Monday, July 2, 2007


Metropolitan,
Kota Dunia



SEORANG teman mem-posting email. Dia menganjurkan untuk membaca weblog-nya. Saya mengikutinya, di situ ada tulisan S. Prawiro yang bekerja di Singapura menceritakan pengalamannya menumpang taksi dari Science Park menuju Starling Road. Sopir melintasi rute yang tidak biasa, bahkan masuk ke jalan one-way sehingga terpaksa memutar karena keterusan. Kontan saja perjalanan menjadi lebih lama. Iseng-iseng Prawiro bertanya, “Apakah jalan ini sudah benar?” Sopir mengaku dia keliru mengambil jalan. Memang akhirnya taksi sampai juga ke tujuan. Prawiro pun membayar ongkos sesuai angka di argometer, tentu menjadi lebih mahal. Tapi sopir tiba-tiba bilang, “Tunggu, berapa biasanya anda bayar bila ke sini?” Rupanya dia tak mau menerima kelebihan ongkos, dan ngotot hanya mau dibayar seperti biasanya tanpa melihat argo.

Prawiro bengong. Apalagi sopir taksi itu mohon maaf karena perjalanan menjadi lebih lama. Dia mengakuinya sebagai kesalahannya serta berterimakasih tak mendapatkan komplain atas kejadian tersebut. “Ah, mungkinkah kita bisa menemukan sopir taksi seperti itu di Jakarta—dan Medan?” ungkap Prawiro.

Email plus blog tersebut mengingatkan saya dengan pengalaman hampir serupa di sana . Saat itu saya tak sabar menunggu shuttle bus dari Le Meridien untuk menuju Bandara Changi. Saya kuatir ketinggalan pesawat terbang ke Jakarta, maka memutuskan untuk menggunakan taksi saja. Saya pun menumpang Mercedes Benz yang dikelola sebagai taksi. Sopir menyapa ramah, bicaranya familiar: “Bukankah ada shuttle bus, mengapa anda naik taksi?” Heran, pikir saya, semestinya dia senang ada yang menumpang taksinya, tapi kok malah bertanya dengan nada ingin meyakinkan saya apakah benar-benar tidak ingin naik shuttle bus. “Tak mengapa, saya kuatir ketinggalan pesawat,” jawab saya ringkas.

Dia meyakinkan lagi kalau masih cukup waktu ke Changi. Mobil melaju. Saya pun merasa tenang. Kala tiba di Changi, saya melebihkan ongkos dari yang tertera di argometer—sebagai tips. Lho, dia mengembalikannya lagi. “Anda bayar saja sesuai argo,” ungkapnya. Aneh…seperti Prawiro saya juga bengong.

Don’t judge a book by its cover.” Analogi itu tentu tidak pas ditujukan kepada Singapura. Soalnya, performa ‘kota dunia’ yang modern tak hanya terlihat di pusat kota yang memiliki gedung-gedung pencakar langit dan akses jalan protokol, melainkan juga memancar dari sikap masyarakatnya. Mental mereka benar-benar siap menerima modernisasi, karena itu sangat menjaga tata krama supaya setiap orang—dari penjuru dunia manapun—merasa nyaman berada di kotanya, sebagaimana para sopir taksi di sana. Sebaliknya kota-kota di dalam negeri, seperti Medan mungkin ya, analogi tadi masih ada benarnya. Alasannya, seringkali penampilan modernisasi itu cuma di jalan protokol yang penuh gedung megah, tetapi sikap warga yang menghuninya ternyata tidak cukup ramah. Malah bertolak belakang dengan mental masyarakat modern—yang biasanya santun. Ibarat buku, sampul muka tidak selalu menjamin kualitas cerita di dalamnya, begitu pula kota ini.

Jakarta saja, kata Ali Sadikin dalam suatu wawancara, belum bisa disejajarkan dengan kota-kota modern dunia. Bukan hanya karena masih banyak perkampungan kumuh mengepung di sekitarnya, ungkap mantan gubernur DKI Jakarta itu, tetapi terutama mengingat mental masyarakat yang masih belum modern. Buktinya, dia menyuruh melihat ke jalan raya, halte, dan lokasi-lokasi fasilitas umum: orang lebih senang menunggu bus atau angkot di piggir jalan daripada di shelter. Sialnya, sopir pun tak keberatan, malah saling menepi memperebutkan penumpang di sana. Karuan saja jalanan menjadi macet, kota pun terasa sumpek.

Fenomena itu tentu lebih memekakkan lagi di Medan. Di kota ini sopir taksi dan angkot tidak ragu menurunkan penumpang di sembarang tempat. Kadang di traffic light, bahkan tak jarang di tengah jalan saja. Orang pun tak sungkan menunggu angkutan umum di tempat-tempat tersebut, lalu saling berebut ketika taksi atau angkot datang. Kontras sekali dengan pengalaman lain yang diceritakan Prawiro lagi dari Singapura lewat blog yang sama. Katanya, kalau Sabtu malam tiba dia sering menonton live music di kawasan Singapore River dekat Esplanade Park. Saat pertunjukan usai, setiap orang yang keluar dari sana harus antri taksi. Semua taat, disiplin, saling menghargai, dan tidak mengganggu orang lain. “Ini budaya Singapura yang paling saya sukai,” ungkapnya.

Sekali lagi: bagaimana dengan Medan? “Orang bilang sudah jadi kota metropolitan,” tanya seorang teman lagi, “apa iya?” Saya mengernyitkan dahi, lalu segera menjawab sekenanya: “Kota metropolitan biasanya modern, tak pernah tidur, tapi santun dan beradab.” Ya, macam ‘kota dunia’ seperti Singapura itu.—nt

No comments: