The Hartford Courant

TRAGEDI adalah komedi sejati. Saya setuju dengan kalimat yang pernah diulang oleh Mahbub Djunaidi, seorang pengarang bergaya jenaka, ini. Pasalnya, seorang pebisnis—yang biasa necis—tampak terperangah lugu dengan penampilannya sendiri hari itu. Debu tebal menyelimuti dirinya. Rambut yang bersibak rapi menjadi awut-awutan, wajahnya seperti mengenakan topeng, dan kemeja putihnya pun centang-prenang dengan warna yang berubah menjadi abu-abu kotor. Begitu pula tas yang dijinjing serta jas ditentengannya: tampak seperti sudah lama tidak dibersihkan dari lumpur debu…
Gerr…saya geli mengamati foto itu. Derai senyum juga pecah dari bibir beberapa orang teman yang ikut menyimak fenomena kontras di dalam buku The Best of Newspaper Design—yang khusus menampilkan desain terbaik suratkabar berbagai negara—tersebut. Halaman bisnis The Hartford Courant membuat buku keluaran Society for News Design itu terasa segar. Koran ini berhasil menampilkan angle yang unik dalam desain halamannya, padahal peristiwa yang disiarkan adalah tragedi mengharukan dunia, yaitu serangan 11 September 2001 di New York. Foto pebisnis dalam keadaan linglung— setelah lolos dari tragedi tersebut—terpampang vertikal hampir memenuhi halaman suratkabar.
Yang lebih menggelitik, wajah lusuh si pebisnis persis menoleh ke arah setiap orang yang memperhatikannya. Disampingnya ada berita satu kolom yang memanjang hingga ke dasar halaman. Suratkabar itu cukup jeli menerapkan editorial design. Desainnya seolah-olah langsung bercerita kepada para pembacanya. Peristiwa tragedi pun jadi terasa menggelikan di koran ini.
Sudah nonton Ocean’s Eleven? Film ini juga menyuguhkan tragedi, yaitu ketika Rusty harus memecat Ocean, padahal dia-lah yang menghimpun mereka dalam satu gang selama ini. Apa boleh buat, soalnya Ocean tidak konsisten dengan niat mereka untuk merampok kasino milik Willy Bank. Target sesungguhnya ternyata bukanlah uang, melainkan balas dendam terhadap Bank sebab telah mengambil Tess dari pelukan Ocean. Semua sedih mesti menghukumnya.
Namun siapa sangka jika tragedi itu sengaja dirancang. Buktinya sewaktu perampokan berlangsung justru Ocean muncul menyelamatkan rekan-rekannya yang kebingungan terperangkap di dalam lift. Ocean yang semula telah tertangkap oleh Willy Bank bersekongkol dengan tukang pukul suruhannya supaya tetap berpura-pura memukuli dirinya di dalam ruangan tertutup—mumpung tak terlihat, jadi yang terdengar cuma suara bak…buk…bak!—sementara dia keluar lewat lobang angin untuk melakukan aksi perampokan setelah menyelamatkan rekan-rekannya. Bank tentu saja tertipu, tapi penonton tertawa.
Selain Bank, ulah Rusty dan Ocean juga membuat teman-teman mereka tertipu. Namun mereka bukan main gembira sesudah itu. Rupanya dulu Rusty dan Ocean cuma bersandiwara. Penonton juga senyum sumringah mendapat selipan komedi di film itu.
Komedi juga muncul dalam film nasional, semacam Naga Bonar. Film ini sebenarnya merupakan tragedi di masa perjuangan, yang kala itu sangat membutuhkan anak bangsa untuk tampil sebagai pejuang membela ibu pertiwi. Eh, bisa-bisanya yang terpanggil berjuang adalah seorang pencopet, bukan orang mapan yang sesungguhnya tidak kurang jumlahnya ketika itu. Anehnya Naga Bonar, pencopet yang menjadi pejuang tersebut, kemudian menjadi jenderal pula. Film ini benar-benar didesain sebagai tontonan komedi. Para penonton dibuat tergelak-gelak dari scene ke scene sehingga nyaris lupa kalau film itu sesungguhnya menceritakan tragedi di masa perjuangan dulu.
Tragedi memang jadi menarik jika dikemas dari sisi komedi. Semua orang bisa mencernanya, apalagi jika alurnya tetap logis, sebagaimana cerita di dalam film Ocean Eleven dan Naga Bonar. Sutradara berhasil menjaga mood penonton untuk menikmati film tersebut hingga akhir cerita.
Demikian pula tragedi 11 September 2001 yang disajikan oleh The Hartford Courant. Desainer berhasil mengkombinasikan foto dan berita teks sehingga memudahkan pembaca mencerna peristiwa—apalagi ada unsur komedi menyelimuti peristiwa tragedi itu. Saya ingat Tatang R. Bouqiue, seorang desainer grafis di Jakarta. Dia pernah mengajarkan editorial design di kelas yang saya ikuti, katanya, desain akan membantu orang mencerna peristiwa jika mampu mengaplikasikan hukum perspektif mata dengan keunikan berita supaya tetap terlihat logis, khususnya di suratkabar. Soalnya, media berita melaporkan fakta, bukan fiksi, tetapi mesti fleksibel supaya orang terbantu mencerna, bahkan sebisa mungkin dapat menikmatinya. Maka untuk menghidangkannya editor dan desainer boleh saja meramu materi—dari peristiwa tragedi yang haru-biru sekalipun—dengan gaya komedi, sebagaimana sajian The Hartford Courant tadi.
So, tidak salah ucapan Mahbub Djunaidi lagi: cara kita menyampaikan bisa membuat tragedi tidak mesti selalu ditangisi, sesekali boleh juga bikin geli.--nt