Tuesday, March 20, 2007

Semalam di Krakatau
Oleh Nurhalim Tanjung

Siapa tak ingin ke Krakatau? Banyak orang terpikat datang ke kawasan gunung api legenda dunia ini, tapi jarang sekali bisa menginap di kawasan cagar alam yang berada di tengah laut antara Sumatera dan Jawa ini. Suasana malam di sini mengasyikan walaupun sangat sunyi, gelap dan…tentu mendebarkan.




MUSIM barat membuat Selat Sunda tidak bersahabat. Laut bergelombang, membentuk palung-palung besar. Kapal-kapal katir (bercadik) milik nelayan maupun kapal motor sembunyi di balik pulau-pulau. Mereka enggan berlayar, kecuali pagi hari ketika gelombang sedikit ramah. “Siang atau sore biasanya suhu semakin tinggi, ini mengakibatkan gelombang laut semakin besar,” kata Agus Haryanta, kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung. Kalau tetap mau berlayar maka sang nakhoda mesti terbilang cukup berani, soalnya selain berisiko, mesin kapal motor mesti dipacu ekstra berat supaya tetap dapat melaju. Kemana? Kawasan Cagar Alam Krakatau di tengah Selat Sunda.

Tentu tak boleh sembarang melangkah ke sana. Kami sowan terlebih dulu kepada Agus Haryanta di Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung, mengingat cagar alam itu berada di bawah wewenangnya. “Sekarang lagi musim barat, biasanya berlangsung selama dua bulan [Februari hingga Maret]. Kami mengosongkan pulau-pulau di kawasan Krakatau dari petugas jaga karena susah memasok makanan dalam kondisi seperti ini,” kata Agus. Tetapi dia mempersilakan mengunjungi kawasan legenda dunia itu dengan syarat mesti didampingi oleh polisi hutan yang berpengalaman menjaga Krakatau. Kami tak keberatan.

Kawasan Cagar Alam Krakatau memiliki luas lebih 13. 375 hektare, terdiri dari empat pulau dan perairan laut di sekitarnya. Pulau-pulau ini merupakan hasil sterilisasi alam yang tersisa setelah Gunung Krakatau meletus hebat pada 27 Agustus 1883 lalu. Letusan gunung ini tercatat 10.000 kali lebih kuat dari bom atom Hiroshima sehingga menggetarkan seantero dunia, menimbulkan tsunami setinggi 30 meter dan menelan korban sekitar 36 ribu jiwa.

Satu dari empat pulau di kawasan Krakatau saat ini adalah Gunung Anak Krakatau. Ini adalah satu-satunya gunung aktif di dunia yang berada di tengah laut. “Meskipun gunung aktif, kondisinya masih normal,” ungkap Agus lagi. Gunung ini terus bergerak naik, dimana ketinggiannya bertambah 0,5 sentimeter setiap hari. Kini tingginya telah mencapai lebih 300 meter dengan luas 320 hektare. Tiga pulau lainnya adalah Panjang (320 hektare), Sertung (1.060 hektare), dan Rakata atau Pulau Krakatau Besar (1.400 hektare). Cagar alam ini termasuk dalam World Hiritage-List (Daftar Warisan Dunia).

***
Setelah menempuh gelombang laut selama empat jam dari Pelabuhan Canti di Kalianda, kota kecil sejauh 60 kilometer dari Bandar Lampung, kapal motor yang kami tumpangi langsung berlabuh di Gunung Anak Krakatau kala langit mendekati senja. Pantai berpasir hitam dan gembur. Kami kesorean tiba di pulau gunung ini karena kapal motor baru berangkat dari Canti sekira pukul 12.00 WIB. Lagipula kami mampir terlebih dulu di Pulau Sebesi guna menyewa snorkle dan pin untuk berenang serta snorkling.

Pulau Sebesi adalah pulau besar yang terletak di antara pelabuhan Canti dan kawasan Cagar Alam Krakatau. Ada tiga kampung besar di pulau ini, yaitu Tejang, Regehan Lada, dan Segenom. Di sini juga terdapat satu penginapan yang biasa digunakan oleh para pemancing atau para turis untuk transit menuju Krakatau. Butuh waktu 1,5 jam hingga 2 jam untuk mencapai pulau ini dari Canti, sedangkan dari Sebesi menuju Krakatau sekira dua jam lagi. Perjalanan dari Canti ke Sebesi cukup menarik karena melalui pulau-pulau yang berlaut indah, yaitu Pulau Sentiga serta Sebuku dan Sebuku Kecil. Pulau-pulau ini juga membuat perjalanan laut dengan kapal motor lebih aman dalam musim barat. Namun melewati Sebesi hingga Krakatau gelombang laut benar-benar tidak bersahabat karena tak ada pulau yang menghambat angin berhembus kencang dari arah barat.. Kapal terus terombang-ambing di atas gelombang besar. Air laut kerap memercik ke dalam kapal, malah sekalipun kami naik ke atap kapal tetap saja terpercik air asin.

Dua Puncak Anak Krakatau
Syukurlah, meskipun kesorean kapal motor berhasil memasuki laut di kawasan Cagar Alam Krakatau. Dua-tiga kapal motor nelayan tampak di kawasan ini, agaknya mereka bersembunyi dari gelombang musim barat yang ganas. “Semestinya nelayan-nelayan itu tak boleh berada di sini karena ini kawasan cagar alam, tapi dalam kondisi begini kami mesti maklum,” kata Rusmaidi, polisi hutan penjaga Krakatau yang ditugaskan oleh Agus Haryanta mendampingi kami.

Turun ke pantai, kami langsung memasuki lereng Gunung Anak Krakatau. Lereng gunung ini berhutan belukar disertai beberapa pohon pinus dan pepohonan kecil. Di sini ada shelter untuk pengunjung. Ada pula jalan setapak menuju punggung gunung hingga terus ke puncak. Tanah tetap gembur, hitam, dan terasa sedikit panas di kaki. Karena itu, kata Rusmaidi, kalau mau naik ke puncak sebaiknya pagi-pagi sekali atau sore sekali. “Kalau siang, panas matahari sangat menyengat, sedangkan dari bawah seringkali kaki tidak tahan dengan panas tanahnya.”

Di kawasan punggung Anak Krakatau jarang tanaman yang sanggup hidup. Praktis tak ada tempat teduh di sini. Punggung gunung ini gundul sampai ke puncaknya, baik di puncak pertama hingga puncak tertinggi. Semakin mendekati puncak bau belerang mulai menyengat hidung. Tanah di sekitar puncak tertinggi tampak agak kekuningan diselimuti belerang. “Jangan ke sana, berbahaya. Tanahnya lebih lunak dan panas, kadang bisa longsor,” ungkap Rusmaidi.

Sekitar tahun 2003, dia menceritakan, seorang peneliti dari Oxford, Inggris, tidak mengindahkan larangan itu. Saat di puncak ternyata dia tergelincir dan jatuh masuk ke kawah gunung. “Dia tewas, tapi tubuhnya baru keesokan hari bisa diangkat dengan bantuan helikopter.”

Cagar Alam untuk Wisata Khusus
Begitupun, Rusmaidi mengisahkan, tidak sedikit turis tetap naik ke puncak tertinggi Anak Krakatau dan selamat. Turis? Ya, menurut Rusmaidi, saat musim libur banyak turis asing maupun lokal datang ke Krakatau dari pelabuhan Carita atau Anyer, Banten di Pulau Jawa. Mereka menggunakan fasilitas paket perjalanan yang sering dijual oleh biro perjalanan bekerjasama dengan hotel-hotel di Jakarta. Apalagi perjalanan dari sana ke kawasan Krakatau memang sedikit lebih dekat dibandingkan dari daratan Lampung. “Turis-turis itu susah sekali dilarang karena merasa sudah membeli paket perjalanan kemari,” jelas Rusmaidi.

Sebelumnya cerita yang sama juga sudah kami dengar ketika bertemu Agus Haryanta. “Padahal Cagar Alam Krakatau bukan untuk wisata umum, melainkan wisata khusus yaitu untuk pendidikan dan penelitian,” katanya. Karena itu untuk memasuki cagar alam ini terlebih dulu harus memperoleh Simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi) dari BKSDA Lampung. Selama Januari s/d. Agustus 2006 tercatat 541 orang yang mendapatkan Simaksi untuk mengunjungi Krakatau, dimana hampir 60 persen adalah orang asing. Mereka berkunjung untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. “Tapi izin bisa juga langsung diperoleh dari petugas yang berjaga di Krakatau.”

***

Kami mengeksplorasi Anak Krakatau hingga ke puncak. Ada alat pemantau aktivitas gunung di sini yang terhubung langsung ke pusat pematauan di Bogor. Dari sini terhampar pemandangan laut biru yang mengelilingi Krakatau sangat memukau. Pulau-pulau di sekitarnya menambah keindahan panorama. Kombinasi langit, laut, gunung, dan pulau-pulau hijau membuat kawasan cagar alam di tengah laut ini benar-benar unik. Rasa lelah dan mual akibat digoyang ombak terbayar lunas seketika. Konon pula Anak Krakatau lumayan ramah menyambut kami, padahal di tahun 1993 terus-menerus menyemburkan lumpur panas dari perutnya selama tiga bulan, demikian pula tahun 2003. “Siklusnya seperti sepuluh tahunan, tapi kalau malam indah sekali karena lumpur yang disemburkannya membara kemerahan sehingga menerangi sekitar sini,” ungkap Rusmaidi, “semula kami merasa ngeri tetapi lama-kelamaan menjadi biasa karena gunung ini tidak meletus seperti induknya dulu.” Ah, untunglah kami berkunjung bukan dalam jadwal siklus sepuluh tahunan gunung ini.

Menginap di Pos Jaga Pulau Panjang
Hari semakin senja. Matahari mulai turun ke balik Anak Krakatau. Laut semakin bergelora. Tetapi kami harus menyeberanginya untuk mencapai Pulau Panjang, tempat menginap malam ini. Mengapa? Soalnya, sangat berisiko untuk langsung kembali ke Pulau Sebesi atau Canti.

Toh, kami tidak rugi menginap semalam di kawasan Krakatau. Bahkan beruntung sekali. Kami menempati pos jaga berupa rumah panggung dari kayu di Pulau Panjang yang berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatau. Pos jaga ini menjadi ‘hotel’ yang lumayan bagus di pulau tengah laut meskipun tanpa penerangan, kecuali senter dan lampu minyak. Kami puas memandang Anak Krakatau dari sini. Gunung ini seperti bayangan raksasa di tengah laut saat malam. Sunyi, tetapi gemuruh ombak meramaikannya kembali. Suasana terasa jadi mendebarkan di tengah malam yang gelap tanpa bulan. Di seberang tampak tiga titik lampu patromak dari kapal nelayan yang berlabuh di pulau-pulau sekitarnya. Rupanya mereka pun masih enggan menghadapi gelombang musim barat.

Malam terasa berjalan lambat karena tak ada aktivitas yang bisa dilakukan akibat musim barat, padahal memancing sambil mencari kepiting di karang pantai dan menunggu penyu bertelur sangat mengasyikkan seandainya cuaca sedang normal. Kami pun tak sabar menunggu pagi. Tapi akhirnya suara aneka burung dan gemerisik dedaunan di tengah belantara hutan Pulau Panjang membangunkan kami. Gelombang laut masih belum ramah, padahal Gunung Anak Krakatau tampak kalem di seberang sana. Kapal motor tampak meraung-raung menyiasati gelombang untuk menjemput kami dari pulau ini. Tak lama kemudian, kami pun meninggalkan kawasan Krakatau dengan perasaan puas, tetapi tetap mendebarkan karena mesti menaklukkan gelombang laut di musim barat.***


No comments: