUU ini, sedangkan pornoaksi disebutkan sebagai perbuatan sengaja untuk mempertontonkan eksploitasi seksualitas, kecabulan, dan/atau erotika.

Namun pengelola media berargumentasi bahwa mereka hanya berusaha merekonstruksi realitas sosial, bukan mengeksploitasi seks untuk memancing selera rendah masyarakat dengan
publikasi atau siaran tersebut. Mereka hanya mempublikasikan fakta sosial yang “kebetulan” berbau seks. Apabila mereka salah, bukankah sudah ada undang-undang khusus yang mengatur prilaku media massa, seperti UU Nomor 31/2002 tentang Penyiaran yang juga melarang media penyiaran menonjolkan unsur kekerasan, cabul dsb. Kalau dilanggar maka ada sanksi pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp1 miliar untuk penyiaran radio dan denda Rp10 miliar bagi penyiaran televisi.

Selain itu UU Nomor 40/1999 tentang Pers dalam Pasal 5 ayat 1 juga menyebutkan, “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Media yang melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda hingga Rp500 juta.

Pemerintah berlebihan
Mengapa pemerintah tak memberdayakan kedua UU itu saja untuk mengatur prilaku media massa? Lagipula, bukankah dengan membuat undang-undang baru cenderung memperlihatkan pemerintah berlebihan merespon isu pornografi dan pornoaksi. Apalagi di luar kalangan media massa, ternyata banyak kalangan lain di masyarakat bereaksi pula terhadap RUU itu. Misalnya, kelompok-kelompok perempuan yang tergabung dalam Jaringan Prolegnas Pro Perempuan menilai RUU justru berpotensi melahirkan kekerasan baru, menempatkan korban menjadi pelaku—terutama korban perempuan dan anak—melanggar kebebasan berekspresi dan membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok saja.

Kelompok perempuan itu mengemukakan kasus yang terungkap di media massa justru menunjukkan perempuan dan anak sebenarnya adalah korban walaupun mereka tampil dalam materi pornografi. Contohnya, kasus beberapa artis di Jakarta yang diambil gambarnya dari pantulan cermin saat mereka di dalam kamar ganti pakaian dan kasus VCD porno Lombok Membara yang gambarnya diambil secara mencuri-curi dari balik pohon. Mereka [para artis serta sepasang remaja di VCD Lombok Membara] sebenarnya adalah korban tetapi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bisa menjadikan mereka sebagai pelaku karena mempertunjukkan unsur seksualitas. Begitu pula dengan para korban asusila lainnya jika media massa tak pandai-pandai mempublikasikan realitas ini.

Kalangan media massa agaknya perlu bijak merespon realitas tersebut supaya tetap dapat menjalankan fungsi edukasi daripada sekadar ingin memberi informasi, karena apa yang disampaikannya juga akan mempengaruhi publik. Praktek jurnalisme lher patut dikesampingkan dahulu supaya korban asusila—seperti kasus di atas— tak menjadi korban media pula karena muncul seronok untuk dikonsumsi masyarakat padahal mereka pasti tak menginginkannya, disamping bisa saja memancing prilaku kejahatan seksual baru akibat ingin meniru tayangan media.

Sikap bijak tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian kode etik media massa di negeri ini untuk menjaga sekaligus membangun etika masyarakat. Tetapi kalau media massa pun melanggar etikanya sendiri, tentu saja bisa berimplikasi hukum sebagaimana isyarat UU Penyiaran dan UU Pers plus KUHP.

Karena itu, seandainya semua ketentuan-ketentuan hukum tersebut diberdayakan maka genderang perang terhadap pornografi dan pornoaksi tak perlu ditabuh keras-keras dengan RUU baru. Kalau dipaksakan juga, siapa bisa menjamin bahwa beberapa tahun nanti genderang perang serupa tidak akan ditabuh kembali?

Thursday, April 19, 2007


Ah, Playboy...


APA beda culture dengan lifestyle? Amir, teman saya, menganggap culture atau kultur adalah tradisi budaya yang permanen, sedangkan lifestyle atau gaya hidup lebih bersifat fashion alias musiman. Misalnya, “sejak dulu kita tahu bahwa pornografi bukan kultur Indonesia maka tak pantas rasanya membawa Playboy pulang ke Yogya,” ungkap Amir ketika kami transit bermalam di Singapura dalam perjalanan pulang dari luar negeri. Saat itu menjelang fajar subuh, saya berbicara dengannya di kamar hotel bintang empat Negara Singa itu sambil berkemas untuk berangkat ke Bandara Changi mengejar pesawat yang terbang pagi ke Jakarta. Selama di luar negeri kami membeli beberapa majalah lifestyle pornografi, termasuk Playboy, Penthouse dan Hustler. Tapi di Singapura Amir berubah pikiran, dia meninggalkan semua majalah itu di kamar hotel. Kenapa?

“Majalah-majalah ini lifetstyle saja, kiita mengalami shock-culture ketika melihatnya beredar bebas di negaranya sehingga rame-rame memborongnya,” ungkap Amir dengan senyum tipis, “tapi setelah itu kita kembali kepada kesadaran budaya sendiri.” Saya paham, dia cuma mau menegaskan, bahwa pornografi adalah lifestyle orang-orang di dunia Barat jadi tak cocok dibawa ke Timur. Bahkan—saking biasanya—pornografi terkesan sudah merupakan bagian budaya Barat, padahal banyak juga keluarga baik-baik di sana menolaknya. Begitupun saya tetap membawanya pulang, kan lumayan…setidaknya buat media-comparative dengan banyak majalah dan tabloid lokal yang coba-coba menirunya.

Amir adalah orang Riau yang sudah menjadi penduduk Yogyakarta. Dia sekolah dan menamatkan pendidikan sarjana di sana, dan kini bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang banyak menerbitkan buku-buku kritis yang ditulis para aktivis di Kota Gudeg itu. Beberapa waktu lalu dia mengirim email ke saya sehingga kembali menyegarkan kenangan kala kami mengobrol menjelang subuh tiba di Singapura itu. Konon pula belakangan ini orang-orang di seantero negeri sedang ramai membahas Playboy edisi Indonesia.

Semula saya tak mengira ada orang yang berani membeli hak franchise majalah itu dari Hugh Hefner, pemiliknya, untuk dibawa ke Indonesia. Soalnya, seperti kata Amir, pornografi bukan kultur nenek-moyang kita. Makanya saya “harap-harap cemas” juga dengan penerbitan perdananya. Saya khawatir dengan ekspansi majalah itu namun tetap mau tahu batang-muka-nya. Akhirnya semua perasaan itu terbayar sewaktu Playboy jadi juga terbit dari Jakarta.

Banyak orang menolak majalah itu, termasuk orang-orang yang mengetahui karakter sejatinya di negara asalnya. Mereka menilai Playboy edisi Indonesia ambigui, mendua hati. Satu sisi ingin membawa karakter asli sebagaimana di negara asalnya, namun di sisi lain tak kuasa mengoyak filter budaya lokal. Gambar-gambar yang dipampanngkannya tak seberani Playboy edisi negara-nagara Barat. Hanya nama, font dan formatnya yang sama.

Toh, tetap saja orang-orang mempersoalkannya. Namannya saja Playboy. Itu artinya majalah ini sudah di-setting untuk kaum pria yang menggandrungi para wanita. “Si doli par-jalang,” kata orang Batak. Suatu sebutan mencitrakan lelaki hidung belang atau petualang cinta. Sebutan yang pasti dapat menghancurkan lelaki yang ingin melamar wanita dari keluarga baik-baik di etnis ini. Siapa yang mau? Tidak perlu menunggu ada orang mengacungkan tangan, pasti tak ada yang mau. Ah, Playboy

Amir memang hampir tak meleset. Majalah lifestyle bermuatan pornografi bukanlah pola gaya hidup yang bisa dibawa melenggang ke Indonesia, apalagi jika ingin disusupkan menjadi kultur baru pula. “Kita sudah punya tradisi budaya sendiri,” katanya. Sekali lagi, saya memahami maksud Amir. Dia mau mengemukakan bahwa pornografi mungkin merupakan tradisi yang membudaya di Barat tapi tak seharusnya dipaksakan menjadi budaya-global karena orang-orang di Timur sudah mempunyai kultur sendiri. Kata Rudyard Kipling, “West is west, east is east.” Ya, memang sulit mempertemukan dua mata angin yang berbeda, lagipula keduanya berada di titik yang berlawanan. West isn’t east.

Saya tak tahu pasti apakah Amir tersentak oleh Rudyard Kipling sehingga tiba-tiba memutuskan meninggalkan majalah-majalah yang dibelinya dengan dolar itu di kamar hotel Singapura. Padahal Jakarta, gerbang Indonesia, hanya sepelemparan batu saja dari sana. Amir juga tak mengungkapkannya di email terakhir yang dikirimkannya kepada saya dari Yogyakarta, mungkin dia memang sudah kembali kepada “kesadaran budaya kita sendiri.”--nt

Monday, April 2, 2007



Piccadilly


SALJU menyelimuti malam di Piccadilly. Namun pusat keramaian yang menjadi landmark London itu tetap semarak. Toko, café, dan restauran membuka pintunya lebar-lebar, mumpung pengunjung sirkus dan teater semakin ramai. Mereka terus berdatangan bak kunang-kunang terpikat cahaya lampu. Seorang wartawan dari Jakarta tampak di antara mereka. Dia menghabiskan malam di Piccadilly.

Umar Nur Zain, wartawan itu, menulis pengalamannya menyusuri Piccadilly selama belajar jurnalistik di London dalam buku bergaya novel. Dia memasang judul yang sama di cover: Piccadilly. Saya meminjam buku itu dari perpustakaan sewaktu di bangku sekolah menengah atas. Sampai kini isinya serasa masih fresh di benak karena Piccadilly merupakan jendela pertama saya untuk melihat dunia jurnalisme. Rasanya, kok indah sekali; dinamis, terbuka dan penuh idealisme. Sayang buku-novel itu tak pernah kelihatan lagi sekalipun saya sudah keluar-masuk perpustakaan dan toko buku.

“Bang, cuma orang bodoh mau meminjamkan bukunya, tapi lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikan buku yang sudah dipinjamnya,” kata seorang wartawan muda, dengan nada berkelakar. Saya terdiam, ungkapan bernada guyon ini kerap menggema di kalangan orang-orang yang terkena syndrom buku mania. Saya juga sering mendengarnya. Apakah karena ungkapan itu pula banyak buku hilang dari perpustakaan, termasuk Piccadilly? Beberapa judul buku lain yang pernah saya gandrungi, seperti Menulis Dalam Air dan Reporter on Social Responsibility, juga tak dapat ditemukan lagi, sekalipun saya sudah membongkar seluruh rak buku di perpustakaan.

Tiba-tiba, sejenak saya merasa benar-benar menjadi orang bodoh. Mengapa buku-buku penting, yang mengajak saya melihat dunia, saya kembalikan ke perpustakaan? Toh, akhirnya buku-buku itu hilang juga dari sana. Saya juga menyesal kenapa mau meminjamkan buku kepada orang lain, termasuk kepada wartawan muda yang mengelakari saya itu. Pantas dia tak mau mengembalikan buku saya yang pernah dipinjamnya. Saya memang tak sendiri. Tokoh sekaliber HB Jassin, paus sastra Indonesia, juga sering tak menerima kembali bukunya yang dipinjam oleh Chairil Anwar, si penyair “Binatang Jalang”.

Saya berharap buku itu tetap disimpan wartawan muda tersebut supaya dia tak pernah kehilangan daun jendela untuk melihat dunia profesinya. Saya tak ingin kehilangan yang sama—sebagaimana pernah saya alami— terjadi pula kepadanya. Mungkin filosofi itu pula yang menyebabkan perpustakaan tetap sudi meminjamkan buku, sampai kapan pun, supaya orang selalu dapat memperkaya diri dengan ilmu dari buku-buku yang mereka pinjam dan baca.

Siapapun dapat juga merasakan filosofi perpustakaan itu jika mampir ke beberapa toko buku di mancanegara. Toko buku di sana mirip perpustakaan, apalagi Barnes & Noble yang mempunyai jaringan di banyak negara, termasuk Singapura. Semua orang bebas membaca buku atau mencatat isinya, tapi jangan mem-foto copy. Beberapa toko buku malah menyediakan meja dan kursi, layaknya perpustakaan. Kalau pun tak ada meja dan kursi, toko buku-toko buku itu, sebagaimana di Jepang mengizinkan orang melakukan tachiyomi, yaitu membaca sambil berdiri walaupun belum tentu membeli.

“Apa betul toleransi toko buku di mancanegara setinggi itu?” tanya seorang mahasiswa di Medan suatu kali. Dia seperti tak percaya. Masa itu memang jarang sekali menemukan toko buku yang membiarkan orang bebas ber-tachiyomi di kota ini, apalagi sampai menyediakan meja dan kursi. Tapi itu dulu. Sekarang dia melihat sendiri toleransi itu mulai menular ke toko buku di sini. Orang bebas membaca, boleh berdiri atau duduk di kursi bertopang meja. Toko-buku bak perpustakaan. Mahasiswa itu pun acap terlihat di sana, kadang-kadang sampai malam. Dia telah terkena syndrom buku mania. “Sekarang tak perlu ke Barnes & Noble untuk sekadar membaca buku-buku baru,” katanya.

Dia beruntung. Bila nanti menemukan buku yang mengesankannya, dia pasti dapat membelinya. Apalagi dia menemukannya di toko buku, yang selalu siap menjual setiap buku.Dia dapat menyimpan dan menjadikannya referensi favorit. Tidak seperti saya—yang semasa sekolah dulu hanya mampu meminjam dari perpustakaan—akhirnya harus kehilangan Piccadilly. Untung buku-novel itu sangat mengesankan sehingga saya selalu mampu membayangkan salju yang menyelimuti malam di Piccadilly.

Buku memang bisa membangkitkan imajinasi, bahkan menggugah kreativitas. Setiap orang pasti pernah merasakannya, tergantung buku apa yang menjadi jendela dunia mereka. Kalau buat saya, sungguh, Piccadilly adalah jendela yang berukiran indah.--nt