Tuesday, March 20, 2007

Pohon Terakhir,
Sungai Terakhir

“Ketika pohon terakhir sudah habis ditebang,
dan sungai terakhir telah mengering...
barulah kita sadar
bahwa uang ternyata tidak bisa dimakan...”

UNGKAPAN usang suku Indian itu menyentak saya ketika kawan-kawan di mailing-list mengabarkan nestapa dari Muarasipongi, Langkat, dan Aceh. Bencana mengeksploitasi duka di sana. Saya ngeri seandainya pohon terakhir memang tinggal menunggu ditebang, dan sungai terakhir bakal segera kering. Bumi niscaya meradang.

Semasa menyusuri sungai dan hutan di pedalaman Mandailing Natal beberapa tahun silam, saya hampir tak pernah membayangkan bumi bakal semenderita saat ini. Sungai Batanggadis sangat bersahabat ketika saya mengarunginya dengan sampan boat dari Desa Singkuang dalam ekspedisi untuk suatu reportase. Semakin jauh dari pemukiman justru panorama belukar di sisi kiri-kanan alur sungai kian indah. Pepohonan semakin rapat, mata tak mampu menembus ke dalam hutan. Di sisi-sisi tertentu tampak jeram bertingkat dari tebing-tebing yang menjulang terjal di tepi sungai. Saat sampan menepi ke “pintu rimba” di salah satu sisi sungai itu barulah saya bisa melongok ke dalam hutan, bahkan berjalan masuk melalui sela-sela pohon besar yang berdiri kokoh menusuk langit. Indah sekali! Memang, saya mendengar suara sinshaw terus meraung-raung menembus dedaunan dari kejauhan. Saya miris mendengarnya, apalagi tak lama kemudian ada suara gemerisik pepohonan rubuh ke tanah.

Saya juga menikmati panorama natural ketika memasuki hutan di kawasan Langkat dari Desa Telagah, Sei Bingei. Malah para pemburu tradisional di sana megajarkan kearifan lokal yang sulit saya lupakan: pantang mengenakan alas kaki, tak boleh berjaket tapi silakan mengenakan sarung, jangan sesumbar di dalam hutan, dan—ini yang paling aneh—tidak boleh membawa uang atau dompet kosong sekalipun. “Kita bukan mau berbelanja, tak ada yang mau dibeli di hutan,” kata Desman Tarigan, sahabat saya di sana. “Busyet...benar juga,” pikir saya. Kami pun hanya membawa tombak, parang, bubu ikan, dan joran pancing.

Selama dua hari, saya mengikuti pemburu pemburu tersebut menyusuri hutan hingga masuk menembus Taman Leuser. Tanah hutan terasa basah di kaki telanjang. Saat malam tiba, kami tidur di gua di tepi hulu Sungai Wampu. Suhu dingin menusuk tubuh karena saya hanya berselimut sarung. Toh, saya sangat menikmatinya. Subahanallah! Hutan begitu teduh, sejuk, dan hijau, meskipun kadang kami harus naik-turun tebing curam yang basah, dan, tentu saja, licin. Sesekali tampak kambing hutan di puncak tebing, sedangkan di malam hari terdengar suara satwa liar yang membuat kami enggan tertidur. Kala pagi tiba siulan burung dan suara gaduh orang utan membuat rimba mendadak menjadi sangat ramai. Gemericik hulu Sungai Wampu turut menggoda kami. Airnya sangat jernih, sejuk, dan segar.

Saya selalu tergoda untuk mengulangi pengalaman-pengalaman itu. Pengalaman yang membuat saya menjadi sangat mampu membayangkan “apa jadinya bumi kalau hutan dan sungai tak ada lagi?” Alam pasti marah. Lihat saja hari-hari belakangan ini bencana bertebaran dimana-mana: di Aceh, Muarasipongi, Langkat, Solok, Nias, Riau, Yogyakarta, Sidoarjo, bahkan Johor, Filipina, Taiwan hingga New Orleans, Louisiana, di Amerika Serikat.

Banyak orang, terutama para korban bencana alam, menjadi nestapa. Padahal sudah sejak lama banyak pula orang yang resah ketika mengetahui Indonesia kehilangan hutan seluas sebelas kali lapangan sepakbola dalam setiap periode singkat. Tetapi seringkali lebih banyak orang yang tak mampu menahan godaan untuk mengusik bumi.

Sayang, seandainya kelak mereka baru sadar bahwa suku Indian ternyata memang benar. Saat itu mungkin semua sudah terlambat jika “ pohon terakhir benar-benar sudah habis ditebang, dan sungai terakhir juga telah mengering...” Pundi-pundi uang sebanyak apapun tak akan mampu membelinya kembali.

Saya tercenung...ah, pantas pemburu-pemburu tradisional dari Desa Telagah melarang saya membawa dompet ke dalam hutan. Selain tak ada yang mau dibeli, bukankah hutan dan sungai adalah sumber kehidupan kita? Siapapun bisa hidup di sana tanpa sepeser uang. Tetapi sinshaw yang kerap meraung di hutan-hutan membuat sumber kehidupan itu menjadi semakin tidak seimbang. Kalau terus berlangsung, maka sungai terakhir, pohon terakhir bakal menjadi nightmare, siapapun pasti ingin segera terjaga dari tidur kala memimpikannya.--nt

No comments: