Monday, March 26, 2007


Friendly City?

“ANDA tahu, seperti apa karakter kota ini?”

Pertanyaan itu dilontarkan seorang mentor kepada saya ketika dia berkunjung ke Medan sepuluh tahun lalu. Saya menatap matanya, mencari-cari kalimat yang pas untuk menjawab. “Buruk, keras sekali,” ungkapnya mendahului saya. Saya terpaku, diam. Amir Daud, mentor saya itu tersenyum. Dia tahu saya masih penasaran dengan pertanyaan serta jawaban yang dilontarkannya sendiri.

“Lihat kebun binatang di kota anda ini,” katanya lagi. Rasa penasaran saya semakin membuncah. Kenapa kebun binatang dipakai mengukur karakter kota? Masa itu Kebun Binatang Medan masih berada di sudut Kampung Baru, bukan di tempatnya sekarang. “Bagaimana mungkin hewan-hewan bisa hidup nyaman di lahan yang sangat terbatas,” tambah sang mentor. Pikiran saya menerawang. Saya mulai tahu ke arah mana dia menggiring perbincangan. Bukankah karakter kita tergantung bagaimana cara kita memperlakukan sesama makhluk, termasuk hewan di kebun binatang?

Pembicaraan saya dengan mentor itu kembali melintas hari-hari ini. Pasalnya, Maskun Iskandar, seorang koleganya, mampir ke kota ini pekan lalu. Kami bertemu. Dia mengabarkan kondisi Amir Daud yang sudah semakin sepuh. Saya down, terharu. Mendadak saya dahaga akan pikiran dan pandangannya yang detail dan kritis, seperti saat membincangkan karakter kota melalui kebun binatang. Suatu pembicaraan yang menohok perhatian.

Saya teringat, memang, wisatawan sering enggan mengunjungi kebun binatang di beberapa kota negeri ini karena hewan-hewan hidup berdesakan di lahan yang sempit. Kabarnya, para turis asing tidak tega berkunjung ke sana sebab hewan-hewan itu tampak seperti tak dipelihara baik. Kebun binatang terkesan menjadi tempat penyiksaan hewan. Kebetulan kebun binatang di sini memiliki kondisi yang hampir serupa pula.

Benarkah kebun binatang bisa merefleksikan karakter kota? Pertanyaan ini terus menggantung di benak saya. Tapi tak lama karena saya segera merasakan kegelisahan hewan-hewan di kebun binatang Medan. Kala itu saya bersama seorang teman mengisi waktu senggang di sana. Kami duduk di rerumputan yang tebal di bawah pepohonan besar yang teduh. Tiba-tiba segerombolan kijang berlari seraya melompat-lompat di sekitar kami. Saya dan teman tadi terkesiap. Kaget. Seorang petugas berlari mengejar, dia berusaha menghalau hewan-hewan itu. Seorang petugas lainnya menghampiri kami. “Maaf, nggak apa-apa,” katanya, “kandang kijang-kijang itu tadi terbuka.” Bah! Enteng sekali apologi-nya, padahal kami sudah sangat shock. Bayangkan, bagaimana jika yang terbuka kandang harimau, singa, ular atau kandang gajah?
Saya ngeri membayangkannya. Hewan-hewan itu stress, tertekan di kebun binatang. Setiap orang yang ke sana pun dapat membaca kondisi itu. Mentor saya tak meleset. Saya sependapat dengannya, kota ini memang mempunyai karakter yang keras. Buruk, malah buruk sekali.

Karakter itu masih terasa sekalipun lokasi kebun binatang di kota ini sudah dipindahkan ke pinggiran kota dengan lahan sepuluh kali lebih luas. Masalahnya, lahan baru itu gersang, miskin dari pepohonan rindang. Rerumputan tebal untuk berteduh juga tak tampak di sana. Bahkan, menurut seorang dokter hewan, beberapa ekor hewan mati sejak menempati “rumah baru” mereka itu, termasuk si Raja Hutan. “Hewan-hewan itu stress,” tegasnya.

Agaknya, selain karakter yang buruk, kota ini juga tak mempunyai manajemen lingkungan yang mumpuni. Rantai kehidupan berupa siklus yang saling terkait—antara manusia-hewan-lingkungan-manusia—seperti masih dikesampingkan. Hewan menjadi korban yang paling gampang disingkirkan. Kebun binatang sekadar simbol saja, buktinya hewan-hewan tertekan di situ . Alhasil, kelemahan ini cuma memperlihatkan karakter lain kota ini: egois.

Banyak orang mengidamkan karakter itu berubah 180 derajat, dimana kota ini menjadi lebih friendly, baik terhadap hewan apalagi terhadap sesama manusia. Sejumlah kota lain, seperti Surabaya dan Jakarta, berhasil menutupi karakter buruk karena kebun binatang-nya bisa menjadi rumah menyenangkan bagi hewan yang menghuninya. Hewan-hewan di sana tampak hidup nyaman, malah di kebun binatang Surabaya sering terlihat burung-burung besar datang dari arah laut setiap menjelang senja. Burung-burung itu mampir bermalam, padahal mereka bukan penghuni salah satu kandang di sana.

Kapan Medan bisa menutupi karakter buruk-nya? Saya pun sangat menginginkannya, kalau bisa saat ini juga. Saya tak sabar untuk segera mengabarinya kepada mentor saya, soalnya dia sudah sangat sepuh. Dia pasti ingin mendengar Medan menjadi friendly city (?). Kota yang ramah, bukan hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada hewan dan lingkungan, karena seharusnya memang begitulah karakternya…kelak.--nt

No comments: