Wednesday, July 4, 2007
Inner Culture
“GILA, aku nggak jadi pinjam mobil deh,” kata tante saya dengan nada tinggi, “masa’ lampu merah diterobos saja di sini, syukur cuma macet. Bagaimana kalau sampai tabrakan? Pasti beruntun…” Saya senyum mesem saja sambil terus menyimak ekspresi adik ibu saya itu, yang baru sehari tiba di Medan bersama putri sulungnya dari Jakarta.
Sepekan sebelum tiba di Medan ia sudah menelepon untuk meminjam mobil saya selama berada di kota ini. Saya menyanggupinya. Tapi baru beberapa jam setelah menginjakkan kaki di Bandara Polonia, tanpa menunggu tante mengajak putrinya dan seorang saudara perempuan saya jalan-jalan dengan taksi ke plaza. Lalu mereka mampir ke restoran fast food di plaza simpang Masjid Raya itu. Saat makan ia mengamati persimpangan jalan di depan restoran melalui dinding kaca. Kendaraan berseliweran di sana. Semenit kemudian ia kaget, malah shock melihat berbagai kendaraan dari arah berlawanan saling berusaha memotong jalan. Tante saya berteriak memprotes pemandangan itu sambil menunjuk-nunjuk ke jalanan sehingga putrinya dan sebagian pengunjung restoran ikut melirik keluar. Traffic light yang masih berfungsi baik tak digubris ada di situ. Setiap pengendara berusaha memotong dan mendahului pengendara lain, padahal arah mereka saling berlawanan. “Ngeri aku bawa mobil di sini…nggak disiplin, main terobos aja!” ulang tante saya sekira awal tahun lalu.
Sekarang, sejak beberapa bulan terakhir, berbagai persimpangan jalan di Medan tak cukup hanya dijaga traffic light tapi sudah dilapis dengan polisi dan petugas dari Dinas Perhubungan. Otomatis aksi terobos lampu merah mulai jarang kelihatan karena ada yang mengawasi. Namun di beberapa lokasi dan jam-jam tertentu tetap saja ada pengendara yang bandel, mereka memanfaatkan kelengahan petugas untuk tancap gas menerobos lampu merah.
Aneh. Perasaan ini juga dialami seorang pengusaha. Dia sudah acap berkunjung ke berbagai negara di dunia. Pengalamannya saat berjalan kaki di kota-kota negara asing itu setiap menginjak aspal untuk menyeberangi jalan maka semua kendaraan sejak dari jarak yang jauh sudah mengurangi kecepatan, lalu berhenti, memberikan kesempatan melintas kepada para pejalan kaki. “Tak usah jauh-jauh, di Penang [Malaysia] pun para pejalan kaki tetap dihormati para pengemudi kendaraan ketika ingin menyeberang jalan,” ungkapnya. Sebaliknya di Medan setiap pejalan kaki bersiap-siap mau menyeberangi jalan maka para pengendara—apakah sepedamotor, becak maupun mobil—malah tancap gas menambah kecepatan, tak peduli ada zebra cross di depannya. Mereka tak mau terhambat para pejalan kaki. Kota ini memang aneh.
Ada orang yang meyakini bahwa “prilaku di jalan raya cermin budaya kota tersebut.” Apa betul? Saya tak percaya. Disiplin, prilaku saling menghargai dan menghormati orang lain adalah budaya universal. Semua orang, apakah dia warga kota ini atau kota-kota lain di Indonesia maupun negara-negara di dunia, sangat mendambakan kedisiplinan. Mereka sangat menghargai prilaku tersebut. Soalnya secara hakekat disiplin merupakan cermin kualitas moral dan mental. Disiplin juga wujud pengakuan terhadap hak dan keinginan orang lain, karena itu dapat mendorong siapa pun untuk mau ikut memikul tanggungjawab sosial.
Sayang budaya disiplin itu sempat tergerus dari kota ini. Tapi percaya lah itu tak lama. Kini semua orang mendambakannya kembali. Kalau saatnya tiba maka tante saya tak perlu lagi membatalkan rencana meminjam mobil jika berkunjung ke Medan. Ia aman berkeliling kota, tak perlu kuatir terhadap penerobos lampu merah. Saya yakin ia pun dengan senang hati akan menghormati para pejalan kaki, apalagi jika mereka sedang bersiap-siap hendak menyeberang jalan. Tante saya pasti menghentikan mobil hingga para pejalan kaki itu sampai di trotoar seberang jalan.
Saya merindukan saat itu. Bila waktunya tiba saya akan menelepon ke Jakarta. Saya akan bilang, “…datanglah ke Medan, disiplin lalulintasnya sudah oke. Tak ada lagi penerobos lampu merah, semua pengemudi mobil sudah mengenakan seat belt dan pejalan kaki aman melintasi badan jalan.”
Mungkin bukan hanya saya, melainkan semua warga di sini juga akan mengabari siapa pun orang-orang yang ingin bertamu ke kota ini dengan pesan senada. Kapan? Ya, ketika disiplin benar-benar sudah menjadi inner-culture, budaya yang lekat mentradisi di kota ini.—nt
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment